Suatu siang di Jakarta, saya menumpang mobil kawan. Saat melewati gerbang tol, ia membuat saya terheran-heran, sebab ia membayari juga mobil di belakangnya. Tentu saja saya bertanya, dan jawabannya membikin saya lebih heran lagi. Katanya ia tak tahu siapa empunya mobil di belakang itu, ia hanya suka berbuat baik. Ia senang membayangkan wajah pengemudi tak dikenal itu bahagia karena tak perlu lagi membayar.
Dalam hati saya meledek, “Konyol, ah!’. Tentu saja saya begitu karena tak terima. Sebab saya malas mengakui kalau kawan saya itu orang baik. Soalnya, saya pernah mencoba berbuat baik juga, tetapi malah ditertawakan. Misalnya, saat makan di restoran burger, saya berinisiatif membuang bungkus burger dan gelas karton ke tempatnya – mencoba berempati pada pelayan restoran. Tak ada pujian, malah kawan-kawan saya bilang saya kebarat-baratan – “Halah…tiru-tiru bule lo!” kata mereka sambil meninggalkan nampan-nampan penuh sampah di meja.
Kali lain, saat naik mobil, kawan yang mengemudi membunyikan klakson keras-keras sambil menyumpah pada sopir angkot yang menyalipnya. Saat itu saya mencoba berempati pada sopir angkot dengan mengatakan pada kawan saya, “Dia kan lagi ngejar setoran, lo kan enggak’. Dan kawan itu memandang saya dengan tatapan aneh. Barangkali seaneh tatapan saya pada teman yg membayari tol untuk mobil di belakangnya tadi.
Berbuat baik sering jadi dilematis. Ada kawan yang ogah membantu orang yang kecelakaan. Alasannya, takut nanti malah berurusan dengan polisi. Kalau ketemu polisi, ujung-ujungnya duit juga. Makanya meski kesal, saya tak marah pada orang di depan saya yang membuka pintu minimarket lalu lebih suka menghempaskannya ketimbang menahannya sebentar, meski tahu ada orang lain di belakangnya.
Saya pun tak mencoba menegur mahasiswa yang terus duduk di bangku bis padahal di dekatnya ada simbok sayur yang kehabisan tempat duduk, berdiri tanpa bisa berpegangan karena keduanya tangannya sibuk memegangi bakulnya. Saya juga hanya bisa membatin bila melihat anak kecil membuang sampah di jalan, karena saya tahu ia tak salah. Ia cuma tak mengerti, sebab orang tuanya tak pernah memberi tahu.
Saya percaya bahwa berbuat baik tak bisa disuruh. Hal begitu cuma bisa dilakukan saat ada kesadaran pribadi. Saya bisa saja menceramahi atau memberi tahu orang lain agar tak menyampah sembarangan, tidak menyumpahi orang lain, tidak merokok di depan anak-anak, dan segala hal tentang perbuatan moral lainnya. Hanya saja itu tak terlalu berguna.
Yang saya tahu, kesadaran tentang moral timbul setelah melihat kebaikan yang dilakukan orang lain, bukan yang diucapkan. Persis seperti yang digambarkan oleh Anne Herbert dalam bukunya Random Acts of Kindness. Buku terbitan tahun 93 ini mengupas tentang kisah nyata orang-orang yang berbuat kebaikan secara acak, dan tanpa pamrih.
Pada teman saya yang berbuat kebaikan di jalan tol itu, ada keinginan buat meniru apa yang dilakukannya – membayari tol buat kendaraan tak dikenal di belakangnya. Persoalannya cuma satu; Jogja tak punya jalan tol.