Sebetulnya saya jarang menyantap daging kambing atau sapi, sebab dilema. Bukan soal kolesterol atau diet, hanya saja saya selalu menderita sembelit akut bila makanan saya beurusan dengan daging. Padahal seperti kebanyakan orang, saya ya ngiler juga mencicipi tongseng, gule atau sate kambing. Kebetulan keluarga sayajuga bukan fans berat daging hewan berkaki empat. Mereka lebih suka ikan dan sesekali daging unggas. Ini kenapa ketika Idul Adha datang, sementara ibu-ibu rumah tangga biasanya heboh menyiapkan santapan berbahan daging, saya tak terlalu memusingkan hal itu.
Setiap Idul Adha, saya melihat begitu banyak orang yang mengantri – lengkap dengan kuponnya – buat mendapat daging sapi dan kambing gratisan. Kecuali si mbah yang suka membantu membersihkan rumput di halaman rumah saya.
Ia tinggal di kampung di belakang kompleks perumahan tempat saya tinggal. Selepas sholat Ied, ia biasanya cuma duduk-duduk di depan rumahnya. Pernah saya bertanya mengapa ia tak ke masjid seperti lainnya yang mengantri daging kurban – padahal sudah mendapat kupon. Ia menjawab dalam bahasa Jawa. Katanya. “Bukan saya yang harus meminta, tetapi mereka yang seharusnya datang kepada kami membawa daging kurban.”
Saya heran, tapi merasa perkataannya benar. Saya tak punya kesadaran sepertinya. Kesadaran terhadap ajaran agama yang membuatnya sabar dan punya harga diri. Sebab ia percaya bahwa Tuhan sudah dan selalu memberikan yang terbaik baginya. Benda bukan ukuran kebahagiaan sejati, dan ia tidak memuliakan daging kambing sebegitu tinggi sampai merendahkan diri buat mengantri jatah.
Tapi buat kebanyakan orang mengantri pembagian daging kurban tidak merendahkan. Sebab itu adalah sesuatu yang wajar, dan juga wajar buat orang-orang datang mengerumuni barang gratisan. Meski setahu saya ibadah kurban tidak dimaksudkan sebagai sekadar bagi-bagi gratisan, namun gratisan kadang memang membikin orang mau mempermalukan diri.
Seperti puluhan (mungkin ratusan) orang berharta yang sedia untuk merendahkan diri menyerbu pembagian sembako, pembagian zakat, penawaran sepatu diskon, pakaian diskon, kue buatan artis, atau apa saja yang dianggap gratisan atau diskonan. Tentu tak salah, jika saja itu tak menyusahkan orang lain, berteriak-teriak atau merusak lokasi hanya karena tidak sabar.
Kerumuman seperti itu buat saya mirip semut yang merubungi gula. Cuma saja, semut tidak pernah saling sikut, mendorong dan menginjak sesama demi sesuatu yang tak seberapa.