Bagaimana semangat kemerdekaan kamu?
Di masa perjuangan, semangat kemerdekaan diejawantahkan lewat kata ”Merdeka!” yang dipekikan sambil mengepalkan tangan ke atas sementara tangan lain menggenggam bambu runcing. Kata ”Merdeka” diucapkan sebagai salam sehari-hari, saat bertemu siapa saja. Di jalan, di pasar, di warung kopi, di kota, di desa, di hutan. Pokoknya di mana pun kita bisa bertemu manusia Indonesia lain.
Kata ”Merdeka” juga diucapkannya dengan segenap jiwa raga, untuk mengobarkan semangat sekaligus menunjukkan nasionalisme dan anti kompeni. Jadi tidak diucapkan dengan lemah gemulai, seperti ”Merdeka ya, Bang, merdeka Om, merdeka ya Tante…. ihh, merdeka deh ekye boook.”
Yang namanya pekik harus diucapkan dengan gegap gempita, dengan semangat. Semangat 45. Persoalannya, semangat itu dan pekikan ”merdeka” tak lagi cocok dengan keadaan. Ia cuma akan diteriakkan pada waktu pentas tujuh belasan. Itu pun barangkali cuma anak-anak yang senang melakukannya, sebab orang dewasa tak suka kelihatan konyol. Lalu bagaimana supaya semangat kemerdekaan itu nggak lenyap?
Saya nggak tahu bagaimana kamu mengejawantahkan semangat kemerdekaan kamu. Tetapi, di perumahan tempat saya tinggal, ia diaplikasikan dengan memasang pengeras suara ukuran jumbo. Diletakkan di sisi-sisi strategis pada jalan umum yang cuma satu-satunya. Gak tanggung-tanggung, speaker-nya diarahkan ke berbagai sudut agar suaranya bisa menyebar ke mana-mana. Bahkan barangkali makhluk asing yang lagi iseng jalan-jalan di sekitar planet bumi pun bisa mendengarnya dan tahu kalau kita lagi merayakan tujuh belasan.
Tak masalah memang, toh hanya setahun sekali. Cuma kali ini sialnya, salah satu speaker menghadap ke jendela kamar saya. Kebayang kan sejak Rabu pagi sampai Kamis malam dipaksa dengerin rintihan Via Vallen yang bolak-balik diputar dengan volume semangat empat-lima: ”PINGINKU SIJI NYANDING SLIRAMU TEKANKU MATI…. srrrr…srrrr…tarik maang!”