Barangkali benar kalau ada yang bilang penulis itu nggak pernah libur. Dalam masa liburan pun otaknya terus mencari jalan untuk bisa menulis. Kayak saya sekarang ini. Seharusnya santai-santai menikmati liburan akhir tahun bersama keluarga. Eh, jelang tengah malam, di kamar hotel yang nyaman, dengan koneksi wifi cepat, tiba-tiba saya nggak bisa menahan diri untuk menulis. Padahal sudah sengaja meninggalkan laptop di rumah. Masalahnya, saya selalu bisa blogging dari ponsel.
Jadi begitulah, saya mengurangi keriuhan di otak setelah mendengar berita-berita mengenai pemboman di beberapa negara, penembakan duta besar Rusia di Turki, dan juga penangkapan terduga teroris di Sumatera dan Jawa Barat.
Saya mendadak teringat sebuah tajuk berjudul On The Bombings yang ditulis Noam Chomsky beberapa tahun yang lalu. Dalam tajuk itu, sang profesor linguistik yang pernah mengritik pemerintah AS atas kebijakan terhadap Palestina dan Timor Timur itu mengatakan bahwa, “Serangan terorisme adalah suatu kekejian” lantas menceritakan kekejaman Amerika terhadap negara-negara lain.
Kata terorisme sendiri rasanya telah digunakan begitu berlebihan dalam beberapa tahun terakhir. Kata itu sekarang lebih umum digunakan hanya untuk menstigmatisasi individu atau kelompok orang yang tidak disukai karena perilaku yang melibatkan pemaksaan kekuatan. Dan raison d’être ini sudah lama digunakan untuk menyampaikan makna politik. Sesuatu yang berarti “sengaja menggunakan kekerasan terhadap warga sipil dan properti untuk mengintimidasi atau memaksa pemerintah maupun penduduk suatu negara sebagai kelanjutan dari tujuan politik.”
Terorisme adalah dasar propaganda, dan bentuk propaganda yang sangat berdarah. Oleh karena itu jika pelaku aksi teroris menyatakan apa tujuan mereka, maka pernyataan tersebut harus membawa kredibilitas, tanpa peduli apa yang dipikirkan orang lain akan tujuan atau metode yang mereka gunakan untuk mencapainya.
Setelah pemboman di Bali, salah satu tersangka utama mengatakan kepada polisi bahwa pemboman itu merupakan “balas dendam.” Dia mengatakan bahwa ingin membunuh sebanyak mungkin orang Amerika sebab Amerika telah menindas para Muslim”.
Pada November 2002, sebuah rekaman berisi pesan dari Osama bin Laden menyatakan bahwa “Jalan menuju keselamatan dimulai dengan mengakhiri agresi. Timbal balik adalah bagian dari keadilan, dan insiden [terorisme] yang telah terjadi hanya lah reaksi dan tindakan timbal balik tersebut.
Tapi benarkah aksi terorisme yang terjadi belakangan ini benar-benar hanya reaksi timbal balik atau balas dendam? Itu yang belum saya pahami. Sebab pada akhirnya tidak hanya Amerika dan Yahudi yang menjadi sasaran aksi timbal balik terorisme, tapi juga semua hal yang tak mereka sukai sebagai kelompok. Pemerintahan yang sedang berjalan, presiden terpilih, kebencian terhadap siapapun yang dianggap non muslim dan kafir, atau apapun yang menentang keinginan.
Pada dasarnya teror adalah teror. Bentuknya bisa mulai dari bom hingga ujaran kebencian. Buat saya yang terakhir lebih menakutkan. Negara kita punya intelejen dan tim Densus 88 yang kerjanya luar biasa hebat, namun kita tak punya pasukan sejenis untuk mencegah ucapan-ucapan menyakitkan yang telanjur menyebar di media sosial. Ujaran kebencian, menurut saya, merupakan teror yang tak kasat mata. Korbannya bisa jauh banyak dan seringnya orang tak bersalah yang apes dipermainkan kata-kata jahat atau hasil editan.
Di bagian akhir tajuknya, Chomsky menulis “…kita boleh mencoba mengerti atau menolak, dengan mempertimbangkan kemungkinan lebih buruk terbentang di depan.” Saya memutuskan menolak logika terorisme, sebab hanya membuat kita memiliki dua pilihan keji; pertama membuat kita seolah menerima rasa keadilan mereka, dan kedua mereproduksi keadilan serta menyulut dendam. Dendam inilah yang kemudian menghasilkan korban-korban tak bersalah.
Logika terorisme tersebut telah menciptakan sentimen anti amerika, anti non muslim, anti kafir dan entah anti apa lagi. Balas dendam (atau timbal balik) atas nama keadilan hanya berlaku apabila kita menafikan hak asasi setiap manusia. Buat saya, kejahatan tetap kejahatan, apapun bentuknya.