Saya punya masalah dengan dianggap serius, terutama saat sedang sedih. Beberapa kawan mengira saya lagi berpura-pura galau atas nama sensasi, sebagian lagi terheran-heran. Sebagian yang terakhir ini barangkali menganggap otak saya  nggak merekam file kesedihan.

Nggak salah juga sih kalau kawan-kawan berpikir begitu, sebabsaya memang ahli bersembunyi di balik candaan. Entah di medsos atau situasi nyata, saya kerap melontarkan jokes atau kalimat-kalimat pemancing tawa. Banyak kawan yang menanti-nanti status-status FB saya karena katanya bisa membuat hari mereka lebih menyenangkan.

Seorang kawan di Melbourne pernah bilang bahwa status-status saya seperti sarapan. Ia membacanya hampir setiap pagi ketika berada di kereta bawah tanah menuju kantornya. Jika tak sempat, ia akan membacanya saat pulang kerja. “They’re hilariously funny, and made my day,” tulisnya suatu kali dalam kolom komentar.

Oh, tentu saya senang. Sebab memang menyenangkan orang lain (atau setidaknya membuat mereka tersenyum kecil setiap hari) memang tujuan saya memposting semua itu. Cari pahala, kalau meminjam istilah kawan lain.

Dan, begitulah. Being a joker brings you a consequence. They won’t believe you when you say you’re sad. Logikanya, masa sih orang yang suka melucu bisa sedih?

Ya, tentu saja bisa. Sama seperti semua orang, saya merasakan sedih, galau, patah semangat, capek hati, bad mood, kesal, marah, iri hati, cemburu dan emosi-emosi negatif lainnya.

Lantas, bagaimana saya bisa mengabaikan semua itu, masuk ke dalam happy state of mind dan seolah tak terpengaruh? Sebenarnya tak selalu bisa, tapi pengalaman hidup membuat saya memahami bahwa bahagia itu tujuan. Ketika kamu bahagia, kamu merasa lebih baik dalam setiap aspek hidup.

Klise, ya? Sama klise-nya dengan pesan berulang “Jangan Lupa Bahagia” di berbagai medsos dan media chatting. Kalimat yang konyol, menurut saya. Sebab mana mungkin orang bisa lupa bahagia?

Sayangnya, saya terlalu naif. Saya lupa jika ada banyak orang yang tak bahagia. Entah karena tak tahu caranya, atau karena tidak bahagia adalah zona nyaman mereka. Buat saya, bahagia adalah melepaskan dan  juga berhenti peduli dengan hal-hal tak penting dalam hidup.

Persoalannya, hal-hal yang saya anggap tak penting tersebut barangkali justru kerap dipikirkan oleh sebagian orang. Usia, misalnya. Saya bisa bilang, usia hanya angka dan saya tidak membiarkan bertambahnya jumlah lilin ulang tahun mendefinisikan siapa dan apa yang saya lakukan. Saya sih suka-suka saja mau melakukan apa yang saya inginkan.

Nah, saya sadar ada orang-orang yang memulai kalimatnya dengan “Usia saya mendekati 50 tahun, sudah tua dan blablabla…” Oh, ayolah. Life is short.  Lagipula menua itu pasti. Sama pastinya dengan perubahan pada tubuh saat umur bertambah. Omong-omong, saya menulis tentang semua perubahan penting pada tubuh saat kita memasuki usia 40 tahun lho. Sudah baca? Lihat di sini deh (Sekalian promo, hehe…)

Selain umur, saya percaya banget bahwa memikirkan pendapat orang lain itu sama menganggunya dengan tukang blokir medsos yang sensi. Tentu kita harus mendengarkan pemikiran orang lain, tapi pilih yang relevan dan konstruktif saja. Selebihnya, tak usah. Saya percaya ucapan orang lain tentang saya tak pernah benar-benar akurat. Saya belajar untuk tidak menilai seseorang dari ucapannya tentang saya.

Oh ya, kadang ada juga lho yang mengira saya bisa selalu happy karena bukan pekerja. Memang sih, saya boss untuk diri sendiri dalam soal pekerjaan, sehingga saya bisa memutuskan sendiri kapan harus kerja dan kapan boleh senang-senang. Cuma, buat saya, kunci bahagia adalah berpikir bahwa saya bukanlah pekerjaan saya.

Dengan kata lain, saya belajar supaya pekerjaan tidak menghabiskan sebagian besar dari hidup saya. Pekerjaan itu penting banget, tapi jika waktu kerja selesai, ya pikiran kita juga tak di sana lagi. Melupakan pekerjaan di waktu bersenang-senang dengan keluarga atau teman jauh lebih mudah kok daripada melupakan mantan, hehe

Saya sadar bahwa bakat, passion dan menikmati hidup itu utama. Membiarkan pekerjaan mengambil alih porsi ini hanya akan membuat kamu lupa bahagia, cemas dan khawatir terus menerus.

Kamu tahu kan cemas, khawatir, takut itu enggak nyata dan hanya tembok yang menjagamu tetap berada di zona nyaman. Sialnya, perasaan-perasaan seperti itu justru kerap muncul akibat keadaan-keadaan negatif yang terjadi di sekitar kita. Perang, demonstrasi, maslaah ekonomi politik, hewan yang hampir punah, orang-orang baik yang terzalimi, banyak deh.

Tentu saya enggak bisa menutup mata dengan semua itu. Yang bisa saya lakukan hanya memastikan bahawa semua hal negatif tadi nggak mempengaruhi perasaan saya. Dan ini termasuk menjauhi kawan-kawan yang tak berguna. Toxic people kalau bahasa kerennya, dan yang masuk kategori ini adalah mereka yang suka berpikir dan berucap buruk tentang suatu hal atau seseorang.  Selalu mengeluh, pamrih dan memiliki ekspektasi terlalu tinggi akan sesuatu.  Ciri khasnya, suka memberi label.

Saya juga sering diberi label. Entah dibilang jaim, pencitraan, norak, kurang piknik, tukang cari perhatian, tukang curi hati suami orang… eh! 😀

Dulu sih sering banget baper dengan label-label begitu. Sejak beberapa tahun terakhir, saya sudah nggak peduli lagi. Kalau pun baper, ya sebentar saja. Baper itu manusiawi, cuman nggak boleh lama-lama. Menjadi tak peduli adalah cara tercepat melawan baper model ini.

And this is, my friend,  how happiness is created: Not doing things you don’t care for.

———

IDGAF: I don’t give a fuck. It’s something to say when someone is bugging you about something you don’t care. [Urban Dictionary] http://www.urbandictionary.com

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.