Menulis membantu banget masa transisi saya, dari ‘orang kantor’ menjadi ‘orang rumah.’ Iya, tahun 2006 saya resign dengan pertimbangan matang, tapi lupa menyiapkan mental. Akibatnya beberapa bulan pertama menjadi orang rumah membuat saya menderita semacam kekosongan jiwa. Tsaah…
Saat masih jadi orang kantoran, saya terbiasa sibuk dengan jadwal-jadwal yang dibuat dengan rinci. Posisi saya sebagai course-coordinator (setingkat manajer) mengharuskan saya menyelesaikan berbagai target harian, selalu well-planned dengan apapun, bertemu beragam permasalahan kerja, mengambil keputusan penting, dan banyak lagi.
Makanya saya sempat kacau saat yang harus dikerjakan tak sepadat sebelumnya. Saya sudah tahu hal ini saat mempertimbangkan resign, tapi saat menjalaninya, tetap saja saya mengalami gegar.
Misalnya rutinitas pagi di rumah, ternyata memerlukan adaptasi yang cepat. Membuatkan bekal untuk anak yang saat itu masih di PAUD, mengurusi bayi mungil yang usianya baru beberapa bulan, membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyiapkan keperluan suami ke kantor dan seterusnya, dan seterusnya.
Sombongnya, saya kekeuh enggak mau pakai jasa pembantu sama sekali, karena merasa bisa menangani semuanya. Seperti saya bisa menangani pekerjaan-pekerjaan kantor. Me-manage orang sekantor aja saya jago, apalagi cuma me-manage rumah. Sampai segitunya kesombongan saya 😀
Alhasil, semua yang biasa dilakukan ibu rumah tangga membuat saya kaget, sebab memang tak pernah saya lakukan. Memang terdengar lucu, sebab saya istri. Masa remeh temeh rumah tangga begitu enggak ngerti? Jujur, enggak. Sejak menikah hingga punya satu anak, saya benar-benar ‘pembantu minded.’ Semua diserahkan ke pembantu. Bahkan anak pertama saya sudah masuk Day Care sejak usia beberapa bulan, sebab saya enggak betah di rumah. Tepatnya, ogah ngerjain pekerjaan rumah.
Saya punya ibu yang terbiasa mengurus semua pekerjaan rumah tanpa melibatkan anggota keluarga lain. Dibalik kecriwisan dan omelannya yang suka nggak masuk akal, beliau adalah ibu rumah tangga yang hebat. Dia perempuan sejati versi struktur sosial. Pandai memasak, pintar menjahit, jeli dalam mengurus kebersihan dan kerapian rumah, aktivis RT/RW yang rajin. Pokoknya semua tentang rumah tangga, ibu yang pegang. Selain kepiawaiannya, di rumah ibu, juga selalu ada asisten-asisten yang membantunya dan saya termanjakan dengan fasilitas itu sejak remaja.
Makanya, saya enggak pernah tahu (tepatnya, enggak mau tahu) bagaimana selayaknya saya harus bersikap saat sudah menjadi ibu. Semua urusan pembantu. Jika pembantu tak ada, maka saya akan dengan mudah meminta ibu mengurus rumah dan anak saya. Lebih buruk lagi, suami saya enggak pernah protes. Sebab dia begitu sayang pada saya. Ia tak pernah ingin melihat saya terlalu lelah selepas kerja. Dia akan berusaha meng-handle hal-hal yang tak bisa atau tak ingin saya kerjakan.
Seperti oksigen yang saya hirup setiap detik, I take things for granted. Dalam kepala saya, memang seorang nenek sudah seharusnya membantu mengurus cucu. Seorang suami (yang baik hati) sudah seharusnya tidak membiarkan istrinya mengerjakan pekerjaan rumah seusai kerja kantor.
Oooh, kalau ingat masa-masa itu, saya merasa buruk. Saya yang punya posisi bagus di tempat kerja, enggak becus ngurus rumah. Memang sih, tidak ada keharusan mengingat pekerjaan rumah tidak melulu dilakukan istri. Tapi masalahnya, saya benar-benar cuek dengan semua itu.
