Posting kedua dari #28harimenulistentangcinta challenge
Apa yang membuatmu jatuh cinta?
Pertanyaan retorik ini sebenarnya lebih mirip jebakan, karena tentu saja penyebab jatuh cinta adalah orang yang kita cintai itu.
Namun pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana hal-hal lain di luar kekuasaan kita mempengaruhi cara kita memilih siapa yang ingin kita jatuhi cinta? Beberapa orang percaya bahwa cinta itu substansi yang tangible dan abstrak, akan tetapi saling berkaitan dan mampu membuat seseorang merasa ingin mencintai. Saya enggak percaya.
Abaikan dongeng, sebab cinta di dalamnya selalu dibuat terjadi “begitu saja” – tanpa sebab. Snow white bisa langsung jatuh cinta pada ciuman pertama. Belle yang digambarkan sebagai seorang penyuka buku (tentunya dia intelek dong) membuang nalarnya dan mencintai manusia setengah monster. Bahkan dewa-dewi khayangan banyak yang dikisahkan bersedia keluar dari comfort zone lantas turun kasta jadi manusia bumi hanya karena jatuh cinta.
Saya sendiri percaya bahwa cinta tidak sesederhana itu. Cinta tidak terjadi karena sihir atau proses yang tak dapat dipahami pikiran. Jatuh cinta terjadi karena ada mekanisme dalam tubuh manusia yang memfasilitasi. Banyak faktor berperan di belakang munculnya sebuah cinta. Tampilan fisik seseorang, sudah pasti salah satunya – dan ini bisa dijelaskan secara ilmiah.
Saya pernah menonton sebuah film dokumenter tentang hubungan tampilan fisik dan ketertarikan. Ternyata, manusia itu jauh lebih mudah tertarik pada sesuatu yang simetris dan mengikuti aturan rasio tertentu, termasuk wajah. Ketertarikan ini bahkan muncul pada bayi yang notabene belum punya referensi. Eksperimen dalam film dokumenter itu meperlihatkan bahwa bayi cenderung lebih tenang ketika memandang wajah orang dewasa yang simetris daripada yang tidak.
Di luar urusan simetri tadi, status sosial merupakan faktor juga. Latar belakang seseorang, bagaimana ia dibesarkan, dan tingkat kecerdasan memegang peran utama dalam menentukan siapa yang akan kita jatuh cintai. Meski demikian, ini bukan faktor satu-satunya. Reaksi kimia tubuhlah yang memainkan peran besar ketika kita memutuskan mau jatuh cinta pada siapa.
Ada empat senyawa kimia di dalam otak yang mempengaruhi keputusan kita, yaitu dopamin, estrogen, serotonin dan testosteron. Dopamin memunculkan sikap menghargai dan ingin dihargai. Estrogen dan testosteron yang ada dalam tubuh pria dan wanita memunculkan keinginan seksual. Di sisi lain, serotonin membantu mengatur mood dan juga menjadi neurotransmitter yang memunculkan sikap dan pikiran obsesif.
Tentu saja, ada beberapa senyawa kimia lain dalam tubuh yang kayaknya berubah hiperaktif ketika kita jatuh cinta, tapi tidak berpengaruh besar. Pertanyaannya sekarang; apakah senyawa-senyawa kimia itu juga berperan dalam menentukan siapa yang ingin kita beri cinta?
Kemungkinan besar sih iya. Saya pernah membaca jurnal psikologi milik Universitas John Hopkins yang menjelaskan teori ‘kode cinta.’ Kromosom kita ternyata sudah mencatat selera terhadap orang yang akan kita pilih untuk dicintai. Mulai dari bentuk mata, warna rambut, tinggi badan, dan bahkan bau badan. Buat saya, teori ini menjelaskan banget bagaimana seseorang bisa memiliki kriteria pasangan ideal. Jadi, nggak perlu heran apalagi komentar “wah, sayang ya cakep-cakep tapi muka pasangannya gitu doang,” – sebab semua itu ada penjelasan ilmiahnya.
Penjelasan ilmiah itu buat saya juga membuat ungkapan bahwa “jodoh di tangan Tuhan” menjadi masuk akal. Saat otak kita dibentuk di dalam kandungan, Tuhan sudah memprogram seperti apa jodoh kita kelak ke dalamnya. Seru ya 🙂
Lantas, bagaimana jika ternyata di tengah jalan kita merasa bahwa pasangan kita saat ini bukanlah jodoh kita yang sebenarnya? Atau bagaimana jika kita merasa “kok jodoh saya nggak datang-datang?”
Ya,nggak usah salahkan takdir dong. Sebab ‘kode cinta’ tadi hanya berperan sekitar tujuh puluh atau delapan puluh persen dalam kelancaran urusan jodoh. Sisanya adalah usaha kita sendiri dalam menemukan orang yang sesuai dengan catatan dalam DNA tadi.
People fall in love without reason, without even wanting to. You can’t predict it. That’s love.’
Itu kata Haruki Murakami. Kalau kata saya sih, pasti ada alasannya. Saya kekeuh dengan hipotesa sendiri bahwa cinta tidak pernah terjadi begitu saja. Dan kalau mempertahankan hal tersebut di depan teman-teman, mereka akan mulai menarik napas panjang, lantas mengeluh, “Mulai lagi deh nih si skeptis cinta ngomyang.” 😀