“Astrid, apa yang paling kamu sesali dalam hidupmu?” tanya seorang sahabat suatu kali, membuat saya terperangah dan berpikir lama.

Sebab saya belum pernah memikirkannya. Oke, barangkali ada beberapa hal yang ingin saya lakukan tetapi nggak jadi. Mengambil S2, kursus bahasa Spanyol, dan menjadi model. Tapi semua itu ada alasannya, jadi tak pernah saya sesali.

Saya tidak jadi mengambil kuliah S2 karena pekerjaan saya waktu itu sangat menyenangkan. Sayang kalau saya berhenti hanya untuk sekolah, pikir saya waktu itu. Lagipula alasan saya bukan benar-benar ingin  mendapatkan gelar Master, tapi lebih karena beberapa teman mengambil S2 dan mereka kelihatan keren. Saya kepingin kayak mereka.

Alasan yang sama juga saya gunakan ketika berencana jadi model, dan kursus bahasa Spanyol. Ikut-ikutan saja. Tinggi saya 170cm dan sangat kurus ketika itu. Banyak orang menyarankan saya jadi model, dan saya pernah mencobanya. Dua kali. Dan tak pernah bisa menikmati. Barangkali karena tak sekeren para model yang saya lihat di majalah, saya nggak memahami esensi dari berjalan ke sana kemari di atas panggung, dengan make up tebal dan baju mewah, membiarkan orang-orang menilai penampilan saya.

Saya dibesarkan oleh seorang ibu yang gemar mengkritik penampilan orang lain. Tak ada orang yang cukup baik di matanya, selalu ada yang salah dengan rambut si A, cara jalan si B, bau ketiak si C. Tentu saja, saya tak lepas dari kritikannya. Ia menyebut saya terlalu kurus, kurang gizi, hidung besar, telinga Kapten Spock (iya, telinga saya memang nyaplang), dan beberapa label lainnya. She thought those lables are funny and I shouldn’t be intimidated (and actually she still think they are funny up to now)

Don’t get me wrong, I don’t hate my mom. Label-label yang ia ciptakan untuk sekedar lucu-lucuan itu hanya mengajari saya satu hal; bahwa saya tidak akan pernah memberi label pada anak-anak saya. Apapun itu.

Di sekolah, tinggi tubuh dan kurusnya saya menjadi bahan olok-olokan. Di-bully kalau istilah sekarang. Saya memang selalu jadi anak perempuan tertinggi di kelas, dan tinggi tubuh saya tak diikuti berat badan yang proporsional sehingga terlihat kurus. Teman-teman sering memanggil saya dengan beragam julukan; Jalangkung, Jerapah, Tiang Listrik, dan entah apa lagi.

Iya, saya lumayan terintimidasi oleh julukan dan label yang diberikan orang-orang di sekitar saya. Untuk beberapa lama, saya tumbuh sebagai remaja yang tak memiliki kepercayaan diri. Saya merasa fisik saya tak cukup baik untuk bisa diterima di lingkungan. Menjadi cewek terjangkung di sekolah itu mengerikan dan membuat saya menderita selama masa sekolah menengah.

Dan, barangkali ini adalah hal yang paling saya sesali dalam kehidupan. Membiarkan pikiran dan pendapat orang lain memengaruhi diri saya.

Padahal, saya nggak bodoh. Meski tak pernah juara satu, nilai-nilai saya nggak jelek. Saya menerima beasiswa selama enam tahun. Benar bahwa saya agak lamban dalam hitung-hitungan, tapi saya jago dalam mata pelajaran lainnya. Saya juga jadi kesayangan guru olahraga, sebab saya jago main volley, bola basket, lari sprint dan kasti (waktu itu baseball belum populer). Saya suka banget olahraga, dan pernah kepingin jadi atlit. Tapi kata ayah, atlit nasional tidak pernah mendapat apresiasi dari negara, jadi saya batalkan cita-cita itu.

Dari semua kebisaan yang disukai orang lain dari saya, sayangnya saya terlalu berfokus pada olok-olokkan teman. Masa-masa SMP, saya menjadi remaja yang gelisah sendiri karena merasa tinggi tubuh saya tidak wajar. Saya tak pernah berpacar karena tak yakin ada cowok yang mau dengan cewek sejangkung saya. Selain itu, saya juga tomboi, berambut pendek dan selalu berantakan, serta nggak pernah punya rok selain seragam sekolah. Pikir saya, cowok itu sukanya cewek feminin. Mana mau mereka menoleh ketika melihat gaya urakan saya.

Di SMA, situasinya sedikit membaik. Teman-teman cowok banyak yang mulai  bertubuh tinggi seperti umumnya remaja, dan hal itu membuat tinggi saya tak kelihatan terlalu mencolok lagi ketika upacara. Tapi saya menjadi sangat introvert. Penyendiri yang merasa tak pantas jadi teman siapapun karena minder dengan label-label yang telanjur tertanam sejak kecil.

Menjelang kelas 2 SMA saya pacaran sekitar delapan belas bulan, lantas putus dan nggak lama saya tahu dia sudah bareng cewek lain yang penampilannya feminin. Makin minder lah saya. Semakin merasa tak ada yang menyukai saya, atau bakal memacari saya.

And that, my friend, was a stupid thing I ever thought about myself.

Saya terlalu kepikiran dengan pendapat orang lain sehingga tak pernah memikirkan diri sendiri. Saya merasa ingin menyenangkan orang lain agar bisa diterima. I let people define me based on my look, and that was stupid.

Siapapun boleh menyatakan pendapatnya, tapi memercayai atau bahkan terpengaruh oleh pendapat tersebut, merupakan hal terbodoh dan amat saya sesali.

Menengok ke belakang, membuat saya ingin menjadi role model bagi diri saya sendiri di masa remaja. Sekarang ini, saya tak lagi bersedia menghabiskan waktu memusingkan apa yang orang lain pikir tentang saya, apalagi jika itu tak benar menurut saya.

Selfish? Well, sometimes you need to be selfish and love yourself. Sebab yang tahu dirimu adalah kamu sendiri. Orang lain hanya bisa menebak dari luar, dan kebanyakan tebakannya meleset.

Saat ini, saya terus berusaha menjadi orang yang diinginkan oleh diri saya ketika remaja. Saya mencoba menjadi panutan bagi diri sendiri, membayangkan jika bertemu diri saya versi remaja, apakah dia menganggumi saya yang sekarang? Dan, ya. Dia sangat bangga pada saya yang sekarang. I’m happy with it.

So, it’s okay if I’m not as smart as other people, not sexy or appealing, not that beautiful, start having wrinkles and a few gray hairs, have muffin top and stretch marks… I don’t mind them at all. And, it’s okay to have people judging me, because it’s their rights. Hak saya hanyalah tidak mendengarkan mereka.

Pada dasarnya, saya bahagia dengan saya yang sekarang dan terus belajar memperbaiki diri. Saya harap pemikiran saya bisa menginspirasi orang lain untuk menjadi diri mereka sendiri dalam versi yang lebih baik.

Btw, kenapa dulu nggak jadi ambil kursus bahasa Spanyol? Alasannya dua. Pertama; gebetan saya, orang Spanyol, ternyata sexist, dan kedua, saat itu saya terlalu proletar untuk bayar kursus, hehe… 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.