Cantik Itu Luka Eka Kurniawan
Novel ini saya baca dari pertengahan November sampai akhir Desember 2018
Disclaimer: Review mungkin sedikit subjektif karena saya penggemar Eka Kurniawan 😀
Membuka lembar-lembar pertama dari novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan barangkali akan membuat kening berkerut dan perasaan kecut. Pelacur mati yang hidup kembali, pembunuhan, kekasih gila, persetubuhan dengan binatang (bestiality), kehidupan di kamp tahanan, perkosaan brutal oleh tentara Jepang, dan banyak lagi.
Tidak ada kisah romantis ala drama Korea di sini. Sebaliknya, dalam 505 halaman novel, kamu akan menemukan dokumentasi kisah-kisah selama lima puluh tahun sejarah Indonesia modern. Mulai dari penjajahan Belanda, invasi Jepang, dan peristiwa genosida mengerikan yang terjadi di Indonesia antara tahun 1965-1966. Barangkali kengerian ini terasa lebih dramatis karena Eka Kurniawan tampaknya memilih menggunakan bentuk sastra realisme magis dalam novel pertamanya.
Pusat cerita Cantik Itu Luka ada pada tokoh bernama Dewi Ayu, keempat putrinya serta keluarga mereka. Dewi Ayu, pelacur yang paling dihormati di Halimunda (sebuah kota pantai fiktif), bangkit dari kuburnya setelah mati selama dua dekade. Dia kembali untuk mengunjungi putri keempatnya, si Cantik, yang terkenal buruk rupa. Serangkaian kisah epik sejarah, sihir, dan pembunuhan membawa kita melompat kembali ke masa kelahiran Dewi Ayu, yakni menjelang Perang Dunia II, pada hari-hari terakhir pemerintahan Belanda sebelum Jepang masuk ke Indonesia. Kisah berlanjut dengan masa-masa pendudukan Jepang, pembantaian massal, juga percobaan kudeta oleh Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965.
Dewi Ayu berdarah setengah Belanda. Neneknya, Ma Iyang, adalah gundik Belanda. Ma Iyang sendiri sebenarnya memiliki seorang kekasih di kampung bernama Ma Gedik. Begitu mengetahui kekasihnya diambil Belanda, Ma Gedik menjadi agak gila. Dia suka makan kotoran manusia dan bersetubuh dengan ayam dan kambing. Ma Gedik kemudian bunuh diri setelah dipaksa menikah dengan Dewi Ayu (yang notabene adalah cucunya).
Setelah kematian Ma Gedik, Dewi Ayu ditahan tentara Jepang, dan kemudian menjadi pelacur. Dia tidur dengan seratus tujuh puluh dua lelaki. ″Yang paling tua berumur sembilan puluh dua tahun, yang paling muda berusia dua belas tahun, seminggu setelah disunat.″ Dewi Ayu kemudian melahirkan empat anak perempuan dari hasil melacur. Sedihnya, nasib anak dan cucu Dewi Ayu selalu berakhir tragis.
Sastra Realisme Magis
Cantik Itu Luka penuh dengan dark humor, kisah-kisah kuno yang fantastis, serta campuran antara kekerasan dan erotisme. Kekerasan yang ada di hampir setiap bab bergabung harmonis dengan parodi, dongeng, dan mitos. Kelihatannya Eka Kurniawan memang sengaja memilih realisme magis dalam novel ini agar bisa menggunakan banyak tradisi sastra, terutama tradisi lokal, untuk melawan narasi dominan tentang sejarah Indonesia.
Dalam balutan realisme magis, Eka Kurniawan mengisahkan suasana tahun 1965 ketika dugaan kudeta oleh Partai Komunis Indonesia dimentahkan oleh Mayjen Suharto, membuat berakhirnya pemerintahan Presiden Sukarno. Pembantaian masal dalam rangka memusnahkan seluruh anggota Partai Komunis diikuti dengan kebangkitan hantu-hantu korban pembunuhan di Halimunda. Situasi tersebut amat menganggu Sang Shodancho, menantu Dewi Ayu, yang ikut memimpin pasukan tentara di Halimunda untuk melakukan pembantaian.
Konflik antara komunis, tentara, dan preman yang menggerus Indonesia digambarkan melalui Sang Shodancho, Kamerad Kliwon, dan Maman Gendeng. Mereka adalah suami-suami dari anak-anak perempuan Dewi Ayu. Konflik tersebut kemudian diteruskan oleh keturunan mereka, dan pada akhirnya, musibah demi musibah terjadi. Penggambaran sejarah suram negara kita dalam novel ini begitu tajam sekaligus tak kasatmata, terutama kalau kamu sekadar menganggap kisah ini fiksi belaka.
Gabungan Manis
Saya merasa agak déjà vu ketika membaca Cantik Itu Luka. Beberapa tahun lalu saya pernah membaca novel berjudul One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez. Saya menemukan nuansa yang pararel, hanya saja semua tokoh di Cantik Itu Luka tampaknya ditakdirkan untuk berada dalam keadaan “lebih gelap”. Ada banyak kekerasan fisik dan seksual, tetapi tidak ada yang digambarkan secara serampangan. Setiap detail terasa penting dan mampu menggambarkan masa-masa tragis Indonesia tempo dulu.
Selain itu, saya juga seolah melihat kembali film dokumenter The Act of Killing (2012) karya Joshua Oppenheimer. Film itu secara brilian menganalisis dampak peristiwa pembantaian partai komunis pada masyarakat Indonesia, baik dari perspektif pelaku maupun korban.
Sementara kisah Maman Gendeng, seorang gangster yang menikahi putri kedua Dewi Ayu, sekaligus penjahat paling terkenal dan ditakuti Halimunda, mengingatkan saya pada kisah dalam film Pulp Fiction. Maman Gendeng, saya kira, merupakan refleksi yang mengungkap segmen penting dari sejarah Indonesia, yakni bagaimana pemerintah orde baru bekerja sama dengan para kriminal dan gangster untuk menghabisi lawannya.
Gabungan manis dari novel Marquez, film dokumenter Oppenheimer, dan Pulp Fiction ini menjadi semakin unik karena Eka Kurniawan berhasil mempertahankan ketegangan sejarah, hanya dengan bercerita mengenai kejahatan dan pembunuhan misterius yang menimpa ketiga cucu Dewi Ayu. Di sini saya benar-benar mengagumi bakat dan kecerdasan penulis. Dia membuat dongeng fiksi yang mampu menelaah sejarah, mengangkat budaya dan tradisi, sekaligus memberi pemahaman baru. Setelah menyelesaikan buku ini, saya tidak hanya lebih memahami sejarah Indonesia, tetapi juga jiwa dan rohnya. Buat saya, ini adalah buku yang mencengangkan sekaligus penting.
Meskipun kabarnya buku itu tidak diterima dengan baik di kalangan sastra Indonesia, Cantik Itu Luka mendapat apresiasi sebagai salah satu buku terbaik pada tahun 2015, terutama setelah versi terjemahan bahasa Inggrisnya diterbitkan. Nuansa komik dan satir dalam Cantik Itu Luka terasa kental, namun tetap tidak bisa dilihat sebagai bacaan ringan.