Sama seperti kebanyakan orang lain, sejak kecil saya selalu dinasehati agar menghindari tiga kebiasaan buruk ini. Dan seperti kebanyakan orang lain, nasehat-nasehat itu berhenti di telinga, nggak sampai masuk ke otak. Sebab, kita cenderung melakukan kebiasaan-kebiasaan ini di manapun dan kapanpun. Terlalu mengasyikan untuk diabaikan 😀

Hanya saja, sebagai penulis, anti-social skill ini perlu banget saya lakukan dan asah supaya semakin mahir menggunakannya. Hasilnya di saya lumayan bagus. Saya jadi bisa punya banyak ide cerita, kumpulan setting, dialog, dan karakter tokoh. Kisah-kisah fiksi yang saya buat juga bisa lebih meyakinkan karena diambil dari hal-hal nyata yang terjadi sehari-hari di sekitar.

Apa aja sih kebiasaan buruk yang perlu dimiliki penulis?

kebiasaan menulis

Nguping

Nah, ini kebiasaan favorit saya. Nguping percakapan orang-orang di sekitar, terutama di tempat-tempat ramai. Paling sering saya lakukan ketika harus menunggu. Entah menunggu antrian di bank atau di kecamatan, ketika menunggu teman atau klien di kafe, di mana aja yang mungkin. Dulu sewaktu masih naik bus atau angkot, saya punya peluang nguping lebih banyak. Sekarang sih, saya menikmati nguping ibu-ibu perumahan ngerumpi di tukang sayur saja 😀

Memang apa manfaatnya nguping pembicaraan orang lain? Bukannya itu kebiasaan buruk?

Well, kita dikasih satu mulut dan dua telinga, kan? Tujuannya supaya kita lebih banyak mendengar daripada bicara. Nah, buat saya sih, nguping sama sekali nggak buruk. Tapi menyebarkan apa yang kita dengar itu ke mana-mana masuk ke kategori perbuatan tak menyenangkan. Sebab akhirnya akan berubah menjadi gosip, dan gosip itu  T E R L A L U! 😀

Lantas, untuk apa nguping omongan orang lain? Begini …

“Eh, tau nggak. Tetangga yang rumahnya di ujung gang itu, ternyata sukanya sama madam-madam lho?”
“Hah, madam-madam siapa?”
“Itu, madam yang kerjanya di suka nongol di tipi. Nih, IG-nya. Liat kan isinya cuma selfie pamer paha dan belahan dada doang.”
“Astagaaa… Masa sih? Kasian amat anak istrinya, padahal dari luar kayak keluarga bahagia, lho.”
“Iya, gimana coba kalau anaknya tahu bapaknya suka cewek begituan. Hahaha …”

Oke, percakapan di atas cuma karangan saya, tapi kamu familier kan dengan obrolan nggak enak semacam ini? Lantas apa yang bisa kamu lakukan? Menegur para tukang gosip itu atau langsung cross check kebenarannya langsung ke tetangga yang rumahnya di ujung jalan?

Entah, ya. Kalau saya nggak kenal sih, malas juga ngurusi. Bagusnya sih, kalau telanjur dengar obrolan nggak enak begitu, simpan saja dalam catatan. Sebab kamu nggak akan pernah tahu, kapan kamu butuh dialog-dialog nyinyir dan julid semacam itu dalam novelmu.  Apalagi kalau kamu bukan termasuk orang yang suka nggosipin orang lain kayak saya, susah cari kata-kata  yang “pedasnya” pas tapi tetap natural. Salah-salah jadinya yang kamu tulis malah kayak dialog sinetron nan lebay, dan nggak cocok dengan karakter tokohmu.

Jadi, begitu mulai mendengar sebuah percakapan menarik, entah itu obrolan nyinyir emak-emak, rayuan gombal om-om paruh baya ke SPG mobil di mall, atau ucapan kekasih yang sedang bertengkar ~ semua itu menarik banget untuk kamu simpan. Kuncinya, selalu bawa buku catatan dan bolpen, atau gunakan fitur Notes di ponselmu.

