Beberapa waktu yang lalu kehebohan mengenai guna trotoar muncul ketika seorang gubernur memiliki gagasan yang tak populer. Saya tak ambil pusing, toh saya tak tinggal di ibukota. Hanya saja, saya senang mencermati komentar-komentar warganet tentangnya. Sebagian besar mengritik gagasan tersebut, kebanyakan dengan pilihan kata tanpa etika.
Persoalan trotoar memang pelik di negara ini. Konsep ruang publik ini tak dihargai sama seperti di kebanyakan negara lain. Meski bukan satu-satunya negara yang tak menghormati hak pengguna trotoar, buat saya harusnya tetap ada aturan yang ditaati.
Pemikiran saya tentu terlalu idealis, sebab mengandaikan negara ini memiliki satu pusat hukum yang diakui setiap warga negara dan wilayahnya. Nyatanya, kekuasaan ada di mana-mana, termasuk di sepanjang trotoar.
Sebagian warga merasa berkuasa untuk mencari penghidupan di sepanjang trotoar. Sebagian lagi merasa berkuasa untuk menjalankan kendaraan bermotor di atasnya. Sisanya merasa berkuasa untuk merusak, membuang sampah, atau membiarkannya berlubang selama bertahun-tahun tanpa melakukan apa-apa.
Beberapa tahun lalu, saya menemui seorang teman berkebangsaan Austria di kantornya. Saya terkejut melihatnya berjalan terpincang-pincang sambil meringis kesakitan. Ternyata tulang keringnya memar dan lutut kanannya terluka. Ia bercerita bahwa sehari sebelumnya ia terperosok ke dalam lubang di trotoar jalan.
Mungkin karena masih kesal, ia mengomel tentang kondisi trotoar di Jakarta, dan merasa bahwa Pemda harusnya lebih memperhatikan kenyamanan para pedestrian. Entah kenapa, mendengar pendapatnya, saya pingin tertawa geli.
Iya, buat saya dia konyol sekali. Berpikir bahwa dia bisa jalan nyaman di trotoar sambil ngobrol-ngobrol seperti di negaranya. Kok bisa dia tak tahu bahwa trotoar memang di sini tidak dibikin untuk kenyamanan pejalan kaki?
Kosep trotoar di Indonesia memang dibuat berbeda. Trotoar adalah tempat dimana para pedestrian harus selalu melatih tingkat kewaspadaan, itupun kalau tidak kalah bersaing dengan para pedagang yang sejak subuh sudah tidak memberi tempat bagi pejalan kaki. Tentu saja ini bukan salah para pedagang itu. Mereka merasa berhak sebab sudah bayar retribusi setiap hari.
Juga bukan salah para penarik retribusi, sebab mereka cuma orang suruhan Pemda. Dan apakah menjadi salah Pemda jika mereka perlu dana untuk (seharusnya) memperbaiki trotoar? Jadi salah siapa dong?
Ya, yang salah adalah bule-bule naif semacam teman saya itu.
Ketika dia bilang bahwa mustinya masyarakat memperkarakan Pemda karena masalah lubang menganga di trotoar yang tidak ditutup selama bertahun-tahun itu, saya ingin merespons, “Kamu pasti sedang berkhayal,” tapi yang keluar dari mulut saya adalah, “ “Welcome to Indonesia, my friend.”