Juni. Benar-benar bulan yang sibuk. Saya baru punya waktu luang sekitar dua hari yang lalu setelah sejak awal bulan ini, pekerjaan seperti gak membolehkan saya bersantai. Senang ada momen lebaran, jadi semua kegiatan bisa berhenti untuk beberapa hari. Meski tak benar-benar istirahat karena tetap menyiapkan segala keperluan hari raya, setidaknya saya punya waktu untuk curhat di blog sendiri.
Jadi kali ini saya ingin masturbasi, artinya bersenang-senang dengan diri sendiri, menceritakan hal-hal tak penting dalam postingan ini. Sebentar, tak sepenuhnya tak penting sih, sebab akhir April lalu ada insiden kecil yang lumayan mengubah cara pandang saya hingga hari ini.
Berawal ketika ponsel pintar saya tiba-tiba rusak, tak bisa dihidupkan. Ia kemudian harus menginap di tempat servis selama sekitar seminggu untuk diperbaiki. Saya tentu bisa langsung membeli yang baru, hanya saja benda itu merupakan sebuah memento bagi saya sehingga sulit untuk diganti begitu saja. Saya mencoba mempertahankannya meski harus berpisah sementara.
Jadilah untuk satu minggu saya menggunakan ponsel Nokia 105. Ponsel murmer seharga seratus ribuan keluaran 2013 yang masih membanggakan sistem jadulnya. Tanpa layar sentuh, tanpa kemampuan berkoneksi dengan internet, hanya bisa digunakan untuk menelpon dan berkirim pesan melalui sms. Saya masih butuh ponsel, sebab harus berkomunikasi dengan keluarga dan juga rekan-rekan satu tim. Beruntung sejak awal saya membiasakan berkontak dengan klien lewat email ketimbang aplikasi, kecuali dalam kondisi urgent, jadi tidak ada masalah besar dalam pekerjaan.
Hari pertama tanpa ponsel pintar, saya merasa agak terisolasi, meski tak parah-parah amat. Saya pernah baca artikel di situs CNN bahwa rata-rata orang memeriksa ponsel mereka 34 kali sehari, dengan jeda hanya sekitar 10 menit di antaranya. Situs Hufftington Post bahkan pernah menyatakan bahwa 73% orang Amerika akan merasa panik ketika ponselnya hilang, sementara 14% mengakui merasa frustasi. Saya gak tau bagaimana dengan di Indonesia, sebab belum membaca statistiknya di manapun.
Jujur, ketika ponsel saya mendadak mati hari itu, saya merasa seperti mau pingsan karena panik. Bolak-balik saya restart benda itu, namun layarnya tetap kosong. Seharian saya menjadi sangat kesal dan marah-marah tak karuan. Apalagi sorenya, saya pergi ke sebuah acara dengan suami. Tak ada selfie moments, foto-foto makanan atau hal-hal lain yang bisa saya potret dan share di medsos.
Dan setelahnya, semalaman saya terus menerus menatap refleksi wajah saya pada layar kosong itu. Menatap mata sendiri yang membulat penuh rasa kesal. Saya tak tahan untuk memantau semua percakapan di WhatsApp, status-status di Facebook dan foto-foto Instagram. Diam-diam saya merasa sangat tak sabar dan penasaran untuk melihat jumlah notifikasi dan likes di semua medsos itu.
Benar saya bisa memeriksa semuanya lewat laptop, tapi rasanya berbeda. Apalagi saya punya kesepakatan dengan diri sendiri untuk tidak membuka medsos lewat laptop, sebab akan menghambat semua pekerjaan. Dan hari itu, saya seperti sedang berselingkuh, mencurangi diri sendiri karena akhirnya saya harus ingkar.
Akhirnya saya tertidur karena lelah sendiri dengan perasaan kesal saya. Keesokan paginya, ketika terbangun saya merasa ada sesuatu yang sedikit aneh. Aneh yang menakjubkan. Saat sinar matahari menembus tirai kamar, di antara dinginnya udara pagi, saya merasa tak harus terburu-buru bangun untuk mengecek ponsel.
