Kebanyakan penulis mendaku diri sebagai introver. Saya sih tidak, sebab saya tidak yakin apakah saya introver, ekstrover atau ambiver. Yang jelas, saya adalah orang yang lebih senang jika tidak harus bicara di depan umum. Bicara secara personal dengan kelompok kecil lebih bisa membuat saya percaya diri daripada bicara di depan kerumunan besar orang.

Awal mulanya ketika saya di sekolah dasar. Waktu itu, karena belum punya rasa takut tampil di depan banyak orang, saya mengikuti lomba pidato antar kelas dalam rangka tujuh belasan. Dengan percaya diri, saya mengucapkan pidato dan menarik perhatian audiens – hingga tiba-tiba, salah satu kawan yang duduk tepat di depan panggung mengomentari lubang hidung saya. Keisengannya mengoyak-oyak konsentrasi, membuat saya mendadak lupa seluruh isi pidato yang telah saya hapalkan. Itu adalah momen yang membuat saya mulai takut bicara di depan umum.

Yah, sejak itu, pokoknya, saya akan menghindar sebisa mungkin kalau harus bicara di depan banyak orang. Bahkan, ketika saya mulai bekerja dan terpaksa (dipaksa, tepatnya) untuk memimpin rapat, yang terjadi adalah, selama rapat, muka dan telinga saya memerah, suara (yang biasanya keras) menjadi lirih dan bergetar, juga terus mengucapkan derau, “Eeeh … nggg ….”

Sumpah! saya sebal sekali jika ditunjuk untuk bicara di depan umum atau memimpin pertemuan. Saya juga nggak suka disorot oleh begitu banyak perhatian. Anehnya, orang-orang malah sering meminta saya melakukan itu. Ada yang salah, tapi lama kelamaan saya paham. Ada kualitas leader dalam diri yang orang lain lihat dan saya tidak. Silent leader, mungkin begitu istilahnya sebab saya tetap enggan jika harus tampil dan bicara di depan umum.

Semakin ke sini, semakin sering saya diminta bicara di depan banyak orang. Hal ini lantas membuat saya berpikir, “Gawat nih kalau saya nggak segera memperbaiki diri!”

Saya penah menonton video ketika komedian terkenal, Jerry Seinfeld, membuat lelucon menarik berdasarkan pengamatan sederhananya. Dia mengatakan bahwa berbicara di depan orang banyak dianggap sebagai ketakutan nomor satu bagi kebanyakan orang – ketakutan nomor duanya adalah kematian! Lah berarti, banyak orang lebih pilih mati daripada ngomong di depan umum dong ๐Ÿ˜€

Ketakutan berbicara di depan umum adalah jenis ketakutan yang paling sering dialami banyak orang. Di sisi lain, saya mulai menyadari bahwa ketakutan semacam ini bisa membuat saya menghambat potensi diri. Ada lebih banyak peluang yang bisa diambil jika saya nyaman berbicara di depan umum, misalnya:

Dilihat sebagai pemberani karena bisa melakukan sesuatu yang ditakutkan banyak orang. Mereka yang takut berbicara di depan umum bisa jadi akan melihat saya dan berpikir, “Gila! Gue mana berani kaya dia.”

Meningkatkan personal branding, sebab berbicara memberi saya kesempatan untuk mengkomunikasikan pesan kepada banyak orang sekaligus. Pesan yang kuat membuat saya memiliki jejaring yang lebih luas – bahkan ke orang-orang yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Sebagai penulis, saya bisa menikmati manfaat ini.

Mengurangi pesaing. Dalam industri saya, banyak penulis yang takut berbicara di depan umum dan ini menjadi keunggulan jika saya mampu masuk ke area yang mereka takuti. Selain itu, ketika saya mampu menyampaikan pesan dengan ketulusan penuh, maka saya bisa mendapat kepercayaan (trust) dari banyak orang.

 

Mungkin kamu mau baca: Penulis Cuma Harus Menulis, Masa Sih?

 

Akhirnya, dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut – ditambah semakin banyaknya permintaan bicara di depan banyak orang, saya pelan-pelan belajar public speaking. Beruntung, saya punya teman-teman yang berprofesi sebagai MC dan mereka bersedia jadi guru saya.  Dari mereka, saya belajar:

Kurangi Berpikir, Lebih Banyak Terlibat

Sama seperti menulis, ketika bicara di depan umum, ada tiga bagian utama yaitu intro, poin penting, dan kesimpulan. Saya disarankan agar hanya fokus pada poin-poin penting yang ingin saya sampaikan. Ketika saya paham subjek yang mau saya bicarakan, maka bagian intro dan kesimpulan harusnya mudah.  Fokus mengingat garis besar beberapa poin utama, dan bebaskan diri untuk terlibat dengan audiens melalui kontak mata, interaksi, gerakan, dan yang paling penting, terlihat natural ketika bicara, seolah-olah sedang mengobrol.

Audiens Ingin Pembicara Berhasil

Jika saya adalah audiens, maka tujuan saya mengikuti sebuah presentasi, seminar, webinar, dan sebagainya, adalah untuk belajar dan mendapatkan value Waktu sangat berharga, audiens tidak mengikuti sebuah event untuk menyaksikan pembicaranya gagal. Buang-buang waktu saja dong! Dengan berpikir dari sudut pandang ini, setiap kali harus bicara di depan umum, saya berfokus pada value apa  yang bisa saya berikan? Untuk mengurangi rasa gugup dan takut, saya mengulang mantra semacam ini; “Saya di sini untuk mereka yang ingin belajar dari keahlian saya, dan saya tidak akan membuang-buang waktu mereka.”

 

Cheerful young woman screaming into megaphone

 

Semakin ke sini, saya semakin paham bahwa bicara di depan umum menjadi cara yang baik untuk mendapatkan perhatian, kepercayaan diri, dan keberhasilan. Setiap pembicara hebat berawal dari pembicara yang tidak pede. Yang membuatnya  sukses adalah kesediaan untuk mengambil kesempatan, mencoba lagi, dan memandang setiap peluang sebagai pengalaman belajar agar bisa menjadi lebih hebat daripada sebelumnya dan bisa memberi manfaat bagi banyak orang.

Sebagian besar ketakutan berbicara di depan umum terjadi karena khawatir gagal. Sekarang saya yakin bahwa:

โ€œGagal adalah ketika kita punya tujuan tapi membiarkan rasa takut mencegah langkah pertama menuju tujuan itu.โ€

Sampai hari ini, saya masih selalu gugup dan sebisa mungkin menghindari dari bicara di depan umum. Hanya saja, jika ada yang menawarkan saya untuk jadi pembicara, saya tidak takut atau menolak peluang lagi – apalagi kalau bisa dapat duit jajan tambahan dari sana ๐Ÿ˜€

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.