Mentor saya suka ngeledekin saya pelit, sebab saya jarang bagi-bagi tipsmenulis. Mungkin dia benar, tapi saya punya alasan. Saya nggak pernah yakin bahwa cara saya menulis itu bagus atau bisa ditiru orang lain. Saya penulis yang santai, suka bersenang-senang, benci rutinitas dan tak nyaman dengan aturan ketat.
Beberapa teman, baik yang belajar menulis maupun yang kepo, juga menanyakan. “Mbak, kok kayaknya hangout terus tapi bukunya terbit terus,” atau “Mbak itu produktif banget nulis, padahal dari status-status FB, keliatannya luang banget.”
Ya, sebenarnya saya juga nggak paham kenapa dibilang suka hangout dan punya banyak waktu luang. Saya pernah nulis tentang deadline di blog lama, dan meski saya suka nyetatus “sedang banyak deadline” atau semacamnya, kebanyakan hanya pencitraan. (Hei, jangan mencibir dulu! Buat saya, media sosial memang dirancang untuk pencitraan, lagipula kata itu enggak negatif kan sebetulnya?)
Dulu, di awal-awal memutuskan kerja mandiri, saya pernah kelimpungan membuat sistem. Setelah banyak trial dan error, akhirnya saya menetapkan waktu kerja di rumah. Mulai setelah kerjaan rumah beres (sekitar jam 7 pagi) sampai siang setelah anak-anak pulang sekolah. Waktu kerja ini saya buat agar saya bisa fokus, dan saya ngerasa lebih fresh kerja di pagi hari saat rumah sepi.
Setelah beberapa bulan menerapkan sistem ini, saya malah stress sendiri. Sebab, kadang pada “jam kerja” ada banyak gangguan. Mulai dari media sosial, obrolan penting gak penting di media chatting (yang parah itu dari simbok atau keluarga, gak bisa ditolak ngobrolnya, hehe…), sampai ajakan ketemuan atas nama proyek, minta bantuan atau curhat. Belum lagi, kegiatan sosial dan sekolah anak-anak yang kadang buat saya harus terlibat.
Mau nggak mau, jadwal kerja yang sudah saya susun rapi, berantakan semua. Hasilnya? Kerjaan nulis saya tetap aja nggak kelar sementara deadline semakin merapat. Stress pun kumat. Padahal, semakin stress, semakin saya nggak bisa mikir. Jangankan mau mikir kalimat, buka laptop saja jadi malas. Jadilah, ada waktu di mana naskah saya nggak kelar dan saya harus memohon-mohon kebaikan hati penerbit atau klien untuk melonggarkan waktu penyelesaian. Benar-benar nggak profesional.
Lantas, saya berpikir sebenarnya di mana masalah utamanya. Apa saya yang nggak tegaan “mengusir” gangguan-gangguan tersebut, atau memang manajemen waktu saya yang payah? Kemudian saya sadar, itu bukan masalah sebenarnya. Semua balik lagi ke sifat saya yang benci rutinitas, tak nyaman dengan aturan (bahkan yang saya buat sendiri), dan suka bersenang-senang.
Di bawah sadar, saya malah berpikir, bukannya dulu salah satu tujuan resign dari perusahaan karena saya tak suka jam kerja? Jika kerja mandiri saya masih dibatasi aturan yang sama, lantas apa bedanya dengan kerja kantoran? Jika harus stuck di tempat kerja selama 8-10 jam, lantas kapan saya bersenang-senang?
Akhirnya, saya ubah lagi cara pikir tentang waktu kerja. Banyak baca buku mengenai creative work dan semacamnya, akhirnya saya memutuskan nyomot metode 70:20:10 dan mengubah goal-nya demi kepentingan pribadi, hehe…
Sederhananya, saya membagi waktu kerja dalam sehari begini:
70% waktu buat kerja kreatif. 20% waktu buat bersenang-senang. 10% waktu buat hal-hal tak terduga
Jadi, dalam sehari saya tetap menjatah 70% dari waktu saya buat kerja kreatif. Entah menulis naskah sendiri atau pesanan penerbit/klien, kerja editing, menuliskan ide-ide yang tiba-tiba bermunculan, menulis blog, menulis cerpen, menggambar, membuat sktesa, semua kerja kreatif yang masukkan dalam jatah ini. Tak ada waktu khusus, bisa pagi, siang, malam, kapanpun saya nyaman melakukannya.
Lalu, saya alokasi 20% waktu buat bersenang-senang. Ini penting banget buat saya sebagai pertahanan diri agar tidak gila. Bersenang-senang artinya melakukan hal-hal yang membuat saya senang. Entah itu chatting, menelpon simbok, ngopi-ngopi dengan sahabat, arisan, gosip-gosip dengan tetangga, ke toko buku, baca-baca timeline, internet surfing atau sekedar yoga, meditasi dan baca novel. Sekali lagi, enggak ada waktu khusus. Kegiatan bersenang-senang bisa saya lakukan kapanpun saya mau.
Nah, sisa 10% waktu, saya siapkan buat hal-hal nggak terduga. Ini termasuk janjian dadakan dengan klien, atau meeting yang nggak bisa ditunda. Semua yang di luar schedule utama, saya siapkan di sini. Dengan begitu, saya enggak puyeng jika harus mengubah jadwal menulis dalam waktu mepet.
Sistem 70 20 10 ini buat saya fleksibel banget, sebab nggak harus kerja dari jam sekian sampai jam sekian. Iya, kalau saya lagi mood, kalau enggak kan sia-sia. Mau setting waktu kerja delapan jam sehari, kalau nggak mood, tetap aja hasilnya cuma 1-2 lembar halaman naskah.
Nah, entah karena saya Gemini atau bipolar, mood saya memang naik turun dengan cepat. Mirip dengan roller coaster. Ini kenapa, jam kerja ketat enggak cocok buat saya. Lagipula, saya freelancer, dan ada kata FREE dalam profesi tersebut. Artinya, saya jadi pekerja lepas, karena saya pingin bebas… alesan banget ya!
Tapi dengan sistem ini, saya enggak ngerasa bersalah jika harus ngobrol sejam di antara waktu kerja. Asalkan masih masuk ke 20%. Dan sebaliknya, saya juga enggak ngerasa kebebanan jika harus kerja hanya 1-2 jam sehari, asalkan masuk ke jatah 70%. Artinya dalam waktu yang sempit itu saya harus berhasil menuntaskan kerjaan saya, minimal tiga per empat dari target hari itu.
Kuncinya, fokus. Saya selalu percaya menulis produktif itu bukan tentang seberapa lama berada di depan laptop. Menulis produktif itu lebih ke seberapa fokus kita melakukannya. Biasanya sih, saya bener-bener matikan segala sesuatu yang bisa menghubungkan saya dengan ponsel dan internet. Tanpa kedua benda itu, fokus saya lebih baik…setidaknya selama beberapa jam.
Lantas, kapan waktu buat keluarga dong? Haha, itu sih beda. Kapan-kapan saya ceritain deh 🙂