Setiap kali membaca koran, kata cicak dan buaya terasa agak mendominasi – sebab mereka sudah menjadi istilah umum buat menggambarkan perseteruan antara KPK dan Polri. Tentu saja eufisime begitu terasa sangat cocok sebab dalam dunia nyata – meski keduanya dimasukkan ke dalam keluarga reptil – cicak tembok ogah bertarung melawan seekor buaya. Sebaliknya mereka menyadari peranan masing-masing dan patuh pada hukum alam.

Saya sih tidak takut cicak, gak seperti kawan saya yang suka histeris melihat reptil mini gemuk berkepala membulat dan kulit transparan itu. Bisa dibilang, kita di sini hidup harmonis dengan cicak, mereka kerap ditemui di sekitar dapur, kamar mandi dan lemari makan, atau sedang tenggelam dalam gelas kopi.

Nah, kalau buaya – saya memang cuma pernah melihatnya beberapa kali di kebun binatang. Ia tak menarik – hanya diam berjam-jam dengan mulut terbuka, tak merasa terganggu dengan hiruk pikuk pengunjung anak-anak yang mencoba melemparinya dengan batu atau ranting kering. Barangkali ia kenyang, sebab petugas kebun binatang tak pernah alpa memberinya makan.

Yang membuat buaya lebih menarik adalah bahwa ada jauh lebih banyak citra yang diberikan padanya ketimbang pada cicak. Buaya darat identik dengan lelaki playboy. Roti buaya menjadi salah satu simbol yang wajib hadir dalam acara pernikahan adat Betawi – alasannya; secara biologis buaya adalah hewan monogamis, setia pada satu pasangan sampai mati – roti buaya menjadi lambang kesetiaan dalam perkawinan tersebut. Lantas kenapa buaya darat bisa berarti sebaliknya? Seorang kawan yang asli Betawi menjawab berbisik; sebab lelaki Betawi tukang kawin. Saya cuma bisa ketawa garing dengan satir stereotipe etnis macam begitu.

Namun hidup memang tak adil, bukan? Tidak hanya pada etnis tertentu, juga buat buaya. Namanya kadung dilekatkan dengan penjahat cinta, bahkan air matanya setali tiga uang dengan kepalsuan. Kalau bisa memprotes, barangkali mereka sudah mendatangi lembaga advokasi hak-hak kebuayaan. Barangkali cuma si crocodile hunter Steve Irwin yang – bila masih hidup – akan membela hak asasi buaya.

Sebaliknya, cicak lekat dengan lagu anak-anak. Tak ada dompet kulit cicak dijual di emperan kaki lima hingga mall kelas atas, yang ada hanya dompet dan tali pinggang kulit buaya. Saya kira hanya lidah buaya saja yang tak bermakna negatif.

Entah kenapa, saat ngomongin cicak dan buaya, saya kok jadi teringat film lawas (kalau gak salah keluaran tahun 1974) garapan sutradara Nya Abbas Akub yg dibintangi oleh Bing Slamet, Eddy Sud, Ateng dan Iskak berjudul Koboi Cengeng, sebab salah satu tokohnya bernama Cicak bin Kadal.

Nah, lucunya ada kawan yang katanya setiap dengar kata cicak dan buaya, hanya bisa teringat pada sepatu sandal Crocs, dan celana dalam merek Crocodile a.k.a cap buaya mangap. Barangkali karena dia anak mall.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.