Kepo

Saya suka banget kata ‘kepo’ sebab bisa menggambarkan dengan tepat kebiasaan yang dilakukan seseorang yang sedang penasaran. Lebih suka lagi karena ternyata ketika berdiskusi dengan seorang teman dari Singapura, saya tahu bahwa bahasa Cina (entah Mandarin atau Kanton, saya lupa) punya kata yang sama, yakni “Kay-Poh” (sori, ngga tau ejaan pastinya). Saya berasumsi mungkin saja kata kepo memang berasal dari bahasa Cina.

Anyway, sebagai salah satu kebiasaan buruk, kepoin orang lain itu penting juga buat kamu kembangkan dalam konteks meningkatkan skill menulis. Bayangkan kamu sedang di comline, di dekatmu duduk dua orang yang nggak saling mengenal. Yang satu kepalanya tertunduk memandangi lantai, terlihat sedih dan melamun. Yang satu lagi, sedang bicara di ponselnya dengan cuek dan tak terganggu sekeliling.

Kamu kepo nggak melihat itu? Kalau saya sih, iya. Saya jadi pengen banget tahu, kira-kira kenapa ya orang itu kelihatan sedih selama perjalanan? Apa tadi dia dimarahi istrinya, atau habis bertengkar dengan temannya, atau dia belum makan sejak pagi? Atau ….

Dan orang yang satunya itu, kira-kira ngobrol sama siapa ya di telpon? Kok kayaknya asik banget, bermenit-menit ngobrol apa pulsanya nggak habis? Dia ngrobrolin apa sih? Kuliner? Pekerjaan? Kekasih yang LDR? Atau … (di sini, nguping kembali dibutuhkan, hehe …)

Kebiasaan nguping dan kepo ini harus kamu lanjutkan dengan kebiasaan buruk berikutnya, yaitu …

kebiasaan menulis

Berasumsi

Bahasa kekiniannya, nge-judge. Dalam keseharian, kita memang nggak boleh nge-judge orang lain, apa lagi tanpa dasar. Hanya saja, kebiasaan buruk ini sah banget kalau digunakan untuk meningkatkan skill menulis. Bagaimana caranya?

Judge si tetangga ujung jalan yang suka memelototi paha dan belahan dada madam itu, bikin asumsi semaumu. Apa dia melakukannya karena mengidap hiperseksualitas, krisis paruh baya, atau lama tak bercinta? Apa dia nggak bahagia dengan penampilan istrinya yang kalah seksi dibandingkan madam itu? Atau jangan-jangan madam yang dimaksud adalah mantan pacar yang masih begitu dia cintai?

Judge juga orang yang bertelepon lama-lama di ruang publik, seolah comline itu miliknya sendiri. Jangan ketinggalan men-judge si pelamun bertampang sedih. Berasumsi sebebasnya, dan terapkan sebagai latar belakang kisah novelmu. Kamu bisa mengubah nama dan tampilan fisik mereka sesukamu, tapi tetap menggunakan setting yang mereka “sediakan” untukmu.

Dengan begitu, kamu nggak berlama-lama memikirkan scene-setting yang sesuai dengan tulisanmu. Pilih salah satu yang paling pas, modifikasi, dan tambahkan bumbu asumsi tadi ke dalamnya. Kisah novelmu bakal jadi lebih nyata dan meyakinkan, serta membuat pembaca semakin jatuh cinta dengan tokoh-tokohmu.

Kebiasaan buruk akan menjadi buruk bagi kita dan orang-orang lain jika kita memanfaatkannya untuk keburukan (bergosip, menyindir, menyebarkan fitnah), tapi saya percaya tiga kebiasaan buruk ini sangat penting buat membantu skill menulis. Kemampuan mengubah hal negatif menjadi positif bergantung pada bagaimana kita merespons hal-hal di sekeliling kita. Jadi, kalau kamu penulis, jangan percaya jika ada yang menasehati agar kamu menghindari kebiasaan buruk tersebut.

Selamat mencoba 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.