I feel a bit sentimental tonight
Buat beberapa orang, ngomongin saat-saat sulit di masa lalu itu bikin malu. Kebanyakan orang tenar juga lebih senang membagikan kisah suksesnya ketimbang masa-masa susahnya. Buat saya, hal-hal sulit di masa lalu justru harus diomongin atau diceritain ke orang-orang terdekat. Bukan pingin sok menderita, sebab saya perlu mengingat hal-hal nggak enak itu sebagai reminder bagi diri sendiri.
Sebenarnya, saya nggak pernah melalui titik balik kehidupan yang ekstrim. Saya juga enggak pernah menganggap masa lalu suram hanya karena ada kejadian-kejadian nggak enak yang menghalangi rencana atau keinginan saya. Barangkali karena dasarnya saya senang mikir positif, enggak merasa sedang bawa beban dan nggak betah mendengarkan pendapat orang lain tentang hidup saya.
Ada masa, saat ayah saya meninggal mendadak karena serangan jantung beberapa tahun yang lalu (tujuh belas tahun yang lalu sih tepatnya), situasi di rumah jadi lumayan keganggu. Saya dan adik-adik yang biasanya dikasih uang bulanan ratusan ribu (dan kadang masih minta tambah) harus mulai berhemat. Terbiasa tinggal di rumah besar, naik mobil bagus ke mana-mana, liburan ke Bali-Lombok bolak-balik, pesan tiket pesawat semudah pesan ojek online, mendadak harus mengerem kemewahan-kemewahan tersebut.
Beruntung bahwa sejak semester lima (meski tanpa sepengetahuan ayah) saya sudah punya kerjaan. Gaji kecil waktu itu nggak masalah, yang penting pengakuan terhadap intelegensi dan bakat. Namun, mendadak saya harus mencari cara agar bisa bergaji lebih tinggi. Bukan untuk bantu-bantu keuangan keluarga, tapi lebih untuk membiayai diri sendiri. Ayah saya meninggalkan cukup materi agar ibu, saya dan adik-adik bisa tetap hidup senang. Cuma saya terlalu angkuh buat menerimanya, dan lebih suka menikmati penghasilan sendiri.
Ayah saya meninggal satu setengah bulan sebelum pernikahan saya. Kepergiannya yang tiba-tiba banget sempat membuat saya kebingungan untuk meneruskan rencana pernikahan yang telah disusun sejak setahun sebelumnya. Sempat terpikir buat membatalkan saja, tapi keluarga mencegah. Ibu saya bilang, teruskan saja sebab itu yang diinginkan ayah. Jadilah, selepas empat puluh hari kepergiannya, saya menerima janji nikah yang diucapkan suami saya di depan penghulu. Perasaan saya kacau waktu itu, antara senang karena akhirnya menikah dan masih begitu berduka akan kepergian ayah saya.
Tapi ya, memang kayaknya saya harus deh kehilangan ayah saya saat itu. Dengan begitu, saya jadi jauh lebih mandiri mengelola keluarga. Saya sempat membayangkan, jika ayah masih ada, barangkali sampai hari ini kami enggak akan punya rumah hasil jerih payah sendiri. Ayah yang terlalu sayang sama anak-anaknya, enggak akan tega membiarkan saya bekerja keras hanya untuk memiliki rumah dan mobil dan lebih suka menghadiahi. Ia juga pasti akan terus membantu keuangan kami setiap bulan.
Akibatnya sudah ketebak. Saya enggak akan tahu rasanya susah atau kerja keras. Saya juga mungkin enggak pernah belajar menghargai kemampuan diri sendiri, sebab terbiasa dengan hidup yang mudah. Dan barangkali saya akan tetap jadi orang yang nggak ngerti nilai uang yang sebenarnya. Malu hati deh kalau cerita begini, sebab di luar sana banyak banget yang lebih tidak beruntung daripada saya. Tapi untuk ukuran orang yang biasa ‘hidup enak’ dan ‘gampang, masa-masa setelah ayah pergi itu bener-bener sebuah ujian.
Lantas, apa saya menjalan hidup dengan tenang dan hepi-hepi aja?
Ya enggak lah. Namanya juga manusia, pasti ada emosi-emosinya. Tapi apa boleh buat, kerjaan saya menuntut agar tetap ramah dan profesional karena waktu itu saya menghadapi klien-klien orang asing. Nggak cocok deh ya kalau saya sering galau di depan mereka dan teman-teman kerja. Jadi, di satu sisi, hidup rasanya berat banget, tapi di sisi lain harus jadi pribadi yang bisa diajak kerja sama, brainstorming, dan ngobrol. Multi-tasking mental nggak tuh judulnya?
Untung saya perempuan. Dan perempuan itu yang udah dari sananya dikaruniai kelebihan yaitu bisa lembut sekaligus kuat dalam waktu yang bersamaan. Marah, kesal, bete, baper pasti ada, tapi saya nggak punya alasan untuk menunjukkannya di muka umum, kan? Mesti kuat dong. Lagipula, yang lagi nggak enak itu cuma satu sisi kehidupan aja kok, selebihnya sangat bisa dinikmati dan disyukuri. Mental saya nggak goyah dan sisi perempuan saya tetap lembut. Saya malah menjadi lebih humoris sejak saat itu. Sampai sekarang, teman-teman mengganggap saya sebagai ‘si lucu yang nggak pernah sedih dan baper’ – meski sebenarnya nggak gitu-gitu amat sih.
Tujuh belas tahun setelah kepergian ayah, dan saya merasa bisa membuatnya bahagia. Meski sukses yang saya inginkan belum di tangan, saya merasa ayah bangga. Dulu, saya sering melihatnya berwajah cemas dalam mimpi-mimpi saya, tapi sekarang tidak lagi. Barangkali ia sekarang lebih tenang karena tahu anak perempuannya baik-baik saja setelah ia tak lagi menjaganya. Barangkali saat ini, ia sedang memamerkan kehebatan saya di depan malaikat-malaikat di surga, seperti dulu ia suka membanggakan saya di depan teman-temannya.