Pertanyaan ini kerap kali dilontarkan pada saya. Buat orang-orang yang sudah mengenal saya sejak lama, pertanyaannya malah lebih spesifik, “Kok bisa sih kamu jadi penulis?” Pertanyaan mereka bukan tanpa dasar. Latar belakang pendidikan sarjana saya jauh dari dunia tulis menulis. Saya kuliah di jurusan arsitektur. Iya, arsitektur! Seharusnya saat ini saya berprofesi sebagai arsitek, perancang bangunan dan gedung, bukan penulis buku.

Saya kira kita semua setuju bahwa jalan hidup memang unik, dan sulit ditebak. Belajar arsitektur selama enam tahun, lulus dengan nilai baik dan sempat bekerja paruh waktu sebagai asisten dosen di almamater saya. Sebelum lulus kuliah, saya juga bekerja paruh waktu sebagai pengajar Bahasa Indonesia untuk penutur asing – atau bahasa kerennya ekspatriat. Dan pekerjaan inilah yang kemudian saya tekuni lebih serius setelah menerima gelar sarjana teknik. Aneh, kan? Susah-susah belajar arsitektur, malah memilih jadi pengajar bahasa.

Iya, saya memang aneh. Banyak pilihan hidup saya terlihat aneh di mata teman-teman. Sebagai pengajar Bahasa Indonesia untuk penutur asing di sebuah sekolah bahasa, saya justru bertahan selama sepuluh tahun di sana. Lingkungan kerja yang kondusif, atasan yang bersikap sebagai mentor dan teman, rekan-rekan pengajar yang memosisikan diri sebagai keluarga, serta siswa-siswa dari berbagai penjuru dunia yang sebagian besar menjadi sahabat. Saya kira itulah yang membuat saya betah di sana.

Banyak pengalaman unik selama mengajar orang-orang dari berbagai negara. Saya lebih mengenal budaya luar, cara berpikir mereka, mampu menghargai perbedaan (sosial, ras, agama, pilihan hidup) dengan lebih baik dan yang terutama, saya jadi jauh lebih cinta dengan negara sendiri dibandingkan sebelumnya. Ini karena saya bisa melihat keindahan dan keanekaragaman negeri kita dari kacamata mereka. Berbeda dengan beberapa kawan yang masih suka menjelek-jelekkan bangsa, bahasa dan negara, saat itu saya sudah keluar dari lingkaran inferior complex.

Oke, saya keluar jalur. Kapan-kapan saya cerita lebih banyak tentang bagaimana menjadi pengajar bahasa mengubah cara berpikir dan kedewasaan saya. Sekarang kembali lagi ya ke pertanyaan awal, kok ingin jadi penulis?

Sekolah bahasa tempat saya bekerja sangat nyaman, senyaman sebuah sarang yang hangat. Di dalamnya tersedia banyak pengetahuan, kasih sayang, persahabatan, dan pengalaman luar biasa. Namun saya terus merasa ada dorongan kuat untuk meninggalkan sarang tersebut. Entah kenapa, mungkin karena di kehidupan sebelumnya saya seekor burung? Eh! … Ini candaan, tapi ada benarnya juga. Untuk bisa survive, seekor burung harus meninggalkan sarangnya dan hidup mandiri di luar sana.

Dan itulah salah satu alasan yang mendorong saya untuk resign dari tempat kerja yang sudah seperti ‘kawah candradimuka,’ yang selama sepuluh tahun menempa saya menjadi pribadi yang matang dan berwawasan. Padahal waktu itu jabatan saya bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga sebagai course coordinator – semacam manajer jika di perusahaan lain- yang mengatur banyak hal, mulai dari kurikulum, jadwal kelas, bahan ajar, mendelegasi tugas antar para pengajar, negosiasi dengan klien hingga mentraining guru-guru anyar. Menantang banget, kan!

