“Setiap bandara punya kisah, setiap bandara punya jiwa, setiap bandara punya sifat dan karakter yang tidak dimiliki bandara lain.”
Jelang akhir tahun 2018, saya kedatangan seorang kawan lama. Dia dengan bangga memberikan saya buku berjudul Manusia Bandara. Buku yang dia tulis selama lebih kurang tiga tahun itu akhirnya terbit, dan saya benar-benar senang sebab merasa punya andil di sana, meski hanya sebatas “tukang ngomporin.”
Dizzman, adalah nama pena kawan itu. Saya dan dia sekelas sewaktu masih di sekolah dasar di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Waktu kecil, saya dan semua teman menjulukinya Profesor, sebab penampilannya yang cupu dan geek. Sampai hari inipun kadang saya lebih nyaman memanggil dia Prof ketimbang nama aslinya (sebetulnya, saya juga lupa sih nama asli dia siapa, haha …) – Dia nggak pernah keberatan dipanggil begitu. Nggak peduli, tepatnya.
Selepas SD, saya baru ketemu dia lagi sekitar tahun 2009 lewat Facebook. Dari beberapa reuni, saya kemudian tahu dia meneruskan kuliah di Bandung dan Yogyakarta, lantas bekerja di Pemda, dan kemudian pindah lalu bertugas di Kementrian PUPR sampai hari ini. Pekerjaan membuat dia harus sering-sering pergi ke daerah, bahkan mungkin sekitar dua kali seminggu harus menyambangi pulau-pulau di luar Jawa. Begitu seringnya dia terbang ke sana kemari membuatnya terbiasa dengan bandara. Bisa dibilang, bandara sudah mirip rumah kedua baginya. Tak heran, rekan-rekan kerjanya menjuluki dia sebagai Manusia Bandara.
Total, ada 53 bandara dalam negeri dan 38 bandara luar negeri yang pernah Dizzman singgahi. Tidak hanya bandara besar dan modern seperti Changi, tapi dia juga pernah mampir di Wamena yang bandaranya terbuat dari kayu dan berjendela kawat ayam. Dia pernah panik ketika terjebak di bandara Ataturk Turki saat kudeta tahun 2016 berlangsung, dan tidak ada penerbangan yang bisa membawanya keluar dari negara yang sedang kacau saat itu. Dia juga pernah mati gaya di bandara ketika harus menunggu pesawat delay selama hampir 20 jam.
Pengalaman-pengalaman menarik inilah yang dituangkan Dizzman dalam bukunya Manusia Bandara. Buku setebal hampir 140 halaman ini ditulis dengan gaya santai, sedikit humor di sana-sini, mirip dengan artikel ringan sebuah blog. Meski ringan, banyak hal baru yang bisa dijadikan referensi bila hendak mengunjungi bandara-bandara tertentu, sebab – seperti yang dikatakan Dizzman – setiap bandara punya kisah, setiap bandara punya jiwa, setiap bandara punya sifat dan karakter yang tidak dimiliki bandara lain.
Ketika Dizzman membawa gagasan itu ke saya tiga tahun lalu, saya langsung tertarik. Kebanyakan orang yang sering pergi ke banyak tempat, entah itu liburan atau biztrip, menceritakan mengenai tempat-tempat yang dia kunjungi. Namun, Dizzman justru memilih bercerita tentang bandara. Buatnya, bandara jauh lebih menarik daripada tempat-tempat wisata. Selain itu, berdasar riset kami, belum pernah ada yang menulis khusus tentang bandara dari sudut pandang penumpang.
Seperti saya bilang sebelumnya, bandara menjadi rumah kedua bagi Dizzman. Sementara bagi sebagian orang, bandara hanya sekadar tempat kedatangan, keberangkatan, atau transit, bagi kawan saya, bandara memiliki banyak cerita. Mulai dari cerita mengharukan, atau yang membikin jengkel, hingga yang berkesan dalam. Dia bahkan bisa membagi-bagi orang-orang yang datang ke bandara ke dalam beberapa kategori, misalnya Manusia Kardus, Manusia Etalase, Manusia Pelakor – dan kategori-kategori ini dia susun berdasar sikap dan perilaku orang-orang selama mereka berada di sebuah bandara.
Dan, tahukan kamu kenapa sebaiknya kita enggak mengambil seat nomor 26A jika menggunakan pesawat milik maskapai Garuda? Juga tahukah kamu bahwa ada sayuran tertentu yang bisa membikin pemindai di bandara berbunyi nyaring sehingga kamu terpaksa harus diperiksa ketat? Dizzman tahu persis di bandara mana yang bagian imigrasinya paling kepo, juga di bandara mana yang sebaiknya penumpang nggak membawa tongsis ke kabin, atau bandara mana yang parkiran pesawatnya mirip parkiran motor sehingga kemungkinan delay penerbangan tinggi.
Kamu bisa temukan semua kisahnya dalam buku Manusia Bandara ini. Tulisan-tulisan renyah Dizzman, yang juga penulis aktif di Kompasiana, membawa kita seolah berkunjung ke hampir semua bandara di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Nunukan hingga Pulau Rote, juga negara-negara Asia seperti India, Jepang, Qatar, Turki, Maldives dan lain sebagainya.
Lantas apa peran saya dalam buku ini? Terus terang nggak ada. Dalam tiga tahun, Dizzman beberapa kali meluangkan waktu datang ke Yogya, dan mendiskusikan proses penulisan hingga penerbitan bersama saya. Rasanya saya nggak memberi banyak kontribusi selain beberapa masukan dan arahan mengenai bagaimana sebaiknya buku ini ditulis, tapi ternyata bagi kawan saya itu berarti banget. Ge-er juga saat dia menuliskan nama saya di halaman ucapan terima kasih. Thanks banget ya, Prof 🙂
Saya dikasih dua copy buku Manusia Bandara edisi tanda tangan penulis, dan kartu pos yang gambarnya merupakan hasil jepretannya (Oya, saya belum cerita kalau Dizzman ini juga fotografer keren. Hasil foto-fotonya beneran bagus, bahkan pernah juga dipamerkan). Kalau kamu ingin punya juga buku Manusia Bandara ini, bisa kamu kontak langsung penulisnya di email dizzman@yahoo.com atau akun FB dan IG-nya @dizzman. Kontak email saya juga boleh. Saya sudah janji ke dia untuk bantuin promosi bukunya kok, hehe. Apa buku ini ada di toko buku? Sementara belum, karena masih dicetak terbatas dan didistribusi hanya ke beberapa komunitas, dan di toko online BukaLapak.
*Many congratulations, Dizzman. Akhirnya elo bisa terbitin buku yang sudah lama jadi impian lo ini. Semoga Manusia Bandara seri kedua dan seterusnya segera ditulis ya, sayang soalnya cerita lo yang seru-seru itu kalau cuma kesimpen di laptop 🙂