Sudah pernah baca buku “Door Duisternis Tot Licht”?
Saya belum. Soalnya saya gak bisa bahasa Belanda. Kalaupun bisa, saya gak yakin kepingin membacanya sebab ada sentimen pribadi dengan motivasi penyusun buku itu, JH. Abendanon. Dialah orang yang bersusah payah mengumpulkan surat-surat Kartini dan menyusunnya menjadi buku lantas diberi judul Door Duisternis Tot Licht.
Ironisnya dia jugalah yang menghalang-halangi niat Kartini untuk bersekolah di negeri Belanda, padahal sudah ada sponsor dan beasiswa untuknya dan kedua adik perempuannya. Seperti semua tahu, Kartini batal berangkat, lantas digiring kawin dengan lelaki yang sudah punya sekian istri.
”Door Duisternis Tot Licht” terbit tahun 1911 dan langsung menyedot perhatian berbagai kalangan hingga para bangsawan Belanda, termasuk ratu Wilhelmina, menyumbangkan ratusan gulden kepada yayasan Kartini untuk memperbaiki kondisi pendidikan perempuan di Jawa. Sebagai catatan; Yayasan Kartini dikelola oleh anak lelaki Abendanon sendiri, dan gak pernah ada catatan sejarah tentang perbaikan pendidikan yang didanai oleh yayasan ini.
Saya kenal Kartini sebagai legenda – sama legendanya dengan Ratu Pantai Selatan dan Rara Jongrang. Buat saya, Kartini cuma wajah dalam poster, yang ultahnya selalu dirayakan dengan kontes berkebaya di sekolah dan komoditas mall. Padahal kebaya cuma identitas kultural yang gak ada hubungannya sama sekali dengan perjuangannya.
Cuma beberapa tahun terakhir saya gak lagi melihat Kartini sebagai sosok yang melulu sedih sepanjang hidupnya (seperti yang diperankan oleh Yenny Rachman dalam film besutan sutradara alm. Sjumandjaja) atau dari sisi domestik bahwa ia perempuan pingitan lalu dinikahkan secara paksa lantas melahirkan dan mati.
Pandangan saya — bahwa Kartini adalah pahlawan bangsa, pendekar kaumnya, pelopor dan perintis emansipasi dan berkat Kartini, perempuan sekarang bisa sampai di sekolah tinggi dan sejajar kedudukannya dengan lelaki — juga berubah. Sebab ternyata itu semua cuma sebagian kecil dari perjuangan Kartini yang sebenarnya yaitu; melawan feodalisme dan mengangkat derajat rakyat kecil.
Memang, saya lebih mengenal Kartini dari buku ”Panggil Aku Kartini Saja”karya Pramoedya Ananta Toer, bukan dari ”Door Duisternis Tot Licht” maupun ”Habis Gelap Terbitlah Terang.” – Dan saya lebih percaya analisa Pramoedya ketimbang si Belanda itu, sebab Pramoedya membuat riset sedangkan Abendenon hanya memilih (tanpa pertimbangan siapapun) surat-surat Kartini yang dirasanya layak dan menguntungkan politik etis Belanda saat itu. Cuma dia dan Tuhan yang tahu apa isi surat-surat lain dari Kartini yang tidak dipilihnya (atau di mana surat-surat lainnya itu)
Dan tentang ”Habis Gelap Terbitlah Terang” itu, setahu saya diterjemahkan Armijn Pane ke dalam bahasa Melayu – bahasa yang saya juga gak ngerti. Entah kalau sekarang sudah ada edisi bahasa Indonesia modern, soalnya sudah lama saya gak main ke toko buku.
Dan, saya juga belum nonton film Kartini yang diperankan Dian Sastro.