Tapi perlahan-lahan tempat itu juga mengajarkan saya untuk menemukan jati diri saya sendiri. Apakah itu artinya sesudah resign saya langsung menemukan jati diri? Ternyata tidak.

Saya struggling dengan kehidupan ‘tanpa kerja kantoran.’ Biasanya saya berangkat pagi pulang sore, dan selalu sibuk selama minimal 20-30 jam seminggu. Perubahan itu sangat besar, dan lebih kompleks lagi karena waktu itu saya baru saja memiliki seorang bayi. Perlu tiga tahun sebelum saya menjadi lebih ‘tenang’ dan menemukan irama hidup yang baru. sebagai ibu dan sebagai orang tanpa pekerjaan kantor, tinggal di rumah mengurus anak-anak.

Perubahan ini sebenarnya melegakan, saya punya lebih banyak waktu relaks dan memikirkan diri sendiri. Hanya saja, saya orang yang terbiasa dengan dinamika, pikiran saya terus menerus mengatakan bahwa saya perlu sesuatu untuk membuat diri menjadi lebih berarti.

Akhirnya saya menulis blog. Saat itu blog masih merupakan hal baru, dan saya menikmatinya. Lantas adik saya yang berprofesi sebagai internet marketer mengajari saya banyak hal mengenai bisnis online. Dia termasuk salah satu internet marketer terbaik di Indonesia. Lucunya, saya kurang tertarik dengan bisnis online, online marketing dan sejenisnya. Saya tidak ingin mengikuti jejaknya, padahal adik saya lumayan sukses. Akhirnya dia menawari saya untuk menjadi penulis konten pada situs-situsnya yang puluhan jumlahnya. Saya tertarik, antuasias malah, sebab saya suka menulis.

Butuh waktu beberapa bulan untuk menguasai keterampilan menulis konten. Berbeda dengan menulis blog, artikel konten memiliki beberapa aturan. Saya belajar semuanya sendiri dari internet dan beberapa panduan. Penghasilannya tidak sebesar gaji saya di tempat kerja sebelumnya, tapi karena pesanan artikelnya banyak (dan kemudian teman-teman adik saya, para internet marketer lain juga pesan artikel ke saya), bisa dibilang saya senang dengan penghasilan waktu itu. Selain penghasilan, saya pun ‘dipaksa’ belajar menulis dan membaca banyak topik agar artikel-artikel yang saya tulis menarik dibaca. Beruntung, dari pengalaman kerja sebagai pengajar bahasa, saya punya latar belakang bahasa Indonesia yang bagus dan bahasa asing yang lebih matang. Saya bisa menulis beragam tema dalam dua bahasa, sehingga pesanan artikel pun tidak hanya datang dari internet marketer dalam negeri, tapi juga luar negeri. Saya pun kemudian rutin mengisi konten dari situs-situs beberapa perusahaan.

Tidak hanya dengan adik, saya pun kemudian bekerja sama dengan sebuah agensi. Di sini, order artikel konten mengalir deras. Saya tidak perlu repot-repot mencari klien lagi, bayarannya pun tinggi. Pokoknya lumayan banget buat beli-beli dan traktir anak-anak nonton atau makan di restoran seminggu sekali. Profesi sebagai penulis konten saya jalani sekitar tiga tahun dengan menyenangkan.

Tapi itulah saya. Mudah bosan. Selalu ingin mencari hal baru. Saya mulai berpikir, kenapa saya terus membuat artikel untuk orang-orang tertentu? Kenapa saya tidak mulai membagi pengetahuan saya lewat buku yang bisa dibaca banyak orang? Selama tiga tahun menjadi penulis konten, saya membaca ribuan pengetahuan di luar sana, dan ini membuat saya sampai pada satu titik di mana saya ingin sekali orang lain tahu apa yang sudah saya ketahui.

