Pada tahun-tahun awal mengajar BIPA, saya pernah kepingin berpacar bule. Sekarang, setelah sepuluh tahun lewat, tak pernah sekalipun saya kencan dengan orang asing. Persoalannya cuma satu. Tak ada bule yang mau menjadikan saya pacar. ‘Terlalu outspoken’ katanya. ‘Kurang Indonesia’ kata yang lain. ‘Kulit lo nggak eksotis sih!’ ejek seorang kawan.
Barangkali label-label itu gak benar, tapi tetap membikin saya terpengaruh. Lantas saya mencoba mengingat-ingat kenapa saya (pernah) berniat pacaran dengan pria asing.
Konon, mereka lebih romantis, lebih bisa mengerti perasaan perempuan. Pria asing nggak sungkan menyatakan perasaan dan tak pelit memuji. Lantas ada sederet manner yang tak sering dilakukan lelaki di sini, misalnya membukakan pintu dan konsep ‘ladies first’ (meski di negara-negara barat kedua hal ini ditolak mentah-mentah oleh para feminis dengan alasan kesetaraan gender).
Lucu juga, sebab ada kawan pria yang membikin pembelaan bahwa konsep ‘ladies first’ sangat tidak jantan. Di Timur, lelaki harus berada di depan, dan ini bukan persoalan gender sama sekali, melainkan perlindungan. Bagaimana lelaki bisa melindungi kalau ia berada di belakang? Seperti yang bisa tertebak, saya malas berargumen.
Tak tahu kebenarannya, namun seorang siswa asing yang pernah saja ajar bercerita bahwa lelaki yang mengawini perempuan Asia sering dilihat sebagai male-chauvinist. Percaya pada inferioritas perempuan. Sebab perempuan Asia umumnya patuh pada suaminya, tak pernah membantah, apalagi berargumen.
Buat saya ini menarik, sebab perempuan Asia yang menikahi lelaki asing malah sering dicap matre. Barangkali memang ada sebagian orang yang memakai cara ini supaya cepat kaya (setidaknya ini lebih mudah ketimbang harus ngepet) – cuma yang sedikit ini tak mewakili sisanya. Saya berkawan dengan banyak perempuan tak melarat yang menikahi pria asing, sebab mereka saling jatuh cinta. Sayangnya, stigma itu tetap berlaku. Bahkan saat mengantar field-trip seorang siswa pria, saya tetap dikira ‘piaraan’ bule meski pada kartu pengenal saya tertulis pengajar.
Barangkali kompleks bangsa terjajah membuat segala hal yang kebule-bulean menjadi lebih afdol. Dan pemikiran ini yang pernah melekat di otak saya sehingga sempat kepingin punya kekasih lelaki kulit putih. Untung tak laku 🙂