Yesterday wasn’t a good day for me.
Setelah siang kemarin angin ribut melanda daerah sekitar rumah selama beberapa menit, jaringan listrik padam selama hampir sepuluh jam. Saya sedikit terlambat menjemput anak-anak dari sekolah sebab kesulitan mencari jalan yang tak terhalang pohon tumbang dan baliho yang terhempas. Sesampai di rumah, saya masih harus beresin pecahan genteng, ranting pohon dan daun-daun yang dilempar angin ke arah rumah.
Kelelahan fisik hari itu masih ditambah dengan kebodohan saya. Alih-alih istirahat, saya malah cek medsos begitu jaringan listrik dan internet menyala. Tentu saja saya langsung baper, sebab begitu banyak tulisan negatif bertebaran. Bahkan yang tak negatif pun tetap membikin saya kesal. Salah satunya, komen seorang temann pada status FB, “Kamu enak, mbak. Pensiun dini, terus jadi penulis yang kerjanya hanya duduk-duduk depan komputer lalu terima duit.”
Respons refleks saya adalah meledak. “Maksud loooo!!!” teriak saya dalam hati, lantas kesal semalaman.
Oh, tentu teman saya tak salah, saya saja yang sedang bad mood. Ia memang tak pernah saya ceritakan bahwa penulis itu tidak ‘duduk-duduk saja di depan komputer dan kemudian terima duit’. Wajar jika tak sedikit pun terlintas di pikirannya bahwa menulis itu sebuah pekerjaan yang tak sederhana.
Tapi mungkin memang saya tak perlu cerita, sebab dia tak ingin mendengar. Komentarnya hanya merefleksikan keluhan hidupnya. Ia pegawai sebuah bank yang sering lembur dan sulit mendapat libur. Dan ia pernah bercerita pada saya impiannya untuk pensiun dini.
Entah bisa disebut pensiun dini atau tidak, saya resign dari pekerjaan sekitar sepuluh tahun lalu. Saat itu usia saya 34 tahun. Alasan utama pernah saya ceritakan di sini. Yang jelas, tak pernah terbayang oleh saya bahwa setelah resign, saya akan duduk ongkang-ongkang terima duit.
Barangkali karena saya bukan penggemar Robert Kiyosaki, Guy Kawasaki dan motivator-motivator sejenis (juga tak pernah baca buku mereka), maka saya tak paham mengapa ide ‘pensiun dini dan memulai bisnis sendiri’ terdengar begitu indah. Seorang kawan keluar dari pekerjaan kantor setelah membaca buku Kiyosaki. Bermodal reksadana, ia lalu main saham dan investasi sana sini. Setelah dirasa cukup, ia menggunakan uangnya sebagai modal memulai bisnis impiannya.
Teman lain juga begitu. Ia mendaftar bisnis MLM, mengelola downline lalu sukses hingga bisa punya rumah, mobil, dan bisa jalan-jalan ke luar negeri. Sempurna ya?
Tapi saya justru tertarik dengan kisah yang tak mereka ceritakan. Di balik ‘ongkang-ongkang terima duit setelah pensiun dini,’ mereka melakukan yang namanya ‘kerja keras’. Benar, tak satu pun teman yang memutuskan mengejar passion-nya benar-benar berhenti bekerja. Beda banget kan dengan khayalan umum, di mana setelah pensiun, kita bisa santai-santai di pantai sementara uang tak berhenti mengalir.
Teman-teman saya justru memiliki jam kerja yang lebih panjang ketika memutuskan untuk memulai bisnis sendiri. Mereka jauh lebih sibuk dibanding saat masih kerja kantoran. Meski barangkali semua sangat mereka nikmati, namun intinya mereka tak pernah berhenti bekerja.
Memang, ketika seseorang berhasil menemukan dan menjalankan kerja yang mereka sukai atau sesuai dengan passion-nya, semua beban menjadi lebih ringan. Saya tahu betul, sebab saya juga bekerja keras meski kelihatannya hanya duduk-duduk di depan laptop. Sebab hari-hari saya seringkali tak seindah bayangan teman yang berkomentar di FB tadi.
Ada hari-hari di mana saya tak mampu menulis. Entah karena mental block, frustasi pada seseorang, deadline dan urusan-urusan lainnya. Saya juga seringkali kehilangan waktu bermain dengan anak-anak, tak sempat hangout bareng teman-teman, terpaksa menolak proyek potensial dan banyak lagi. Pernah akibat obsesi saya menulis terlalu kuat, saya lupa memenuhi kulkas dengan bahan makanan, membiarkan kamar mandi tak digosok dan pakaian kotor menggunung. (Iya, ini memalukan dan tak akan pernah saya lakukan lagi)
Apakah dengan begitu saya menyesal pensiun dini dan jadi penulis? Nggak pernah. Saya cinta pekerjaan saya sekarang dan bersenang-senang dengan prosesnya. Yang ingin saya garis bawahi adalah setiap hal selalu ada risikonya, termasuk pensiun dini. Kalau kamu menyejajarkan pensiun dini dengan hidup enak tanpa kerja, maka kamu akan mudah terjebak. Seseorang yang tak lagi menjadi pegawai kantoran justru harus lebih mahir membuat batas antara ia dan pekerjaannya. Jika tidak, pekerjaan akan membuatnya menjadi budak, walau didasari oleh passion.