Sepuluh tahun yang lalu, kehidupan saya nyaman dan sempurna. Hanya saja saya merasa enggak ke mana-mana.

Berada di zona ternyaman dalam hidup. Tinggal di rumah seluas 400 meter persegi yang dipinjamkan perusahaan untuk memudahkan kerja saya, di lokasi elit dan berjarak hanya empat menit jalan kaki dari kantor. Digaji sesuai rate dollar. Pesta atau makan malam bersama ekspatriat hampir setiap Jumat. Berteman dan membuat jejaring dengan para diplomat, duta besar dan orang-orang dari banyak organisasi internasional. Hidup saya sangat menyenangkan.

Dan lantas membosankan setelah beberapa waktu. Setiap hal dalam hidup terasa sangat benar, sekaligus terasa sangat salah.

Mulailah saya mempertanyakanbanyak hal. Benarkah ini kehidupan yang saya inginkan dan akan saya jalani dalam sisa hidup saya? Barangkali, pekerjaan yang saya lakoni, bukanlah passion saya. Sebab sebenarnya saya introvert yang malas bersosialisasi dan selalu kesulitan memulai sebuah percakapan dengan orang baru. Padahal pekerjaan saya waktu itu menuntut saya begitu.

Lantas saya memutuskan memiliki anak. Waktu itu pernikahan kami memasuki tahun ketiga. Saya memang bersikeras menundanya di awal, sebab khawatir tak mampu menjaga kehidupan yang dititipkan Tuhan. Tentu saja suami senang dengan keputusan saya.

Hadirlah anak pertama, dan kemudian anak kedua. Pada tahun keenam pernikahan, kedua buah hati kami melengkapi hari dan menciptakan momen-momen indah. Hidup saya sempurna, bukan?

Tidak juga.

Saya masih depresi dan merasakan kekosongan yang amat sangat di dalam diri.

Bukan tentang suami ~ ia adalah pasangan sempurna.

Bukan tentang anak-anak ~ mereka permata hidup saya

Bukan tentang materi ~ Tuhan telah mencukupkan semua kebutuhan kami

Bukan tentang pekerjaan ~ tempat kerja saya adalah tempat kerja terbaik, rekan-rekan kerja dan atasan adalah orang-orang yang menyenangkan, dan posisi saya adalah tangan kanan atasan

Entah apa, tapi kekosongan itu semakin menjadi. Saya terus mengeluh pada suami yang dengan sabar mendengarkan.

“Saya pingin kebebasan. Punya karya, punya sesuatu yang membuatmu bangga. Saya mau kerja mandiri, tanpa atasan, tanpa aturan mengikat, mengatur jam kerja sendiri, menentukan cuti atau liburan sendiri, bisa lebih banyak di rumah dengan anak-anak.” Begitu keluhan saya berulang-ulang.

Suami, sebagai satu-satunya tempat curhat, sudah pasti kebingungan. Di kepalanya, keinginan saya terdengar ajaib, sebab semua terlihat baik-baik saja dan ia tak pernah merasa tak bangga pada saya. Dan ia menenangkan saya, mencarikan jalan keluar, menghubungi kolega-koleganya untuk mencari peluang kerja baru buat saya. Tapi saya menolak mendengarkan dan menerima bantuan dia.

Begitu terus hingga suatu hari, saya menyadari. Saya ingin perubahan, tapi saya menolak untuk berubah.

Nggak mungkin kan kita ingin segala sesuatu berubah  namun tetap menginginkan semua hal berada pada tempatnya. Saya ingin kebebasan, tapi tak sedia melepaskan pekerjaan saya yang sudah enak itu. Sebab saya takut melangkah. Persis seperti anak kecil yang ingin main di luar, tapi khawatir kotor, kehujanan atau di-bully. Ia hanya bisa bediri menatap ke luar jendela, berharap dunia luar mendatanginya.

And that was my truning point. Saya menyadari, sayalah yang harus keluar dari zona nyaman, jika memang menginginkan perubahan. Saya menyadari saya harus mengubah mindset saya tentang dunia di luar pekerjaan saat itu, memberanikan diri merasakan lumpur, basah dan menghadapi semua ketakutan saya pada hal-hal yang belum terjadi.

Saya memutuskan membuat perubahan total, dimulai dengan resign dari pekerjaan. Lantas mengubah diri sendiri ketimbang mencoba mengubah hal-hal di sekitar saya.

Penghasilan jauh berkurang? It’s okay. Saya dan suami bisa mengubah gaya hidup. Membeli dan tinggal di rumah yang lebih kecil dan jauh dari pusat kota? Nanti juga terbiasa. Tak ada lagi spa setiap minggu, baju-baju mahal, atau makan di restoran mewah? Nggak masalah, toh sudah pernah merasakan semuanya. Kehilangan teman-teman lama? Nanti juga punya teman-teman baru.

Begitulah, saya kemudian berusaha berdamai dengan diri sendiri. Meski tak langsung tahu saya harus melakukan apa setelah resign, saya mendapatkan kebebasan idaman saya. Mengatur banyak hal untuk diri sendiri, menjadi perempuan yang lebih tahu bagaimana mencapai tujuan hidupnya, dan semakin kuat ketika harus ‘jalan’sendirian’ membangun bisnis sekarang.

Hari ini, sepuluh tahun yang lalu, saya merasakan kebebasan itu. Saat ini, saya tidak merasa ‘tidak ke mana-mana’ seperti sepuluh tahun yang lalu. Memiliki keberanian untuk keluar dari zona nyaman membuat cara saya melihat banyak hal menjadi berbeda. Kadang saya membayangkan, jika keberanian itu tak pernah saya punyai, mungkin sekarang saya masih duduk di meja kerja saya, mengajar materi yang sama berulang-ulang, menatapi tumpukan jadwal kerja sejak jam 7 hingga jam 5, dan terus mengeluh pada suami.

Nothing’s wrong about comfort zone. It is a beautiful place, but nothing ever grows there ~ unkown

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.