Barangkali saya adalah orang yang paling enggak bersyukur di dunia ~ sebab saya benci hujan. Sejak kecil, hujan membikin saya gelisah ketakutan. Saat hujan mulai menderas, saya suka mengontak kawan-kawan cuma buat bertanya, “Eh – di situ hujan, nggak?” ~ Benar-benar pertanyaan nggak penting.
Persoalannya, hujan sebentar pun bisa membikin banjir. Kalau banjir, jalanan macet. Kalau kena macet, saya bisa kesal seharian. Belum lagi jika naik motor saya harus berhenti memakai jas hujan kalau tak ingin basah kuyup, lalu mengganti sepatu dengan sandal, lalu risiko batuk pilek dan masuk angin. Di rumah pun, hujan membikin saya sebal, sebab beberapa bagian rumah – meski sudah diperbaiki berkali-kali – selalu bocor, sehingga ada pekerjaan ekstra menyiapkan ember-ember penampung. Lalu kabar dari koran atau TV ` longsor atau puting beliung, juga menambah rasa tak suka saya akan hujan.
Jadi, begitulah setiap awan mulai mendung, saya mulai senewen. Kecuali kemarin pagi, saat seorang kolega saya yang berasal dari Afrika Barat bercerita bahwa di negaranya, ia belum pernah melihat hujan sebanyak di Indonesia. Deras dan hampir setiap hari. Buatnya, ia merasa seperti sedang berada di negeri dongeng. Di tempat kelahirannya, ia dan penduduk lain tak familiar dengan mandi atau sekedar cuci tangan, sebab air adalah kemewahan.
Terus terang, saya mendadak malu sendiri, sebab sebetulnya hal begitu juga lekat di banyak tempat di negara ini. Sementara saya merutuki hujan, lainnya sangat berharap terkena sedikit gerimis. Makanya saya bilang, barangkali saya memang orang paling enggak bersyukur di seluruh dunia.
Saya tetap tak suka hujan, hanya saja mulai hari ini ingin mencoba untuk nggak mengeluh lagi. Niat ini lantas ditertawai oleh seorang kawan. Dia bilang. “Hujan nggak hujan, pada dasarnya kamu tuh grumpy old lady…dalam hal apapun.” 😀