Dan sekali lagi, keinginan saya bertemu dengan pintu yang tepat. Saya lupa bagaimana awalnya, tapi tahun 2012 saya diberi peluang untuk menulis naskah buku. Buku pertama saya tentang psikologi, memecah mental block dan mendorong orang keluar dari zona nyaman. Sebuah tema buku yang saat itu sedang populer dan banyak dicari, dan cocok dengan situasi saya.

Ini tidak mudah, saya belajar banyak sekali. Menulis konten dan menulis buku itu sangat berbeda. Masing-masing memiliki aturan sendiri-sendiri. Saya juga harus mengubah sistem kerja saya. Biasanya saya menulis 4-5 artikel dengan 300-500 kata sehari, kemudian saya harus menulis naskah setebal 150-200 halaman dalam satu bulan. Kok satu bulan? Benar, ada tantangan khusus dari penerbit untuk menghasilkan satu naskah dalam satu bulan.

Awalnya saya cukup pontang-panting dengan sistem kerja baru ini. Sempat ingin menyerah karena tekanan untuk menulis jadi lebih sulit. Sebelumnya saya menulis karena INGIN menulis, dan kemudian saya menulis karena HARUS menulis. Untung saya enggak jadi menyerah. Beruntung saya kemudian bertemu mentor-mentor penulis yang hebat. Mereka mengajari saya banyak hal, mulai dari teknik penulisan naskah, cara mendapatkan ide, memperluas peluang dalam bisnis penulisan dan lain-lain.

Para mentor ini lah yang kemudian membuat saya mengubah cara pandang. Saya ingin menjadi penulis yang produktif dan berkelas, ini akhirnya yang menjadi goal saya setelah ‘ditempa’ oleh mereka. Sampai saat ini pun saya masih belajar bagaimana caranya, belum sukses, masih banyak ‘bab’ yang harus saya baca, masih banyak kritik dan masukkan dari para mentor yang harus saya follow up dan masih banyak penulis hebat yang ingin saya ‘lamar’ jadi mentor. Saya pelan-pelan meninggalkan bisnis penulisan konten (masih terima pesanan tapi hanya untuk para klien setia), dan mulai lebih serius menulis buku.

Saat ini saya berfokus pada penulisan buku-buku non fiksi, sebab saya merasa lebih kuat di bidang ini. Sampai pertengahan tahun 2016, sudah ada tujuh buku saya yang terbit dan dipajang di toko-toko buku besar. Tentu saja, bukan saya kalau tidak mencoba penulisan fiksi. Saya tetap menjajal kemampuan menulis novel, meski sebagai ghostwriter dan saya takjub sendiri melihat hasilnya. Setelah proyek itu, saya kemudian mulai memberanikan diri menulis novel, meski belum satu pun yang pede saya kirim ke penerbit.

Salah seorang mentor suatu kali menawarkan saya untuk mengajar penulisan. Entah kenapa, mungkin dia melihat kemampuan yang tidak saya sadari. Lantas, awal tahun 2016 saya pun mulai memberanikan diri memberi mentoring pada beberapa calon penulis. Hasilnya juga menakjubkan, hampir semua dari mereka senang dengan cara saya mengajar dan merasa terbantu dalam teknik penulisan. Saya jadi semakin mantap untuk jadi penulis profesional dan berkelas supaya suatu hari lebih banyak lagi hal yang bisa saya share pada para calon penulis di luar sana.

Meski belum mencapai apa yang menjadi tujuan, saya sudah tahu jawaban kenapa saya ingin menjadi penulis. Secara idealis, saya akan bilang saya ingin membagi pengetahuan, menyebarkan passion dan membuat orang lain lebih cerdas melalui tulisan-tulisan saya. Tapi, ya itu idealisme. Lantas bagaimana yang tidak ideal?

Yang tidak ideal adalah, saya ingin jadi penulis karena pertama, saya menemukan kepuasan diri dan kedua profesi penulis selalu kelihatan keren 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.