Kenapa terkadang kita selalu merasa kurang? Padahal sudah rutin bersyukur. Hmmm, jangan-jangan kita terjebak dalam hedonic treadmill.
Pernah merasa begini? Setelah berjuang keras, akhirnya kamu bisa beli handphone atau mobil impian. Rasanya senang, bangga, dan puas luar biasa, kan? Kamu janji pada diri sendiri, “Ini yang terakhir, setelah ini aku pasti bahagia.”
Cuma, nggak lama kemudian, rasa senang itu memudar. Ada smartphone model baru yang lebih canggih, ada tempat liburan yang lebih ‘hits’, atau temanmu beli mobil yang lebih keren. Tiba-tiba, rasa kurang kembali menyergap, dan kamu mulai merencanakan pembelian besar berikutnya untuk “mengejar” kebahagiaan yang hilang.
Selamat datang di fenomena yang disebut Hedonic Treadmill. Ini bukan nama alat olahraga, melainkan istilah psikologi yang menggambarkan kecenderungan manusia untuk kembali ke tingkat kebahagiaan awal, meskipun baru saja mengalami peristiwa besar yang menyenangkan atau menyakitkan. Ibarat lari di atas treadmill, kamu sudah lari kencang, tapi posisimu tetap di tempat yang sama. Kamu terus mengejar ‘lebih’, tapi kebahagiaan yang kamu rasakan selalu kembali ke nol.
Lalu, bagaimana cara kita keluar dari putaran tanpa akhir ini? Kuncinya mungkin ada pada pemahaman sederhana, yakni less is more.
Jebakan “Hedonic Treadmill” di Kehidupan Modern Orang Indonesia
Dalam masyarakat modern, terutama di Indonesia yang sangat kental dengan budaya komunal dan media sosial, jebakan hedonic treadmill terasa semakin lihai bermimikri. Tidak kelihatan jelas, tapi tau-tau kita sudah terjerat sehingga susah keluar. Semua serba cepat, serba bisa di-notice, dan serba ‘harus punya’.
Gengsi dan Perang Status di Media Sosial
Ambil contoh paling nyata; gengsi dan status sosial. Bagi kebanyakan orang di Indonesia, sering kali kebahagiaan diukur dari apa yang bisa dipamerkan. Seseorang yang gajinya naik dari Rp5 juta menjadi Rp15 juta per bulan, bukannya menabung lebih banyak, malah ia cenderung langsung meningkatkan gaya hidupnya.
Awalnya, motor matic biasa rasanya sudah cukup, tapi begitu gaji naik, langsung terasa “wajib” ganti ke motor sport atau mobil second agar “layak” nongkrong di kafe kekinian. Liburan yang dulunya cukup ke pantai terdekat, kini harus ke Eropa atau Jepang. Semua diunggah di Instagram, tentu saja, dengan caption yang seolah menunjukkan hidup sudah sangat settled dan bahagia.
Masalahnya, begitu bela-belinya atau liburannya selesai, rasa puasnya hanya bertahan sebentar. Melihat influencer atau teman lama yang kini pamer private jet atau rumah dengan interior ala Skandinavia, secara otomatis memicu perasaan iri dan dorongan untuk mencari “sesuatu yang lebih” agar bisa menyaingi atau setidaknya tidak “kalah saing”. Ini adalah lingkaran setan hedonic treadmill dalam aksi.
Konsumsi Tanpa Batas, Padahal Beda Kebutuhan dan Keinginan
Siklus ini juga diperparah dengan kemudahan berbelanja online dan maraknya diskon atau flash sale. Coba jujur, berapa banyak barang di rumahmu yang dibeli saat Harbolnas hanya karena diskonnya menggiurkan, padahal sebenarnya tidak butuh-butuh amat? Baju baru, sepatu branded edisi terbatas, atau gadget terbaru dibeli demi kepuasan sesaat.
Kita sering lupa membedakan antara kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Kebutuhan adalah hal mendasar, seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan. Keinginan adalah segala sesuatu di luar itu, yang didorong oleh hasrat, promosi iklan, dan tekanan sosial.
Hedonic treadmill bekerja dengan meyakinkan kita bahwa keinginan (seperti ganti smartphone tiap tahun) adalah kebutuhan (agar tidak ketinggalan tren).
Akibatnya? Uang pas-pasan, tabungan habis, bahkan terjerat utang atau pinjaman online demi mengejar ilusi kebahagiaan materi yang hanya bertahan seumur jagung. Kebahagiaan yang dicari dari luar (barang, status, dsb) selalu menipu karena sifat dasar manusia adalah beradaptasi. Kita cepat terbiasa dengan kemewahan baru, dan itu menjadi standar baru. Standar itu pun harus dinaikkan lagi, terus dan terus, tanpa akhir.
