Pesan untuk “bawa tisu yang banyak sebelum ke bioskop” tepat banget buat film Keluarga Cemara. Begitu banyak scene yang buat kita harus berusaha keras untuk menahan tumpahan air mata (dan ingus, kalau di saya – sebab, setiap nangis, pasti saya beringus. Nggak keren, memang)

Poster Film Keluarga Cemara
Film Keluarga Cemara tayang mulai 3 Januari 2019

Saya nggak akan spoiler dengan kisah dalam film Keluarga Cemara, lagipula sebagian dari kita yang mengalami masa anak dan remaja di tahun 90an, barangkali sudah tahu benang merah kisah keluarga sederhana ini. Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto merupakan gambaran indah tentang keluarga biasa, cenderung susah secara finansial, tapi bahagia secara mental. Premis sederhana yang bisa terlintas di benak penulis manapun, hanya saja Arswendo Atmowiloto lah yang berhasil mengejawantahkan dalam sebuah cerita yang “nggak neko-neko”

Mendengar kata Keluarga Cemara pasti terlintas kata Abah, Emak, Euis, Ara, Agil (dalam film tokoh Agil tampaknya belum lahir), dan Opak. Saya dulu penasaran, kenapa dinamai Keluarga Cemara? Kan, nama Abah sebagai kepala keluarga nggak berkaitan dengan Cemara. Ternyata ada dua alasan, yaitu karena Cemara adalah nama panjangnya Ara, dan karena filosofi pohon cemara yang dikenal kuat dan mampu bertahan pada berbagai musim.  Kalaupun dalam film digambarkan banyak tumbuh pohon cemara di sekitar rumah, barangkali memang untuk alasan estetika film – sebab seingat saya, di cerita aslinya, hanya ada empang.

Premis Sederhana

Film Keluarga Cemara bercerita tentang keluarga yang tadinya hidup berkecukupan di Jakarta. Abah (diperankan oleh Ringgo Agus Rahman) adalah seorang pengusaha. Sebuah peristiwa memaksa Abah menyerahkan seluruh harta kekayaan pada juru sita, dan kemudian membawa keluarganya tinggal di kampung asal. Untuk menghidupi istri dan anak, Abah bekerja sebagai apa saja, termasuk bekerja di rumah tante Pressier, tetangga kaya raya yang juga salah satu tokoh pendukung berkarakter menarik.

Abah digambarkan sebagai ayah yang memiliki beban berat namun selalu bisa tegar menghadapi semua. Dengan sabar, Abah dan Emak (diperankan oleh Nirina Zubir) mengatasi kegelisahan Euis yang harus mengubah gaya hidup secara drastis. Ara mungkin satu-satunya yang tidak terlalu merasakan dampak perubahan itu, sebab usianya masih kecil dan pemikiran kanak-kanaknya yang ceria masih mendominasi.

Kasih sayang keluarga merupakan satu nilai utuh yang disodorkan dalam keseluruhan film. Ketulusan menerima keadaan hidup, sesedikit mungkin mengeluh, tetap saling menghormati meskipun keadaan menjadi sangat sulit, dan tetap berusaha bangkit dari ujian. Jatuh miskin dan harus menjalani kehidupan serba sederhana tidak lantas membuat Keluarga Cemara terpuruk dan patah semangat. Setiap anggota keluarga bahu membahu mencoba saling menguatkan diri dan membangun  mindset baru mengenai arti kebahagiaan. Di sinilah kamu benar-benar perlu bawa banyak tisu untuk melap air mata (dan ingus).

Baca Juga Bukunya

Saya kenal Keluarga Cemara pertama kali lewat buku, bukan sinteron apalagi film. Tokoh yang paling saya sukai adalah Euis, dan gara-gara dia saya jadi suka banget beli opak di depan sekolah. Opak itu camilan khas (mungkin dari Jawa Barat) mirip kerupuk berbahan dasar singkong atau beras ketan. Saya sih lebih suka opak singkong, disiram pakai bumbu sambal, duh enak banget 🙂 Sayang di Jogja nggak tau di mana bisa beli ini, untungnya anak penjual opak depan sekolah dulu itu teman saya, jadi kalau mampir ke rumahnya di Jakarta, saya suka minta dibikinin opak sama ibunya 😀

Anyway, balik lagi ke Keluarga Cemara.

Film bertema keluarga ini tepat banget buat diluncurkan tahun 2019. Kisah yang bikin adem di tengah panasnya situasi linimasa media sosial akibat tahun politik ini nggak membosankan – meskipun penonton nostalgia kayak saya sudah tahu jalan cerita utamanya. Ada banyak pesan moral yang disampaikan tanpa menggurui, dan kena banget buat generasi Z dan Alpha. Mereka terlalu banyak dicekcoki dengan tayangan reality show semacam dapat duit kaget dan harus menghabiskannya untuk membeli barang-barang yang nggak dibutuhkan. Tayangan yang justru mendorong orang buat menjadi materialistis, kalau tidak hedonis.

Buku Keluarga Cemara
Buku Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto

Film dan buku Keluarga Cemara, keduanya menyentuh banget. Dalam buku Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2013, ada banyak dialog-dialog filosofis yang mudah dicerna dari para tokoh. Beberapa yang saya suka:

”Siapa saja bisa berbuat salah. Kecuali Tuhan. Abah juga bisa salah. Emak bisa. Kalian bisa. Tak apa berbuat salah, asal memang tidak berniat jahat.” (hal.160).

dan

”Abah akan mengerjakan apa saja dengan tangan ini. Asal halal dan tidak melanggar ajaran Tuhan. Abah tidak peduli. Tidak ada pekerjaan hina, selama kita melakukan dengan baik. Ara, bekerja selalu lebih baik daripada menganggur.” (hal.192).

Saya saranin banget, selain film, baca juga deh bukunya. Buku Keluarga Cemara merupakan antologi cerita pendek yang diambil dari buku-buku terdahulu, yaitu Keluarga Cemara, Musik Musim Hujan, dan Kupon Kemenangan. Dalam buku, kisah-kisahnya tidak melulu tentang kehidupan Abah, Emak, Euis, Ara dan Agil saja, tapi juga tentang tetangga dan teman-teman Euis dan Ara.

Keluarga Cemara menanamkan pesan bahwa bahagia itu mindset yang bisa kita ciptakan sendiri, jadi bukan diberi oleh lingkungan. Mindset yang dibutuhkan buat menjadi bahagia juga simple; bersyukur. Iya, layaknya berdoa, bersyukur memang kegiatan sederhana yang seringkali susah dilakukan.

Jargon “Bahagia itu Sederhana” atau “Jangan Lupa Bahagia” yang tampak basi sebetulnya adalah pengingat kuat mengenai dorongan untuk terus bersyukur tentang apapun yang terjadi. Baik kegembiraan atau musibah, bersyukur kepada Tuhan selalu menjadi penolong terbaik.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.