Baru-baru ini saya mendapat protes dari beberapa kawan. Mereka tak nyaman dengan nama pena yang saya gunakan di buku terbaru saya. Salah satunya bahkan ada yang ‘ngambek’ nggak mau beli buku itu, sebab tak ada nama (asli) saya di kover depan. Meski sudah saya jelaskan bahwa nama asli saya tertera di halaman profil, dia tetap ogah beli walau suka isinya.
Sialnya lagi, di toko-toko buku Jakarta, buku itu masuk best seller dan (nama asli) saya tetap nggak terkenal 😀
Padahal nama pena atau pseudonyms adalah hal yang umum buat seorang penulis. Banyak penulis besar atau best seller yang tak menggunakan nama aslinya. JK Rowling, misalnya, bernama asli Joanne. Mark Twain dilahirkan dengan nama Samuel Clemens, dan Multatuli adalah nama samaran dari Edward Douwes Dekker.
Lantas kenapa seorang penulis menggunakan nama pena? Alasannya beragam, ada yang karena ingin menyebrang genre, menjaga privacy dari penggemar, menjaga perasaan penggemar atau beralih penerbit.
Stephen King barangkali bakal ditinggalkan penggemarnya jika ia menggunakan nama yang sama dalam novel-novel roman cengengnya. Penggemar King memiliki ekspektasi tinggi, sebab ia terkenal dengan kemampuan bercerita yang kerap menghadirkan horor dan darah. Itu kenapa, ia menggunakan nama Richard Bachman, Eleanor Druse, dan John Swithen sebagai pseudonyms.
Contoh lain, ketika novelis roman best selling Nora Roberts (ini nama asli) memutuskan mencoba genre baru, yakni futuristic suspense, ia memilih pseudonym, J.D. Robb. Dengan begitu, fans-nya tak terlalu kecewa.
Tapi alasan saya ketika memilih nama pena dalam buku terbaru lebih simple. Pingin aja! Saya juga enggak memikirkan teman-teman (untuk tidak menyebut penggemar) yang selalu support saya. Waktu itu saya sedikit bosan dan tiba-tiba punya ide demikian. Maka Asterlita adalah nama yang terlintas ketika itu, sebab artinya dekat. Dalam bahasa Skandinavia dan kawasan jajahannya, nama Astrid, Asterlite, Ástríðr, Ásta, atau Ástrᵭr artinya kurang lebih sama, yaitu Bintang.
Ternyata, nama pena saya enggak mendapat respons yang saya harapkan. Barangkali karena saya enggak buat bubur merah-putih seperti halnya dalam tradisi Jawa ketika seorang diberi atau ganti nama. Untungnya, di sini hal-hal seperti ini hanya sedikit merugikan penulisnya. Sebab di negara barat, konon pemilihan nama pena harus benar-benar jeli. Selain menghindari masalah hukum, penerbit juga sangat berperan dalam menentukan terbit atau tidaknya naskah dengan nama pena tersebut. Salah pilih nama, bisa berakibat kerugian finansial.
Baik atau buruknya, nama pena akan selalu digunakan dalam karier seorang penulis. Nama tersebut akan menjadi brand, dan membentuk karakter persona publik serta jenis buku yang ditulis. Dan seperti semua keputusan dalam hidup, pemilihan nama pena pasti ada pro dan kontra.
Saya sih sebenarnya masih pingin pakai nama pena, tapi belum bisa memutuskan apapun. Protes teman-teman yang nggak saya duga, membuat saya berpikir lebih hati-hati. Barangkali saya tetap pakai nama sendiri untuk genre non fiksi, dan menggunakan nama pena untuk novel saya yang akan terbit tahun ini. Entahlah…
Ada ide nama pena yang bagus buat saya?
hahaha… emang ada nggak sih penulis yang ngga diketahui identitasnya sama sekali? Kek dia anonim gitu, hehehe… Kalau ada seru tuh, aku lebih suka kek gitu, tapi kayaknya kalau buku kita terlanjur terkenal, kita mau nggak mau harus ikutan bedah buku, book tour dll.
Sampai sekarang, saya nggak pernah tahu identitas asli penulis bernama V. Lestari. Foto wajahnya pun nggak ada. Beliau penulis genre misteri, tapi googling di mana2, nggak pernah benar-benar menemukan siapa dia, padahal novel-novelnya banyak banget 🙂