Seorang kawan lama, ia diplomat Kanada yang sedang berlibur di Indonesia, mengunjungi saya di Jogja akhir pekan lalu. Dulu, ia belajar bahasa Indonesia dari saya, dan setelahnya kami berteman baik meski frekuensi bertemunya jarang.

Maka, Minggu malam kemarin kami seperti menumpahkan semua cerita setelah beberapa tahun tak berjumpa. Kami mengobrol banyak hal, mulai dari situasi politik dunia, pengalamannya tinggal di Jakarta, perjalanan tugasnya ke beberapa negara di Afrika, hingga topik-topik recehan.

Saya lupa bagaimana kami akhirnya sampai pada pembahasan tentang kata makian. Memaki, dalam bahasa Jawa disebut Misuh, menjadi hal yang membuatnya penasaran, sebab ia tak paham mengapa kenapa orang Indonesia lebih suka memakai nama binatang saat misuh.

Buat dia, anjing adalah hewan yang baik, setia, dan sahabat terbaik manusia. Begitu pula monyet, menurutnya manis dan lucu sehingga di negaranya sering dipakai untuk menjuluki anak kecil yang menggemaskan. ”That boy is like a monkey,” begitu kira-kira ucapannya. Babi, hanya dipakai untuk menggambarkan orang yang gemuk sekali, tapi bukan menghinanya. Jadi menurutnya, lucu aja kalau orang Indonesia merasa tersinggung berat kalau seseorang mengucapkan nama-nama binatang itu.

Saya tak bisa menjawab rasa ingin tahunya dengan tepat kecuali menjelaskan bahwa menyumpahi seseorang dengan nama binatang bisa dianggap suatu penghinaan besar, sebab monyet dalam fabel Indonesia selalu mewakili sifat manusia yang licik dan suka mengerjai hewan lain (berbeda dengan kancil yang cerdik, meski juga suka mengerjai buaya)

Sedangkan anjing dan babi lebih sering dilihat sebagai binatang haram yang jorok, kotor, dan penuh penyakit. Tentu saja anjing yang dimaksud bukan dari jenis German Shepard, Rotweiller, Golden Retreiver, Collie, atau Pudel — tapi anjing kampung yang kurus kering, berliur, penuh koreng dan suka mengorek sampah. Kawan saya mengangguk-angguk, mencoba memahami penjelasan saya, namun tetap berkomentar ”For me, they’re just too mild

Too mild? Yaaaiyaalah…

Kalau dibandingkan dengan pisuhan bahasa Inggris, jelas pilihan kata makiannya lebih saru. Sebut saja kata d**k h**d atau a** h**e, c**t  atau frasa kiss my a** — bahkan f**k dan s**t masih berhubungan dengan genital dan sekitarnya. Gak sopan!

Tapi saya – dan banyak teman lain, karena kepingin kelihatan gaul, merasa lebih keren saat misuh dalam bahasa Inggris. Adik lelaki saya yang pernah magang di hotel berbintang, merasa kupingnya panas saat tidak sengaja mendengar artis cantik dan terkenal memaki ”bajingan! brengsek!” melalui ponsel- entah ditujukkan pada siapa. Padahal adik saya itu gak pernah keberatan dengan serapahan cabul ala film-film Hollywood. Mungkin karena orang yang kena pisuh gak bener-bener paham nuansa kata bahasa Inggris, bisa jadi f**k terdengar lebih mild daripada asu, dan gak membuatnya tersinggung-tersingung amat 😀

Bukan cuma pisuhan jorok yang ditiru, tapi juga bahasa tangan orang Barat. Misalnya, mengacungkan jari tengah sementara jari-jari lain terkepal tetap terasa lebih mild dibandingkan mengacungkan  jempol yang dimasukkan di antara jari telunjuk dan jari tengah.

Tapi begitulah. Apapun yang dari luar (negeri) selalu terasa hebat untuk ditiru, bukan?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.