Hujan deras baru saja bersedia berhenti. Harusnya udara menjadi lebih sejuk, bukannya panas terik seperti ini. Benar-benar kombinasi aneh dari terik matahari, udara lembab, dan genangan air di mana-mana.
Aku berjalan menundukkan kepala, mengamati trotoar dengan waspada. Sebisa mungkin menghindari sisa-sisa air hujan di permukaan konblok yang berlubang-lubang agar tidak menciprati sepatu dan ujung celana panjangku.
Lalu pengamatanku mendadak beralih pada seorang laki-laki tua yang berjongkok di pinggir trotoar. Dia berperawakan kurus, mengenakan kemeja batik lusuh. Di tangan kanan, dia memegang beberapa gelang tasbih terbungkus plastik. Di dekat tempatnya berjongkok, di atas sebuah meja kayu kecil, terletak tas kumal berisi dagangan; tasbih aneka ukuran dan buku-buku kecil terjemahan Juz Amma serta Surat Yaasiin.
Laki-laki tua itu tidak berteriak-teriak menawarkan dagangan. Sebaliknya dia lebih banyak diam, dan tersenyum kepada para pejalan kaki yang melintas. Beberapa melirik sekilas pada tasbih-tasbih yang dijual laki-laki itu. Beberapa menyempatkan berhenti, lantas melihat-lihat sebentar kemudian berlalu. Tampaknya tidak ada yang tertarik dengan tasbih-tasbihnya.
Rasa kasihan mendorongku untuk mendekati laki-laki tua itu. Dia tersenyum ketika melihatku, dan berkata singkat, “Mari.”
Aku mengangguk kikuk, lantas bertanya, “Bikin sendiri, Pak?”
“Ndak, Mbak. Ini punya juragan saya di Klaten, saya cuma bantu jualin, nanti dapat persenan.” jawabnya lirih.
“Sehari biasanya laku berapa, Pak?” tanyaku iseng sambil memegang sebuah tasbih terbuat dari kayu, mungkin kayu Cendana atau kayu Singkil.
“Sehari bisa laku 5 atau 7.” Suaranya semakin lirih sehingga aku harus menajamkan telinga agar bisa mendengarkan ucapannya.
“Bapak dari Klaten?” Aku bahkan tidak tahu mengapa bertanya demikian.
“Saya dari Jember, tapi sudah tinggal di sini dari tahun sembilan delapan. Umur saya sekarang enam puluh.” tuturnya. Aku tahu jawabannya tidak terstruktur, tetapi aku tertarik ketika dia mengatakan usianya, sebab di mataku, fisiknya menunjukkan ia lebih tua dari itu.
“Dulu saya pernah kerja di rumah orang Cina yang punya restoran,” lanjutnya. “Sekarang saya tinggal di Bantul sendirian.”
Aku bingung bagaimana harus menanggapi informasinya. Ada rasa kasihan, tapi enggan kutunjukkan, khawatir dia tersinggung. Akhirnya kuputuskan membeli tasbihnya, meskipun tidak membutuhkan, sekadar mengurangi perasaan tak tega yang muncul tiba-tiba.
“Berapa harga tasbih ini?” tanyaku.
“Lima belas ribu,” jawab laki-laki tua itu, masih dengan suara lirih, “Kalau yang besar tiga puluh ribu.”
Hmmm, dengan harga segitu, berapa sih persenan yang dia dapat? Paling banyak setengahnya. Hanya saja, berapa banyak orang yang tergerak membeli tasbih-tasbih itu?
“Beli yang kecil ini dua, yang besar satu deh, Pak.” Aku benar-benar tidak membutuhkan benda-benda itu, sebab di rumah ada beberapa. Kuputuskan nanti tasbih-tasbih itu akan kuberikan ke musala dekat rumah saja. Di sana pasti lebih dibutuhkan.
Laki-laki tua itu kemudian berdiri, memegang tasbih-tasbih yang telah kubeli, dan tiba-tiba dia membacakan Al Fatihah, shalawat dan beberapa doa. Selama beberapa detik, aku terpana dan menatapnya heran. Namun, segera kupalingkan muka, membiarkan dia selesai melafalkan doa dan shalawat.
Sayang, saat membayar tasbih-tasbih itu, aku gagal menahan penasaran, dan akhirnya memberanikan diri bertanya, “Doa apa yang tadi Bapak baca?”
“Biar selamat,” jawabnya lirih.
Aku mengaminkan. Sebuah doa yang yakin Insya Allah diijabah oleh Tuhan.
Sebuah doa dari hamba-Nya yang bersyukur.
True story kah?…..