Saya nggak suka cokelat.
Dan, saya sudah hafal ekspresi setiap orang ketika saya mengatakannya. Sebagian orang menganggap saya bercanda, sebagian lagi mengira saya berbohong, dan sisanya menganggap saya gila.
Well, it’s not that I hate chocolate, I just don’t like it. Saya nggak suka rasanya, sesederhana itu alasannya. Jika harus, saya mau saja makan cokelat, sebab tidak ada alergi. Kalau ada pilihan, saya lebih suka menolaknya.
Tentu, selalu menjadi situasi yang awkward ketika saya menolak tawaran cokelat. Biasanya dari mereka yang belum mengenal saya. Terkadang ada keadaan di mana saya harus menelan potongan praline sambil berakting menyukainya, demi sopan santun. Setelahnya saya terpaksa menegak setengah liter air untuk menghilangkan rasa tak enak di belakang lidah.
Saya tak ingat sejak kapan saya tak suka cokelat. Di masa sekolah dasar, saya sering jajan wafer cokelat bergambar Superman, atau cokelat berbalut kertas emas mirip koin. Saya juga tak menolak minum susu cokelat (meski lebih memilih susu putih) atau kue serta penganan lain yang berbahan cokelat.
Semasa mengajar BIPA, tentu saya (dan juga para pengajar lain) sering mendapat oleh-oleh cokelat dari murid-murid. Cokelat dari Belgia atau Perancis dapat membuat mata membelalak, dan liur menetes. Begitu juga cokelat Cadbury. Meski di Indonesia juga ada, tapi kata rekan-rekan pengajar, Cadbury dari Australia atau Selandia Baru jauh lebih enak. “Barangkali karena tak ada label ‘halal’, jadi lebih enak” canda seorang rekan kala itu.
Cokelat konon ditemukan sekitar 4000 tahun lalu oleh bangsa Indian Olmec. Peradaban yang terletak di teluk Meksiko ini menamakan tanaman coklat sebagai Kakawa. Mungkin dari sinilah asal kata kokoa. Orang-orang Olmec membudidayakan pohon cokelat untuk kemudian diolah sebagai minuman. Menariknya, minuman tersebut menjadi bergengsi sebab hanya bangsawan yang mengonsumsinya. Minuman paling keren saat itu menjadi begitu populer di antara bangsa-bangsa Indian lain.
Tanaman cokelat kemudian mulai dikenal di Eropa setelah Spanyol menaklukan suku Indian Aztec dan Maya serta peradaban-peradaban besar lain di bagian Selatan benua Amerika. Sejak itu cokelat berkelana ke Asia dan (kembali ke) Amerika. Ia lantas menjadi industri setelah pabrik-pabrik cokelat mengembangkan teknologi dan peralatan.
Di Indonesia, meski cokelat gambar ayam jago lebih dulu didistribusi, Silver Queen dianggap merek cokelat pertama karya industri lokal. Padahal sama-sama diproduksi PT. Ceres. Harga Silver Queen termasuk murah jika dibandingkan merek impor semacam M&M, Lotte, Kit-Kat, Cadburry, dan Toblerone. Buat yang uang jajannya minimal kayak saya, membeli cokelat dengan gambar ayam jago tentu lebih hemat.
Celakanya, cokelat gambar ayam jago itu benar-benar tidak enak di lidah saya. Ia juga membuat panas tenggorokan. Saya tak suka aftertaste cokelat gambar ayam jago. Barangkali itu juga awal mula saya menganggap cokelat tak enak. Entahlah.
Lantas, saya melihat betapa kapitalisme memanfaatkan kesukaan orang akan cokelat. Dibikinnya opini bahwa pernyataan cinta identik dengan cokelat. Disuruhnya generasi muda membeli cokelat mahal untuk dihadiahkan pada kekasih atau gebetan. Jika ini tak berhasil, masih ada alasan cokelat sebagai comfort food. Jika kamu stress, patah hati, atau nggak mood, maka makanlah cokelat dan semua akan baik-baik saja. Begitu kira-kira pemikiran skeptis saya.
Sekali lagi, saya tak benci cokelat. Hanya tak suka rasanya.
Ada waktu ketika saya harus berdamai dengan cokelat. Misalnya ketika beberapa tahun lalu saya berulang tahun, beberapa teman membelikan Black Forrest Tart ukuran besar sebagai surprise. Jika saya bilang tak suka cokelat, mereka tentu akan kecewa.
Tak suka cokelat bukan perkara besar. Setiap orang butuh untuk tidak menyukai sesuatu. Mengatakan tak doyan cokelat memang seringnya menciptakan situasi yang kikuk, tapi saya survive kok tanpa makan cokelat.