Pernah dengar kata demassification?
Saya juga baru tahu tadi pagi waktu buka-buka Wikipedia.
Saya gak tahu persis artinya tapi ternyata pernah ada masa dimana para intelektual prihatin bahwa masyarakat dunia di masa depan akan benar-benar seragam. Industrialisasi berarti produksi massal dalam jumlah yang luar biasa banyaknya. Ini mungkin akan mengarah pada standarisasi dan sinkronisasi atas apa saja di dunia ini, dan ujung-ujungnya berakhir pada keseragaman.
Untungnya, saya kira, hal begitu gak terjadi di dunia nyata. Umbrella-nya Rhiana boleh jadi begitu hits dimana-mana tapi banyak juga yang gak suka dan memilih lainnya. Jutaan jeans merk Levi’s telah diproduksi, tapi tetap saja orang punya gaya sendiri-sendiri ketika mengenakannya.
Dulu banyak yg kuatir bhw KFC akan memonopoli pasar, untungnya meski waralaba sang kolonel itu ada dimana-mana, ia tak dengan mudah menggeser kedudukan nyonya ayam goreng kita; Ny. Suharti. Sama seperti saat Coca Cola mulai populer di Indonesia – meski memang sempat ‘memukul’ industri minuman lokal, namun kemudian Sosro muncul, dan kemudian diikuti lainnya. Dan rupanya kebanyakan dari kita masih bertahan memilih wedhang ronde atau sekoteng.
Ini bukan masalah anti Amerika atau modernisme vs tradisional. Ini semata-mata masalah perut – yang ogah distandarisasi. Meski dulu para pemuda bersumpah satu bangsa, tapi tetap aja mereka (dan kita) ogah bersumpah untuk menyebut soto Madura, soto Bandung, soto betawi, soto Kudus, dll sebagai soto Indonesia.
Itu kenapa saya suka makan di food court yg berceceran mal-mal, secara begitu banyak pilihannya. Sate padang, rica-rica menado, pempek palembang, gudeg Jogja, spageti italia, burger amerika….semuanya berbeda-beda. Tempat semacam ini buat saya mirip penolakan teori ‘demassification’-nya Alvin Toffler itu.
Jadi, saya kadang suka heran sama orang-orang, yang atas nama pribadi, golongan, partai, agama, kelompok, atau apapun…masih bertengkar mengenai keberagaman.