Menemukan Makna di Balik “Less is More”
Keluar dari hedonic treadmill memang sulit, tapi bukan mustahil. Ini bukan tentang menjadi miskin atau menolak kesenangan, melainkan tentang mengubah fokus dari “memiliki lebih” menjadi ”menghargai apa yang dimiliki dan berfokus pada pertumbuhan batin”. Inilah yang dimaksud dengan filosofi less is more.
Ubah Fokus dari Barang-Barang ke Pengalaman
Salah satu cara paling efektif untuk melepaskan diri dari jebakan hedonic treadmill adalah dengan mengalihkan pengeluaran dari barang-barang fisik yang nilainya cepat turun (barang konsumtif) ke pengalaman.
Kenapa pengalaman lebih baik? Karena pengalaman, seperti liburan bersama keluarga, belajar skill baru (memasak, coding, bahasa asing), atau menjadi relawan, memberikan nilai jangka panjang serta memperkaya identitas diri. Memori tidak akan terdepresiasi nilainya seperti mobil baru. Belajar skill baru meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri. Hal-hal ini menciptakan kebahagiaan yang lebih mendalam dan tahan lama.
Daripada membeli tas branded terbaru, coba alokasikan dana untuk mengambil kursus atau workhsop yang kamu minati. Daripada ganti smartphone tiap tahun, alihkan uang itu untuk perjalanan singkat ke pelosok negeri bersama orang-orang tersayang.
Praktikkan Mindfulness dan Rasa Syukur
Inti dari hedonic treadmill adalah ketidakpuasan. Oleh karena itu, solusinya adalah membangun kepuasan dari dalam.
Mindfulness (kesadaran diri secara penuh) merupakan praktik sederhana agar bisa hadir sepenuhnya di momen sini-kini, tanpa menghakimi. Ini bisa dilakukan dengan berhenti sejenak sebelum membeli sesuatu dan bertanya, “Apakah aku benar-benar butuh ini? Apa dampaknya pada keuanganku dan kebahagiaan jangka panjangku?”
Hal yang paling penting adalah Rasa Syukur. Setiap hari, luangkan waktu sebentar untuk menulis atau memikirkan tiga hal yang kamu syukuri, sekecil apa pun itu. Mungkin itu secangkir kopi yang nikmat, kesehatan hari ini, atau obrolan santai dengan orang tua. Ketika kita melatih otak untuk fokus pada kelimpahan yang sudah kita miliki, hasrat untuk mengejar kelimpahan yang belum ada akan berkurang. Kita akan menyadari, bahwa kebahagiaan sejati sudah ada di sekitar kita, bukan menunggu di etalase toko berikutnya.
Tentukan Batasan dan Prioritas
Menerapkan prinsip less is more sering dikaitkan dengan gaya hidup minimalis. Ini bukan berarti hidup di ruangan-ruangan kosong ala Pinterest, melainkan hidup dengan sengaja.
- Batasi “Input”. Kurangi paparan pada iklan dan postingan media sosial yang memicu rasa iri. Batasi waktu scrolling dan lebih banyak berinteraksi secara nyata.
- Tentukan “Cukup”. Tetapkan standar “cukup” untuk diri sendiri, dan pertahankan. Ketika gajimu naik, jangan langsung menaikkan semua pengeluaran. Alokasikan kelebihan itu untuk investasi atau dana darurat, bukan untuk gaya hidup.
- Prioritaskan. Fokuskan energi, waktu, dan uang hanya pada hal-hal yang benar-benar selaras dengan nilai-nilai hidupmu. Misalnya kesehatan, keluarga, karier, pertumbuhan diri, dan sebagainya.
Dengan mengurangi fokus pada kepemilikan materi yang superfisial, kita memberi ruang lebih besar bagi hal-hal yang benar-benar bermakna dan membangun kebahagiaan yang kokoh, bukan kebahagiaan sementara.
Hedonic Treadmill adalah ilusi. Ia menjanjikan kebahagiaan di akhir perlombaan, padahal akhir itu tidak pernah ada. Kita terus berlari, lelah, tetapi tetap saja berada di tempat.
Satu-satunya cara untuk menang adalah dengan turun dari treadmill tersebut. Kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang kamu miliki, tapi seberapa puas kamu dengan apa yang sudah kamu miliki dan seberapa banyak ruang yang kamu berikan pada pengalaman hidup yang bermakna. Mulailah hari ini untuk menemukan kekayaan sejati dalam kesederhanaan.
The secret of happiness, you see, is not found in seeking more, but in developing the capacity to enjoy less.” ~ Socrates






