Hari Ketiga #28harimenulistentangcinta challenge
Pernahkah kamu menyukai pasangan orang lain?
Saya sering sih. Waktu remaja saya suka banget sama Tom Cruise dan pingin pacaran sama dia, padahal saya tahu dia sudah menikah sama Nicole Kidman. Pas gedean dikit, saya ngefans berat sama Keanu Reeves lantas berimajinasi menjadi pasangan sehidup sematinya, padahal kala itu dia belum bercerai dari istrinya. Belakangan, gara-gara sering nonton K-Drama, saya jadi suka berkhayal ciuman sama Lee Min Ho, meski tahu dia punya pacar (dan saya juga sudah menikah)
Jadi, menyukai kekasih atau pasangan orang lain itu enggak salah menurut saya. Yang salah adalah eksekusinya. Persis seperti anak kecil. Ia melihat mainan temannya jauh lebih menarik, dan ingin memilikinya. Itu nggak salah, manusiawi malah. Yang kemudian membuatnya dicap nakal adalah ketika ia memenuhi keinginannya dengan cara merebut mainan milik temannya itu.
Nah, itu hanya merebut mainan. Lalu bagaimana dengan merebut (hati) pasangan orang lain? Sudah pasti urusannya enggak sesederhana menjulurkan kelingking dan berbaikan. Sebuah persahabatan bisa rusak selamanya jika kamu menyukai kekasih sahabatmu. Sebuah hubungan kerja bisa hancur total ketika kamu menyukai rekan kerjamu yang sudah memiliki pasangan hidup.
Barangkali ada kesenangan sesaat ketika kita berhasil merebut hati seseorang, apalagi jika ia sudah ada yang punya. Sama seperti anak yang merebut mainan tadi, ia akan senang sebentar. Tapi sesudah itu apa?
Misalkan, kamu jatuh hati pada pria beristri dan berhasil membuat pria itu kemudian memilihmu dan meninggalkan istrinya. Apa yang kamu rasakan? Yang pasti, lambat laun perasaan bersalah akan muncul. Sebab bagaimana pun juga kamu sudah menghancurkan hati atau bahkan kehidupan orang lain. Jika tidak begitu, kemungkinan lainnya adalah kamu akan selalu dihantui perasaan cemas. Jika ia berani meninggalkan istrinya demi kamu, apa nggak mungkin suatu hari ia juga meninggalkanmu demi perempuan lain?
Tapi begitulah uniknya sebuah cinta terlarang. Adrenalin berperan besar di sini. Sesuatu yang salah, sesuatu yang tak seharusnya, bisa terasa sangat menggairahkan pada awalnya. Cinta yang harus dinikmati secara rahasia, pertemuan secara sembunyi-sembunyi, bahkan obrolan dengannya yang harus kamu simpan rapat-rapat di hati, semuanya memunculkan adrenaline rush. Dan kita tahu betapa membiusnya kesenangan semacam ini.
Sayangnya, seperti anestesi, bius kesenangan itu ada masa berakhirnya. Suatu hari kita akan tersadar dan merasa jenuh. Kita ingin lebih dari sekedar sembunyi-sembunyi. Kita ingin bebas menggenggam tangannya, menatap matanya, mencium bibirnya, mengatakan I Love You tanpa rasa cemas ketahuan orang lain. Kita mulai butuh kepastian.
Di sinilah, kawan, perempuan biasanya lebih dulu sampai. Perempuan lebih membutuhkan kepastian. Entah single atau sudah menikah, ketika perempuan berselingkuh, ia akan sampai di suatu titik di mana ia membutuhkan kepastian. Dan hampir bisa dipastikan sang lelaki tidak bisa memberikan hal tersebut.
Dalam konteks ini, saya sering melihat perempuan membiarkan dirinya menderita. Baik perempuan peselingkuh maupun yang menjadi korban perselingkuhan pasangannya. Pada si peselingkuh selamanya akan dilekatkan label perusak rumah tangga orang. sementara pada korban peselingkuhan, pilihannya ada dua, bercerai atau dimadu. Dua-duanya pilihan pahit!
Jika pun tak dimadu, misalnya suaminya lantas insyaf dan meninggalkan selingkuhannya, cinta mereka tak mungkin sama lagi. Mirip dengan sebuah piring keramik utuh. Ketika dipecahkan, memang kemudian bisa dilem lagi. Tapi ia bukan piring yang sama sepeti sebelumnya.
So what’s the point of having an affair? None!
Bersedia menjadi orang ketiga sama saja memaksamu berhenti menghormati diri sendiri. Perempuan yang memiliki self-respect tidak akan membiarkan dirinya dibutakan oleh cinta. Jika telanjur menyukai atau bahkan berselingkuh dengan pasangan orang lain, akui saja kesalahan tersebut dan kemudian berhenti. Jangan memaksakan diri terus menjalani hubungan penuh toksin semacam ini. Jangan pula memaksanya untuk memilih, sebab kamu bukan pilihan.