Novel Animal Farm

George Orwell menulis Animal Farm pada tahun 1945, tapi ajaibnya, sampai sekarang karyanya itu masih terasa relevan. Kisah dalam novel ini semacam dongeng politik yang dibungkus dengan hewan-hewan yang bisa berbicara, mulai dari kuda, babi, ayam, bahkan keledai. Kalau anak kecil baca, mungkin mereka mengira ini versi lain dari Chicken Run. Hanya saja, jangan tertipu, sebab kisah ini lebih mirip drama politik yang sering kita tonton di layar kaca. Bedanya, di sini tokoh utamanya adalah babi.

Ceritanya sebenarnya sederhana. Hewan-hewan di Peternakan Manor muak dengan manusia yang suja menindas. Mereka memberontak, mengusir tuannya, lalu membuat aturan-aturan baru yang katanya akan membawa kesetaraan. Semua hewan sama, katanya. Manis sekali, bukan?

Ironisnya, lama kelamaan, si babi pintar bernama Napoleon mulai mengambil alih. Aturan-aturan berubah perlahan, dari “semua hewan sama” menjadi “semua hewan sama, tapi beberapa lebih sama dari yang lain.” Kedengarannya absurd, tapi kok ya mirip dengan realita, ya?

Yang bikin Animal Farm menarik adalah cara Orwell menelanjangi kekuasaan. Dia menunjukkan bagaimana idealisme bisa berubah jadi tirani, bagaimana slogan indah bisa dipelintir demi kepentingan segelintir kaum, dan bagaimana ingatan massa bisa dipermainkan. Orwell menulisnya dengan sederhana, tanpa perlu teori politik rumit. Bahkan lewat seekor kuda pekerja bernama Boxer, kita belajar betapa loyalitas nan buta bisa membawa kehancuran.

Membaca Animal Farm itu seperti bercermin, walaupun kadang kita ingin buru-buru menutupi cermin itu dengan kain tebal. Sebab ternyata, dalam banyak hal, manusia lebih mirip babi Napoleon daripada hewan-hewan lugu yang mereka pimpin.

Kalau ditanya apa Animal Farm (yang diterbitkan 80 tahun lalu) masih layak dibaca hari ini? Menurut saya sangat relevan. Malah makin relevan. Kita bisa membacanya sebagai sindiran politik, refleksi sosial, atau sekadar pengingat bahwa janji manis pemimpin seringkali cuma gula-gula. Jadi, kalau suatu hari kamu dengar jargon “demi rakyat”, ingatlah … barangkali itu si Napoleon yang sedang ngomong dari balik kandang.

 

Animal Farm di Tanah Air: Babi, Elite, dan Suara Rakyat yang Mengerang

Kalau Orwell menulis Animal Farm sebagai peternakan tempat Napoleon si babi merebut kekuasaan, di Indonesia, khususnya pada akhir Agustus 2025 lalu, banyak orang merasa hidup di “peternakan” semacam itu juga. Hanya bedanya, Napoleon-nya mungkin lebih rapi walau jauh dari bersih.

Gelombang demonstrasi sejak 25 Agustus dan belanjut di bulan September menunjukkan bahwa rakyat mulai muak. Muak dengan aturan yang jauh dari janji, tunjangan parlemen yang tinggi di tengah keadaan ekonomi rakyat yang sulit, elite politik yang tampak lebih dekat ke oligarki daripada ke masyarakat. [1]

Demonstrasi ini bukan cuma soal protes sesaat. Ada tuntutan konkret seperti “17+8” yang berisi banyak permintaan agar keadilan dan akuntabilitas ditegakkan, agar wakil rakyat dan legislatif merespons, agar kebijakan-kebijakan tak hanya menguntungkan yang punya akses dekat dengan kekuasaan.

Persis seperti di Animal Farm, idealisme awal bahwa “semua hewan sama”, berubah menjadi susunan kekuasaan tempat “beberapa hewan sama, tapi beberapa lebih sama.” Di sini, para elite, yang bisa kita analogikan sebagai babi-babi di novel, mulai mempertahankan posisi mereka lewat kebijakan, koneksi, bahkan oposisi yang ditunggangi kepentingan oligarki. Beberapa kebijakan dirasa tak reflektif terhadap penderitaan rakyat (inflasi, kesulitan ekonomi, tunjangan besar untuk pejabat), dan kepercayaan rakyat terhadap wakil rakyat merosot tajam. [2]

Ada juga aspek “manuver senyap”, yang di Animal Farm terjadi lewat propaganda, penghapusan fakta, serta penyusunan ulang sejarah kandang. Di Indonesia, kritik publik mengatakan bahwa ada penyusunan narasi media, intimidasi terhadap demonstran, bahkan tuduhan “menunggangi aksi” terhadap pengunjuk rasa agar tampil dengan warna tertentu

Dalam Animal Farm, hewan-hewan yang di peternakan setuju bekerja, berharap diberi perlakuan adil, berharap pemimpin menjaga agar kandang bersih dan aman. Namun, jika pemimpin itu adalah Napoleon yang kemudian merebut aturan, mengganti “semua hewan sama” menjadi “beberapa berkuasa dan lainnya ikut,” maka konflik tak terelakkan.

