Beberapa waktu yang lalu saya ke Jkt untuk urusan kerja dan menginap di apartemen kawan. Sebetulnya saya bisa saja menginap di rumah tante, tapi saya gak tahan bujukan kawan itu.
FYI; dia selalu menanggap saya begitu penting dalam hidupnya, sedangkan saya tidak. Entahlah, mungkin karena buat dia tanpa saya dia gak akan ketemu sama suaminya sekarang. Suaminya, seorang diplomat Australia, memang mantan siswa saya.
Anyway, kawan saya itu tahu banget kalau saya adalah tipe orang rumahan tinggal di kota kecil yang masih kental atmosfir tradisionalnya (sebetulnya dia juga, tapi sekarang tidak lagi). Dia “menantang” saya untuk sesekali merasakan gaya hidup “orang Jakarta.” Saya pikir, kenapa tidak? toh gak menganggu kerjaan dan semuanya traktiran kawan saya.
Jadilah, malam pertama saya habiskan dengannya di sebuah restoran bernama Blowfish. Restorannya cozy dan masakan Jepangnya memang mak nyus tenan – padahal kokinya org San Fransisco. Saya pulang kekenyangan.
Besok sorenya, kami memanjakan diri di spa selama lima jam. Saya senang tapi sedikit bosan di sini, bagaimana tidak? Facial satu setangah jam, kemudian krimbat satu setengah jam dan terkahir luluran komplit makan waktu dua jam. Memang kemudian saya merasa lebih segar & wangi.
Setelah itu, dia mengajak saya berbelanja di butik bernama Zara. Di sana saya naksir sebuah baju terusan, dan tersenyum manis saat melihat price tag-nya: tujuh juta rupiah.
Malam terakhir, dia dan suaminya mengajak saya ke sebuah tempat ajeb-ajeb (saya lupa namanya). Meski terganggu asap rokok tapi musik dan suasananya keren. Kami pulang jam setengah empat pagi, dan saya setengah mati menahan kantuk sebab dua jam kemudian saya harus sudah ke bandara untuk pulang ke Jogja.
Yup! Pulang ke kota kecil saya. Pulang ke rumah mungil saya.
Saya senang kawan saya memberi pengalaman baru tapi saya memutuskan bahwa saya gak akan bahagia dgn gaya hidupnya. Terlalu hedonis.
Memang apa salahnya menjadi hedonis?
Tak ada – kecuali bahwa saya proletar 🙁