Iya, ngaku. Saya nggak terlalu hafal lagi kalimat-kalimat dalam sila-sila Pancasila. Kalau mendengar orang lain membacakannya sih masih bisa mengikuti, cuma kalau harus mengingatnya lantas mengucapkannya secara lantang barangkali saya bakal gelagapan. Jadi, hei… siapa bilang bahwa tak hafal Pancasila itu hanya masalah generasi milenial?
Cuma barangkali saya sedikit beruntung (untuk tidak mengatakan sedang menyombong) karena pernah mengikuti penataran P4 di sekolah dulu. Mendapat sertifikat lagi, meski tak ingat di mana menyimpannya. Ini mungkin yang tak dimiliki generasi setelah saya.
Apakah itu artinya saya dan generasi yang menikmati penataran P4 menjadi lebih baik? Tidak selalu sih, sebab yang jago menghafal selalu mendapat nilai baik (dan saya payah dalam hal ini). Saya kira di sinilah alasannya mengapa banyak orang, termasuk saya, tak memahami Pancasila, sebab ia hanya dijadikan wacana hafalan.
Dan seperti semua yang dihafal, bukan dipahami, ingatan akan lenyap dengan mudah tergantikan oleh memori-memori baru di otak. Kita tahu cara kerja otak. Ia selalu men-delete file-file yang tak lagi dianggap irrelevant atau berguna . Tujuannya agar ada space baru untuk informasi-informasi yang lebih baru. Otak hanya sedia menyimpan ingatan yang memang kita inginkan, dan sesuatu yang menjadi kebiasaan umumnya tak pernah dihapus.
Nah, kebiasaan ber-Pancasila ini – atau dalam istilah yang lebih keren disebut pengamalan Pancasila, yang seringkali tak terdeteksi. Penataran P4 memasukkan kata Pengamalan, namun sebatas soal dan simulasi di kelas.
Minggu ini, ketika Saya Indonesia Saya Pancasila menjadi trending topic dalam menyambut Pekan Pancasila 2017, saya kira kita akan mulai mengingat kembali bagaimana dulu bangsa ini dipersatukan oleh para pendirinya. Nyatanya? Saya dibikin puyeng membaca timeline yang mirip Hari Nyinyir Nasional itu.
Pekan Pancasila yang saya yakin tak bertujuan jelek, malah menjadi pemicu perang baru, setidaknya ini saya lihat di Twitter (sebab Facebook saya relatif bersih, isinya teman-teman yang sepaham. Dan, ya… medsos saya hanya dua itu).
Ironis. Padahal pendiri bangsa harus mumet berbulan-bulan untuk menemukan cara agar kita bisa bersatu. Sampai kemudian mereka sepakat untuk menjadikan bangsa yang saat itu baru lahir sebagai bangsa yang berketuhanan, bangsa yang welas asih serta menghargai kemanusiaan, bangsa yang bersatu tanpa pernah tercerai-berai, demokratis, dan mengagungkan keadilan.
“Dasar negara kita berbentuk Philosophische Grondslag atau Weltanschauung. Dasar negara Indonesia merdeka adalah kebangsaan, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan yang berkebudayaan.” ~ Soekarno, dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 di Gedung Merdeka, Bandung, di depan sidang BPUPKI pertama.
Saya nggak punya masalah sih dengan siapapun yang mengatakan bahwa Pancasila bukanlah murni pemikiran Bung Karno. Beliau hanya mengotak-atik, atau terpengaruh oleh ide atau faham tokoh lain. Saya pernah baca artikel yang mengatakan bahwa Pancasila itu mirip dengan Pridi Banoyong. Ia adalah empat asas pemersatu Filipina yang terdiri dari Nasionalisme, Demokrasi, Sosialisme, Religius.
Ada juga seorang ahli politik yang bercerita pada saya bahwa India memiliki dasar negara, yaitu Nasionalisme, Humanisme, Demokrasi, Religius, Sosialisme. Perdana menteri Jawarhal Nehru mengungkapkan pemikiran ini di depan kongres dan menyebutnya Panc Svila. Apakah Soekarno meng-copy gagasan Nehru? Saya tidak pernah tahu. Beliau amat dekat dengan perdana menteri India tersebut, bisa jadi mereka saling terinspirasi.
Cuma, saya juga pernah baca bahwa sebenarnya istilah “Pancasila” justru berasal dari buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Kata yang dipublikasi pada abad ke-14 ketika nusantara berada dalam kekuasaan kerajaan Majapahit itu merupakan perintah penguasa kepada rakyat. Perintah itu meliputi larangan untuk mencuri, berbohong, mendengki, melakukan kekerasan dan mabuk-mabukan.
Mengapa kelima hal itu penting hingga dijadikan perintah oleh negara? Sebab mereka dianggap sebagai perusak kesusilaan dan moral bangsa. Dan rusaknya moral bangsa efeknya jauh lebih buruk daripada penjajahan fisik.
Inilah barangkali yang terjadi pada medsos. Kita mungkin tak mencuri, berbohong dan mabuk-mabukkan, tapi kita mendengki dan melakukan kekerasan verbal di sana. Kita menghina siapapun yang bisa kita hina. Kita menertawakan siapapun yang bisa ditertawakan. Kita nyinyir pada siapapun yang sedia mendengarkan.
Saya mungkin tak lagi hafal sila-sila dalam Pancasila, tapi saya masih punya harapan bahwa Pancasila akan terus menjadi sesuatu dalam hidup kita, dan anak-anak saya di masa depan. Pancasila akan terus menjadi dasar dan falsafah negara, pandangan hidup, dan jiwa bangsa.
Jadi, meski miris mendengar tuduhan “mualaf Pancasila” yang sedang happening di medsos, saya tetap berharap kita tak sebodoh itu, bertengkar tentang hal yang tak esensial. Hanya karena ingin tampil beda, kita jadi sok pintar menuduh Pancasila tak pantas jadi dasar negara, padahal ia sudah teruji puluhan tahun.