Sejak sepekan, Arya berangkat kerja naik kendaraan umum. Selain rumahnya sekarang lebih dekat dengan kantor, mobilnya pun sudah dia jual. Perceraian menuntutnya pindah sebab rumah sebelumnya diputuskan pengadilan menjadi hak mantan istrinya. Setelah empat tahun menahan diri dalam pernikahan yang penuh pertengkaran, mereka akhirnya memutuskan berpisah.
Tapi, semua itu masa lalu. Arya sudah memiliki kehidupan baru, pekerjaan baru, rumah kontrakan baru, dan dia tidak lagi ingin mengingat yang telah berlalu. Salah satu perubahan hidup dilakukannya dengan berjalan kaki menuju halte bus setiap pagi. Dari sana, dia naik bus menuju kantornya.
Sudah sepekan Arya melakukan kebiasaan baru itu. Dia mulai terbiasa dan menyukainya. Hanya satu hal yang membuatnya penasaran.
Untuk mencapai jalan raya dari rumahnya, dia berjalan sekitar satu setengah kilometer, melewati sebuah rumah tua. Dari arsitekturnya, Arya memperkirakan rumah itu dibangun pada tahun 80an. Rumah bercat putih itu bersih dan terawat, penuh tanaman semak yang tertata rapi di halamannya. Tidak ada yang aneh di sana, tapi …
Setiap kali Arya melewatinya, dia mendengar suara pria berkata,
“10, 10, 10, 10, 10.”
Arya tidak tahu siapa pria itu, tapi dia pernah bertanya pada tukang rokok di dekat halte bus. Katanya sih itu orang gila yang tinggal di sana, tapi kisahnya tidak jelas. Konon, rumah itu milik anak si pria gila itu. Seorang perempuan berusia empat puluh limaan yang tidak menikah. Dia merawat pria gila itu, tapi tidak pernah diketahui siapa mereka.
Sepekan berlalu, dan Arya sulit menahan rasa penasaran. Dia ingin melihat seperti apa wajah pria gila yang diceritakan si tukang rokok, bukan hanya suaranya. Dan dia ingin tahu mengapa si pria gila itu selalu mengatakan,
“10, 10, 10, 10, 10.”
Pada suatu Sabtu, saat kantor libur, Arya sengaja melewati rumah putih itu. Kali ini dia mendekati pagar tembok tingginya, berusaha mencari celah untuk melihat ke dalam. Cukup sulit, sebab pagar tembok itu tak punya lubang atau retakan.
Arya tidak menyerah. Pasti ada celah, pikirnya. Setelah mencari agak lama tanpa hasil, dia mendekati pintu pagar yang ternyata tidak dikunci. Dia mendorong perlahan, lalu melongokkan kepala ke halaman. Tidak ada siapa-siapa.
Diberanikan diri untuk memasuki halaman, lantas menajamkan telinga, mendengar dari mana asal suara “10, 10, 10, 10, 10,” itu. Rasa penasarannya benar-benar tidak terbendung. Dia berjalan mengendap-endap menuju taman belakang. Suara itu semakin jelas, dan benar saja …
Pria gila itu sedang berdiri di tengah halaman, menghadap ke salah satu pohon Kamboja yang tumbuh di sana. Tubuhnya maju mundur sementara kakinya diam di tempat. “10, 10, 10, 10, 10,” katanya berulang-ulang mengikuti gerakan tubuh.
Ingin rasanya Arya mendekati, tapi dia takut ketahuan. Toh, niatnya hanya ingin melihat seperti apa pria gila itu, dan dia sudah melihatnya. Dia lantas berbalik, dan terkejut setengah mati.
Di belakangnya, berdiri perempuan berusai empat puluh limaan. Berwajah menakutkan dan memegang sebilah pisau yang langsung disabetkan ke leher Arya. Darah muncrat mengenai pakaian si perempuan, yang tanpa ekspresi membiarkan Arya roboh ke tanah. Setelah memastikan kematiannya, perempuan itu menyeret mayat Arya ke dalam rumah.
Sejenak, pria gila itu melihat semua kejadian tanpa ekspresi. Setelah perempuan itu menutup pintu rumah, dia kembali menghadap pohon Kamboja. Kakinya diam di tempat sementara tubuhnya maju mundur, lantas secara berulang-ulang dia mengatakan,
“11, 11, 11, 11, 11.”