He who breaks a resolution is a weakling. He who makes one is a fool.
~F.M. Knowles

Siang tadi, pesan Whatsapp dari seorang kawan lama masuk. Awalnya biasalah, tanya kabar dan lantas ngobrol sana-sini. Di tengah percakapan, ia mulai bertanya, “Udah bikin resolusi tahun baru, Trid?”

Pertanyaanya membuat saya tersenyum geli. Ia tak tahu saya sudah berhenti membuat hal-hal semacam itu sejak 2009. Kawan itu bertanya karena dulu saya termasuk orang yang rajin bikin daftar resolusi tiap menjelang akhir tahun.

Tapi, seperti kebanyakan orang, I don’t follow my New Year’s resolution for more than a month. Biasanya menjelang bulan Maret, saya sudah lupa di mana saya meletakan daftar targets to achieve itu. Lantas di akhir tahun saya baru ingat lagi kalau saya punya target, hehe… 🙂

Dan saya jadi penasaran, apa memang membuat resolusi tahun baru itu sebegitu penting? Kalau iya, seberapa besar sih pengaruhnya terhadap pencapaian target seseorang. Juga seberapa taat seseorang janji-janji diri sendiri itu. Sebab (seperti saya) setiap kali menjelang pergantian kalender, setiap kali itu juga banyak orang yang membuat resolusi pribadi. Terus terang, sejak dulu saya sih membuat resolusi pribadi karena ikut-ikutan.

Dan saya juga pernah bertanya-tanya mengapa orang membuat resolusi tahun baru? Apa saja jenis resolusi tahun baru yang mereka buat? Juga, bagaimana tradisi itu bermula?

Resolusi Tahun Baru adalah sebuah janji untuk tahun yang baru. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kehidupan di tahun yang akan datang. Resolusi bisa diejawantahkan dalam berbagai bentuk. Beberapa orang berjanji untuk menghentikan kebiasaan buruk, seperti berhenti merokok atau makan junk food. Sementara lainnya membikin janji untuk mengembangkan kebiasaan positif, seperti mulai rutin berolahraga, menjadi relawan, atau lebih banyak menggunakan barang daur ulang.

Tradisi resolusi tahun baru sendiri berawal di tahun 153 SM. Konon dewa Romawi kuno bernama Janus (namanya diabadikan sebagai nama bulan; Januari)  memiliki dua wajah. Satu melihat ke depan, satu lagi melihat ke belakang. Hal tersebut membuat Janus mampu melihat masa depan, dan juga masa lalu.

Pada tanggal 31 Desember, bangsa Romawi meyakini sebagai waktu ketika Janus melihat ke tahun yang lalu sembari menatap tahun yang baru. Ini menjadi waktu yang simbolis bagi bangsa itu untuk menciptakan resolusi di tahun yang baru.

Mereka meyakini bahwa sang dewa akan memaafkan kesalahan mereka di tahun sebelumnya. Untuk itu mereka memberi persembahan dan janji-janji sebab percaya bahwa Janus akan menerimanya, dan memberkati mereka di tahun depan.

Demikianlah tradisi resolusi tahun baru lahir!

Cuma berhubung saya nggak kenal Janus, dan nggak yakin dia akan memberkati saya, maka tak ada rasa bersalah ketika saya menganggap membuat resolusi tahun baru itu konyol. Meski begitu, bukan berarti hidup saya sepanjang tahun acak-acakan tanpa arah lho. Saya hanya lupa mentaati beberapa janji yang saya buat terhadap diri sendiri 😀

Setelah obrolan dengan kawan itu selesai, saya lantas membongkar rak tempat saya menyimpan planner. Mencari catatan resolusi terakhir yang pernah saya buat. Memalukan memang, sebab dari delapan poin resolusi, cuma satu yang terkerjakan di tahun itu.

Tapi bukan karena ada banyak hal yang nggak tercapai maka saya jadi malas membuat resolusi lagi. Sebuah kesadaran mengetuk batin tahun itu. Ia memberi tahu saya bahwa sebetulnya tidak perlu menunggu ganti kalender untuk membuat perubahan. Semua itu itu bisa dilakukan setiap hari, kapanpun saya mau.

One Reply to “Resolusi Tahun Baru (Nggak) Penting”

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.