Akhir pekan ini harusnya saya ke Jakarta untuk urusan kerja, tapi batal. Klien saya menundanya minggu depan. Alasannya, dia ingin ke luar kota untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekacauan aksi besok. Rupanya, trauma dari kerusuhan tahun 98 masih melekat di benaknya.
Saya ingat kejadian mirip pernah saya alami. Pertengahan tahun 2001, saya mendaftar visa untuk pergi ke Amerika. Saya mendapat kesempatan mengunjungi seorang profesor, calon siswa saya. Beliau seorang arkeolog yang sering bolak-balik ke Indonesia dalam mengurus pekerjaannya, dan pada suatu kesempatan ia ingin belajar bahasa Indonesia agar lebih mudah berkomunikasi. Diundanglah saya untuk berkunjung ke negaranya selama dua minggu. Tak mungkin ditolak kan? Jadi, tanpa perlu pikir dua kali, saya langsung mengurus surat jalan.
Visa sudah di tangan. Sialnya, para teroris kemudian menyerang the Twin Tower, dan situasi di sana memburuk. Batal lah saya pergi.
Namun, bukan itu concern saya. Situasi pasca 9/11 membuat sekolah bahasa tempat saya bekerja hampir bangkrut karena tak ada murid. Banyak kedutaan dan badan internasional (yang menjadi klien terbesar) membatalkan rencana belajarnya hingga entah kapan. Para diplomat yang sedang menikmati pelajaran bahasa Indonesia dalam kedamaian kota Jogja, langsung ditarik kembali ke Jakarta. Akhirnya, demi menuntaskan pelajaran mereka, saya dan beberapa guru lain terpaksa bergantian bolak balik ke Jakarta demi mengajar orang-orang asing itu.
Situasi ini terus berlangsung hingga satu dua tahun berikutnya. Sialnya lagi beberapa bom sengaja diledakkan teroris di beberapa kedutaan di mana kami harus mengajar. Situasi tak menjadi lebih baik, sebab banyaknya ancaman bom masih disertai dengan sweeping terhadap orang asing oleh beberapa organisasi Islam.
Kebencian akan sikap Amerika Serikat terhadap isu Palestina membuat tak ada gunanya memiliki identitas. Tidak peduli apakah asalmu Jerman, Inggris, Italia, Spanyol… asalkan kamu bule, maka kamu adalah Amerika. Untuk itu, pantas di-sweeping. Meski sebenarnya dikotomi penafsiran antara Islam dan kafir (baca: Yahudi dan Amerika) hanya dianut segelintir kelompok berbendera Islam, namun suara mereka lantang.
Nah, di tahun-tahun itu saja suara mereka sudah sebegitu lantang sehingga merasa berhak me-razia orang-orang bule yang sebenarnya adalah warga sipil. Bule-bule yang mau berlibur diserang, disalahkan atas kebijakan Clinton. Padahal, sama seperti kita di sini, tak semua paham pemikiran pemerintah negaranya.
Di era media sosial, suara segelintir orang ini menjadi jauh lebih lantang. Tak hanya lantang, tapi juga tak mau mengikuti aturan. Kelompok kecil yang jumlahnya mungkin tak ada apa-apanya dibanding pengikut NU atau Muhammadiyah ini menyerang warga sipil melalui internet, media masa dan media sosial. Bukan serangan fisik, namun sebaran kebencian. Yang buat saya pengaruhnya jauh lebih hebat. Bagaimana tidak? Bahkan anak-anak kecil yang harusnya sibuk bermain pun akhirnya ikut membenci kelompok yang mereka sebut kafir ini.
Masalahnya kemudian, penyebutan kafir ini lebih ditujukkan untuk memilah identitas. Kita tahu, jika sudah menyangkut identitas bangsa atau kelompok, maka individu langsung lumat. Tidak ada lagi kafir atau bukan kafir, selama kamu berasal dari etnis tertentu, maka kamu pantas dienyahkan dari nusantara. Tak ada lagi Islam arab atau Islam KTP, selama kamu Islam maka kamu harus membela agamamu dengan mengenyahkan para kafir atau penganut agama lain itu.
Menyakitkan memang, tapi sekali lagi ini masalah identitas. Dan identitas merupakan hal yang niscaya. Sulit rasanya membayangkan harus menghadapi sesuatu yang tidak teridentifikasi dalam klasifikasi tertentu. Sulit juga bertidak tanpa tahu yang kita hadapi itu masuk ke referensi tertentu. Tanpa identifikasi, segala sesuatu akan terus terasa asing.
Misalnya kita tidak akan bisa menghadapi atau melawan serangan alien tanpa tahu bentuk alien itu sendiri. Untuk itulah film-film Hollywood menciptakan beragam bentuk makhluk luar angkasa, padahal sih mana ada yang pernah lihat seperti apa mereka.
Saya bukan orang yang anti identitas. Buat saya identitas memang perlu, tapi bukan untuk menghakimi orang atau kelompok yang tak masuk kriteria identitas tersebut. Sayangnya, tetangga saya tak sepaham dengan ini. Barusan dia mem-broadcast pesan di grup Whatsapp RT dan meminta dukungan untuk mengenyahkan kafir penista agama besok. Kami satu RT diimbau untuk ikut (dia dan kawan-kawannya sudah menyediakan bus dan logistik, mungkin duit juga) melakukan aksi super damai 212, entah di mana.
Saya sih nggak tertarik.