Dalam dua tahun, delapan buku saya diterbitkan dan bisa dengan mudah dicari di toko buku.

“Wah, Astrid.. kamu hebat banget, ih”

Eh, bentar. Dalam dua tahun itu sebenarnya saya mengirim sekitar dua puluh naskah, dan delapan saja yang berhasil terbit. Lantas ke mana dua belas naskah lainnya? Ya, ditolak. Sekarang masih saya simpan di laptop dengan rencana suatu hari mau saya revisi dan kirim lagi ke penerbit lain.

Memang sedih dan terluka banget ya (tsah..) kalau sampai naskah yang udah kita tulis berbulan-bulan ditolak begitu saja oleh penerbit. Tapi mau bagaimana lagi? Itu hak mereka. Oya, omong-omong, selain penolakan-penolakan dari penerbit, saya juga pernah mengalami diketawain editor karena kesalahan riset naskah, dimarahin klien ghostwriting, ditinggal kabur tanpa dibayar padahal naskah sudah setengah jadi, didepak dari proyek impian tanpa alasan jelas, naskah yang telanjur jual putus ternyata dicetak ulang dan saya nggak dapat bagian. Ya, gitu deh. Kebayang kan bete-nya.

Cuma kan enggak mungkin hal-hal begini saya ceritakan rinci. Bisa-bisa sekolom penuh rubrik Oh Mama, Oh Papa di majalah Kartini (eh, masih ada nggak sih?). Untungnya saya enggak gampang baper dengan penolakan. Eh, baper juga ding, tapi sebentar. Habis itu saya terus menuliskan ide-ide baru atau rewrite ide-ide lama yang terus bermunculan di otak. Iya, otak saya memang riuh, dan satu-satunya cara meredakan keriuhan itu adalah dengan menulis.

Tentu saja yang saya alami itu hanya sepersekian dari kesusahan penulis-penulis lain. Kita semua sudah pernah baca kisah JK Rowling yang naskahnya bolak-balik ditolak, padahal dikirim ke 14 penerbit berbeda. Begitu juga dengan John Grisham, naskah “A Time to Kill” miliknya ditolak lebih dari 40 sebelum akhirnya diterbitkan dan menjadi bestseller.

Seorang penulis menjadi besar sebab mereka tidak menyerah. Kesulitan dan penolakan menjadikan mereka semakin kuat dan hebat! Lantas, mengapa sebuah naskah ditolak oleh penerbit? Alasannya sih bisa bermacam-macam, misalnya:

  • Penerbit masih punya banyak stok naskah, bahkan mungkin berlebih. Jadwal antrean naskah yang belum diterbitkan lumayan panjang, jadi penerbit tidak menerima naskah baru dulu. Perlu kamu tahu bahwa tren jenis buku tertentu kadang turun, atau pasar tengah lesu. Jangan sedih! Penerbit di Indonesia nggak hanya satu. Satu pintu tertutup, masih banyak pintu lain yang bisa diketuk. Saat naskahmu ditolak, belum tentu karena naskahmu jelek, bisa jadi penerbitnya memang sedang tidak menerima naskah.
  • Naskah tidak memenuhi prosedur pengiriman. Setiap penerbit memiliki prosedur dan ketentuan pengiriman naskah sendiri-sendiri. Misalnya, penerbit A mensyaratkan naskah dikirim dalam bentuk cetak (hardcopy), sementara penerbit B minta naskah dikirim melalui email (softcopy). Sementara itu, penerbit C mensyaratkan ketebalan naskah minimal 100 halaman, sementara penerbit D mengharuskan minimal 200 halaman. Lantas, bagaimana kita tahu prosedur pengiriman naskah dari sebuah penerbit? Astaga, android-mu kan bisa buat gugling, hehe…
  • Kamu salah pilih penerbit. Ih, masa penulis pemula pakai pilih-pilih penerbit? Gaya amat! Hehe, mau penulis pemula atau profesional, tetap harus pilih penerbit lho. Sebab nggak mungkin kan kamu kirim naskah novel ke penerbit buku pertanian. Kalau kamu nekat kirim naskah tentang marketing ke penerbit fiksi-romansa, sudah pasti naskahmu masuk tempat sampah. Perhatikan, setiap penerbit memiliki style, visi, dan karakter masing-masing. Ada penerbit yang menerima segala jenis naskah, tapi ada pula yang mengkhususkan diri pada satu jenis saja. Jadi, ya memang jodoh-jodohan 🙂

Oya, ada satu pertanyaan teman yang kayaknya relevan saya cantumkan di sini. “Boleh nggak mengirim satu naskah ke beberapa penerbit dalam waktu bersamaan?”

Hmm, setahu saya sih nggak boleh. Iya, paham kalau cara itu mungkin lebih efisien. Tapi etikanya, satu naskah hanya boleh dikirim ke satu penerbit. Baru setelah ada keputusan ditolak dari penerbit pertama, kamu boleh mengirimkannya ke penerbit lain. Lah, trus sambil nunggu keputusan, kita ngapain? Ya, nulis terus tema-tema lainnya yang lebih seru, dong.

Kadang-kadang penerbit yang baik hati bersedia memberikan catatan kenapa naskahmu ditolak, misalnya dari segi teknis atau isi. Alasan naskahmu belum layak terbit kayaknya paling umum. Tapi perhatikan deh kalimatnya: NASKAH BELUM LAYAK TERBIT ~ artinya, peluang naskah itu bisa diterbitkan masih terbentang luas, kan?

Jadi penulis itu jangan baperan. Naskah ditolak penerbit? Bikin yang lebih bagus. Naskah enggak kelar-kelar? Ya, selesaikan (atau minta bantuan ghostwriter andal kayak saya – abaikan, ini iklan pribadi). Yang jelas, semangat menulis harus tetap dijaga. Apalagi kalau menulis itu passion kamu, sesuatu yang kamu cintai dan sesuatu yang bisa membuatmu jadi diri sendiri, sudah pasti kamu enggak boleh menyerah, kan?

Enggak usah sedih kalau naskah orang lain bisa (kelihatan) terbit dengan mudah. Dibaliknya, pasti ada kerja keras dan doa. Lagipula, setiap orang punya waktunya masing-masing untuk sukses, selama dia enggak berhenti berusaha. Konon, you only fail at the time you stop trying. Kamu baru bisa dikatakan gagal saat kamu berhenti mencoba.

Jadi, terus semangat menulis ya!

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.