Biasanya rutinitas pagi saya awali dengan melihat ‘apa yang terjadi’ malam sebelumnya. Sesaat setelah membuka mata, tangan saya refleks mencari kotak kecil yang ‘menghubungkan’ saya dengan dunia luar (namun tak benar-benar membuat saya terkoneksi.)
Pagi itu, saya baru tahu arti “living in the now” yang sebenarnya. Terbangun dan melihat suami saya masih terlelap di samping, mencium pipinya sebelum pergi ke kamar mandi untuk membasuh muka. Saya melakukan semuanya dengan pelan dan santai; bikin kopi, menyalakan radio (ini kegiatan yang gak lagi saya lakukan setelah punya sejumlah playlist di ponsel) untuk mendengarkan lagu-lagu penyemangat pagi, lantas duduk di sofa tanpa melakukan apapun. Hanya menikmati pagi, memandangi tanaman-tanaman (yang terabaikan) di teras, dan sinar matahari yang jatuh di atas mereka. Saya merasa damai banget. Mungkin satu-satunya hal yang buru-buru saya lakukan pagi itu adalah masuk ke kamar anak-anak untuk menciumi mereka, menghirup ‘bau’ tubuhnya, lalu menggelitiki agar terbangun.
Intinya saya melakukan hal-hal yang tak saya lakukan jika ponsel ada di dekat saya. Benda itu seolah memiliki kekuatan super agar saya mengabaikan hal-hal kecil di pagi hari, dan membuat saya sibuk untuk urusan yang tak ada relevansinya dengan hidup saya. Oooh, seketika kesadaran saya pulih, dan saya merasa senang seharian.
Bahkan, saya sempat kaget sendiri ketika melihat jam baru menunjukkan pukul delapan, ternyata semua pekerjaan di rumah sudah kelar saya kerjakan. Dan begitu saya menyelesaikan berlembar-lembar naskah, membalas banyak email dan berhasil mendelegasikan seluruh tugas ke rekan-rekan dalam tim, jam dinding baru menunjukkan pukul setengah dua. Yang terjadi berikutnya, saya bisa menikmati kopi siang lebih lama dan menyelesaikan setengah novel sebelum anak-anak kembali dari sekolah.
Selama satu minggu itu, ada begitu banyak hal yang saya selesaikan tanpa gangguan. Saya merasa begitu ‘bebas’ dari keharusan untuk update ini dan itu. Dan ketika akhirnya ponsel saya kembali ke rumah, saya menatap benda itu seperti menatap mantan pacar yang tak pernah saya pikirkan lagi, terasa asing dan tak mengairahkan seperti sebelumnya. Saat notifikasi medsos dan media chat berbunyi, saya cenderung mengabaikan. Pikir saya, “Ah, kan bisa dilihat nanti saja.” Jika ponsel saya punya hati, pasti ia merasa sakit. Sesakit mencintai seseorang yang tak bisa dimiliki, haha… 😀
Saya mulai tak lagi rindu untuk membaca status-status di Facebook, memeriksa kabar terkini di Twitter, memposting foto-foto Instagram dengan harapan banyak yang memberi LIKE. Barangkali metode koneksi yang diciptakan ponsel pintar sebenarnya tak hebat-hebat banget. Barangkali itu juga sebabnya banyak orang tak lagi saling bicara atau membicarakan diskusi bermakna secara face-to-face. Hubungan dengan orang lain hanya berdasarkan layar, cyberspace dan aplikasi, bukan sesuatu yang berkembang secara dalam. Entahlah, saya pun tak pernah punya hak untuk men-judge orang lain.
Yang jelas, di saya, kebutuhan untuk selalu “terhubung” dengan orang lain, yang sebagian besar tak benar-benar saya kenal, sudah sangat rendah dibandingkan sebelumnya. Benar, saya tak sepenuhnya meninggalkan kebiasaan update semua medsos, cuma mengurangi kadarnya hingga level secukupnya. Barangkali beberapa orang akan merindukan kehadiran saya di sana, tapi rasanya lebih kok lebih banyak yang tidak ya… 😀
Well anyway, from now on, please excuse me while I go connect with the people I love 🙂