Sampai Tuhan kemudian campur tangan. Dia mengingatkan saya dengan cara memberi kejenuhan luar biasa pada pekerjaan saat itu. Pekerjaan yang sudah sepuluh tahun saya lakukan dengan antusias dan sungguh-sungguh, tiba-tiba tak lagi menarik. Tempat kerja yang sebelumnya seperti dunia satu-satunya buat saya, mendadak membuat saya merasa terkucil dari kehidupan sosial.
Semakin hari, kejenuhan itu semakin memuncak. Comfort zone saya selama ini, terasa tak nyaman lagi ditinggali. Dan pada saat saya kemudian hamil, saya melihatnya sebagai oportunitas untuk mencoba ‘zona baru.’ – menjadi ibu rumah tangga. Istilah kerennya, full time mom (meski tak yakin apakah ada istilah part-time mom)
Melampaui diskusi panjang lebar dengan suami dan atasan, saya merasa keputusan itu enggak mudah juga diambil. Atasan sangat membutuhkan kemampuan saya, meski tak mampu juga mencegah kemauan saya. Suami sedikit bimbang karena khawatir tak mampu menyediakan finansial yang baik setelah saya tak lagi bergaji.
Petimbangan jadi lebih berat karena kami akan punya dua anak waktu itu. Dari mana bisa memenuhi semua kebutuhan jika hanya satu orang yang berpenghasilan bulanan? Dan sekali lagi, Tuhan menjaga kami. Di saat bersamaan saya memantapkan diri untuk resign, suami saya mendapat tawaran pekerjaan yang lebih baik dari perusahaan lain.
Sejak itu saya mulai percaya kata orang-orang tua bahwa semua hal sudah ada yang ngatur, jadi nggak perlu ragu menjalaninya. Dengan keyakinan itu, saya masuk dalam kehidupan yang berbeda. Melepas semua atribut orang kantor, dan mencoba fokus sebagai ibu rumah tangga. Perlu beberapa bulan penuh drama dan rasa frustasi sebelum saya bisa bertransisi dengan benar.
Saya kira inilah titik balik saya sebagai penulis. Saya didorong Tuhan untuk keluar dari pekerjaan lama, agar bisa jadi menggapai cita-cita masa kecil yang saya abaikan. Di sela segala kekacauan, saya ditunjukan olehNya jalan sebagai penulis. Mulai dari menulis blog, peluang sebagai content writer, menjadi penulis buku-buku non fiksi hingga sekarang menyambi sebagai pelaku bisnis penulisan milik sendiri.
Jika dihitung dari tahun 2009, saat saya mulai fokus dalam bisnis penulisan, sudah tujuh tahun saya menulis. Ratusan artikel sudah saya hasilkan selama menjadi content writer. Penghasilannya pun lumayan karena kadang-kadang saya dibayar pakai dollar 🙂
Untungnya saya orangnya pembosan. Jenuh dengan content writing, saya mulai melirik penulisan buku. Dan Tuhan yang begitu baik pada saya memudahkan segalanya. Mulai dari memberi kemampuan belajar teknik penulisan naskah dengan cepat, kemampuan meyakinkan penerbit akan karya-karya saya, juga kemampuan untuk mendapatkan ide-ide bagi tulisan-tulisan saya.
Kayaknya memang saya ‘dirancang’ jadi penulis deh sama Tuhan. Pekerjaan saya sebelumnya di bidang bahasa, dan juga pertemuan saya dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia, kayaknya juga merupakan rancangan Tuhan terhadap diri saya. Tanpa semua itu, wawasan saya enggak kebuka, profesionalitas saya enggak terasah, dan kemampuan berbahasa pun rasanya tak akan setinggi saat ini.
Meski sampai sekarang masih belum tahu apa maunya Tuhan, dan seberapa pentingnya saya diciptakan Tuhan buat orang lain, saya hepi-hepi aja ngejalaninnya.
Saya masih punya banyak impian sebagai penulis, juga rencana-rencana yang menurut saya hebat banget. Tapi saya tahu, kalau ada yang nggak berjalan baik, itu karena rencana Tuhan lebih hebat. Jadi ya, nggak perlu protes, nggak perlu baper. Diikuti saja maunya Tuhan. Dan kalau kita yakin, kita bakal langsung tahu kok jalan kayak apa yang Tuhan tunjukkin di depan.
Sok religius ya? Iya sih.
One Reply to “Tuhan Sukanya Dorong-Dorong Saya”