Kesimpulannya: Animal Farm bukan hanya dongeng politik kuno; ia cermin yang sangat nyata di Indonesia sekarang. Demonstrasi dan tuntutan publik menunjukkan bahwa rakyat mulai sadar bahwa slogan-slogan besar tanpa implementasi hanyalah retorika. Yah, mirip-miriplah seperti saat si Napoleon di novel mengubah pepatah “Empat kaki baik, dua kaki buruk” menjadi “Empat kaki baik, dua kaki lebih baik ketika bergabung dengan mereka yang berkuasa”.

Pesan kuatnya di sini adalah bahwa rakyat harus terus menuntut agar aturan berlaku sama, agar suara kecil tak hilang. Soalnhya kalau enggak, kita bisa saja melihat “farm” baru, tempat kekuasaan dan privilese kembali diklaim oleh segelintir kaum. Pokoknya, mirip banget deh dengan precarity di Animal Farm.

 

Kalau Animal Farm Terjadi di Indonesia 2025

Coba bayangkan kalau Orwell menulis ulang Animal Farm dengan setting Indonesia 2025. Peternakannya tentu lebih besar, dengan kandang ayam diubah jadi gedung parlemen, kandang sapi jadi gedung kementerian, dan babi-babi pintar punya akses khusus ke dapur yang selalu penuh sembako subsidi.

Hewan-hewan kecil, seperti kambing, ayam, angsa, tetap berteriak-teriak minta pakan yang adil. Mereka ini rakyat jelata. Lantas bagaimana dengan Boxer si kuda pekerja? Bisa jadi gambaran buruh atau petani yang selalu bilang “Aku akan bekerja lebih keras” meski perutnya keroncongan. Bedanya, di sini Boxer-nya mungkin ikut demo, lalu dicap sebagai “ditunggangi pihak tertentu.”

Napoleon, si babi penguasa, akan berganti kulit jadi tokoh elite yang tersenyum di depan kamera sambil bilang “demi kesejahteraan semua.” Padahal di belakang layar, ia sibuk mengatur siapa dapat jatah proyek, siapa boleh masuk lingkaran, dan siapa yang harus “diam.” Orwell pasti akan tersenyum miris melihat betapa untuk menulis ulang babak ini, dia tidak perlu banyak berimajinasi.

Apakah Indonesia akan berakhir persis seperti Animal Farm? Ya, jangan dong. Tentu kita semua berharap tidak. Novel itu suram, sebab pada akhirnya hewan-hewan peternakan pasrah, lupa sejarah, dan menganggap hidup memang begini adanya. Yang paling mengerikan, di akhir cerita mereka bahkan tak bisa membedakan lagi siapa babi, siapa manusia. Semua terlihat sama; mereka berkuasa, berpesta, dan lupa kandang di luar sana.

Nah, justru di sinilah pelajarannya. Rakyat Indonesia tidak harus jadi hewan-hewan lugu yang diam atau mudah dilupakan. Demonstrasi, kritik, dan tuntutan publik adalah bentuk “mengingat kembali” agar sejarah tidak dipelintir.

Kalau Animal Farm versi Indonesia ingin punya ending berbeda, maka kuncinya ada pada hewan-hewan kecil yang berani bersuara, menolak lupa, dan tak mau lagi dibohongi oleh janji manis Napoleon. Karena kalau tidak, kita hanya akan mengulang bab terakhir Orwell, yakni hidup di peternakan yang katanya merdeka, padahal sama saja, cuma ganti penguasa, bukan ganti nasib.

 

Jangan Jadi Hewan yang Lupa

Membaca Animal Farm sambil melihat keadaan Indonesia di tahun 2025 itu rasanya kayak nonton film lama yang tiba-tiba masuk ke berita terkini. Kita bisa saja menertawakan betapa kocaknya babi berpidato, tapi kalau jujur, hati kita nyut-nyutan sambil membatin. “Kok mirip, ya?”

Sebagai pembaca, saya cuma mau bilang jangan jadi hewan yang lupa. Jangan biarkan slogan-slogan indah membuat kita lengah. Kritik itu perlu, suara kecil itu penting, dan ingatan adalah senjata. Kalau hewan-hewan di peternakan mau selamat, mereka harus berani bilang, “Hei, aturan sudah berubah seenaknya. Kita tidak mau dibodohi lagi.”

Nah, mungkin pertanyaannya sekarang bukan “Apakah Indonesia mirip Animal Farm?”, tapi “Apakah kita mau membiarkan diri jadi karakternya?” Kalau jawabannya tidak, ya sudah jelas, kita harus terus bersuara, sekecil apa pun. Karena diam itu sama saja menyerahkan kandang ke Napoleon.

Dan percayalah, kita nggak mau lagi lihat babi berpesta di meja makan sementara kandang kita makin kotor, kan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.