#28harimenulistentangcinta

Sebenarnya ragu-ragu juga mau menulis tentang percintaan serat optika, sebab saya ‘anak lama’. Zaman saya pacaran, jangankan Whatsapp, sms pun belum ada. Telpon? Tak semua rumah punya. Rumah saya termasuk yang tak memiliki alat komunikasi itu.

Jika menceritakan hal ini, para milenial pasti terheran-heran dan bertanya, “Lantas bagaimana caranya berkomunikasi? Bagaimana bisa mengecek dia di mana, dengan siapa, sedang berbuat apa?”

Tak bisa. Tak ada Whatsapp untuk bisa bertanya langsung. Tak ada Facebook, Path, Twitter, IG dan medsos lain untuk mengintip aktivitasnya, mengetahui makanan yang ia pesan, atau berlama-lama memandangi wajahnya lewat layar.

Namun saya kira di situlah romansanya. Setiap kali janjian kencan, saya selalu deg-degan. Dia jadi datang nggak ya? Sudah berangkat menjemput saya belum ya? Kok dia terlambat, ke mana dulu ya? Begitu juga ketika bangun pagi dan merindukannya, saya bertanya-tanya sendiri. Dia sudah bangun belum ya? Dia kangen aku nggak ya? Dia… dia… dia… dan segalanya tentang dia dapat menimbulkan rasa penasaran yang memuncak menjadi kerinduan yang ditutup dengan senyum-senyum sendiri saat memutar ulang hal-hal indah yang dilakukan berdua.

Siksaan manis ini mungkin tak dapat dipahami oleh milenials. Barangkali mereka juga akan menganggap kisah saya terlalu primitif. Sama seperti saya menganggap percintaan para Neanderthal adalah barbar. Pria masa itu barangkali langsung membopong wanita yang ditemuinya di tengah jalan lantas masuk ke dalam gua untuk bermain seks. Tak ada basa-basi, pedekate, apalagi foreplay. Padahal menurut manusia pra sejarah, cara itu romantis banget.

Anyway, meski tak pernah, saya rasa nggak ada yang salah dengan percintaan serat optika. Bertemu pasangan melalui dunia maya bukan lagi hal memalukan. Namun, seperti semua hal dalam hidup, selalu ada risiko untuk keputusan yang kita ambil. Dan dalam percintaan online, risiko yang paling umum adalah penipuan.

Dengan teknologi, seseorang bisa mengubah identitas dirinya menjadi siapapun. Ia bisa menjadi pribadi yang begitu menarik, perhatian, penyayang, dan bisa diandalkan. Ia juga bisa mengaku single padahal sudah berkeluarga. Sebenarnya di dunia nyata juga begitu sih, ngaku-ngaku bujangan kepada setiap wanita, ternyata cucunya segudang…. *halah, itu mah lagunya Anggun 😀

Tapi Anggun benar. Mau di dunia maya, dunia nyata hingga dunia lain, jujur dalam percintaan itu penting. Nggak masalah dengan editing foto-foto selfie Instagram atau re-touch avatar Tinder, tapi nggak perlu juga kali sampai memiripkan wajah dengan Raisa atau Dian Sastro. Cowok juga sebaiknya nggak nekat mem-photoshop tubuhnya supaya mirip pria-pria L-Men. Kalau memang beneran six pack dan atletis sih nggak apa-apa, lah kalau beda jauh? Calon gebetan online-mu bisa-bisa ilfil duluan. Kalimat motivasi “jadilah diri sendiri” barangkali terdengar basi, tapi benar. Meski maya, dunia itu juga penuh dengan manusia, dan mereka juga nggak suka dibohongi.

Dan jangan pernah mau dibohongi.

Menurutmu kenapa Roro Jonggrang menolak lamaran Bandung Bondowoso? Sebab ia tahu perangai sang calon suaminya yang buruk. Lha, dari mana dia tahu? Yang pasti bukan dari gosip selebriti, trending topic Twitter atau status Facebook lah. Saya kira Roro Jonggrang sudah mengirimkan hulubalangnya sebagai mata-mata. Jika tidak begitu, ia akan menurut saja menikah dengan pria yang abusive dan tempramental. Meski menolak Bandung tetap mengubahnya menjadi candi keseribu, setidaknya Roro Jonggrang menjadi candi yang berbahagia. Ini analisis ngawur saya aja sih.

Intinya, jika Roro Jonggrang saja melakukan survei calon pasangan, masa kamu enggak? Google up dong semuanya tentang dia. Jangan percaya bio yang ia tampilkan di media online, sebab Google bisa membantumu mencari tahu mengenai identitas asli, silsilah keluarga, teman-teman, rahasia dan aib pribadinya, eh! 😀 … Pokoknya, manfaatkan si mesin pencari agar tak mudah tertipu. Meski mungkin datanya tak seratus persen benar, setidaknya kamu punya gambaran seperti apa orang yang sedang kamu sukai itu.

Bicara tentang teman-temannya, jangan kaget melihat interaksinya dengan mereka. Orang yang kamu sukai itu bisa berbeda jauh dari harapan kamu. Misalnya, ia begitu ramah dan menyenangkan pada lawan jenisnya, lantas belum apa-apa kamu sudah cemburu dan mengasumsikan ia sebagu si genit perayu. Percintaan melalui media online bukan tempat yang tepat buat kamu yang hatinya serapuh gelas-gelas kaca. Baper nggak punya tempat di sini.

Jadi, siap dengan percintaan serat optika? Saya sih tidak.

One Reply to “#6. Percintaan Serat Optika”

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.