Semalam saya mampir ke fesbuknya Elizabeth Gilbert. Dia salah satu penulis favorit saya. Memoarnya “Eat Pray Love” ditulis berdasarkan pengalaman hidupnya membantu dirinya bangkit dari keterpurukan. Buku itu benar-benar menginspirasi saya untuk lebih berani menjadi diri sendiri.
Dalam fesbuknya, Liz banyak berbagi pemikiran, pengalaman dan tips penulisan. Satu posting menarik yang pernah saya baca adalah ketika ia menceritakan bahwa saat kreatifitasnya muncul, tak ada yang bisa menghentikannya. Ia tak peduli jika badannya bau, jika tak ada makanan di lemari es selama berhari-hari atau jika tumpukan pakaian kotor sudah menggunung.
Saya ingat, saya pun pernah ada dalam keadaan itu. Beberapa kali malah. Saya menyebutnya Working Without Seeing The Clock, namun belakangan saya tahu penulis luar menyebutnya Creative Mayhem. Nggak tau dalam bahasa Indonesia artinya apa, tapi barangkali terjemahan bebasnya “kekacauan dalam kreatifitas.”
Strategi ini memang berhasil untuk beberapa orang. Dalam Creative Mayhem, penulis menyiapkan beberapa jam sehari untuk hanya mengetik seperti orang kerasukan. Saya pernah menulis naskah non fiksi setebal 120 halaman dalam 12 hari. Setiap hari saya menulis tanpa melihat jam. Saya mematikan ponsel dan sambungan internet serta melarang siapapun untuk mengganggu saya.
Saya benar-benar fokus pada SATU hal, menyelesaikannya dan tidak melakukan hal lainnya. Saat bangun tidur pagi, saya langsung mengingatkan diri sendiri hal penting apa yang harus saya lakukan hari itu, dan kemudian hanya mengerjakan itu saja.
Demi menjalankan strategi ini, saya harus mengabaikan banyak hal lain, setidaknya selama waktu Creative Mayhem berlangsung. Saya tidak merasa perlu menyisihkan waktu untuk mandi, beres-beres, masak, bayar tagihan dan lain sebagainya. Hanya melakukan SATU hal saja. Pendeknya, jangan pikirkan hal-hal lain, kecuali prioritas nomor satu.
Benar bahwa kemudian saya bisa menyelesaikan naskah tepat waktu. Jelas ini sebuah kemenangan. Tidak banyak lho penulis yang bisa menyelesaikan naskah hanya 12 hari. Tapi apa yang terjadi sesudahnya?
Ternyata tanpa sadar saya membiarkan strategi ini menguasai saya. Otak saya kacau dan saya seperti orang yang terbangun dalam kabut ketika naskah selesai dan tak ada lagi yang harus dilakukan. Rumah kelihatan kayak kapal pecah, dan saya jadi malas ngomong sama siapapun. Saya bahkan merasa gak ingin menulis lagi hingga beberapa minggu hari kemudian. Semua ini karena saya menerapkan strategi Creative Mayhem mentah-mentah.
Kapok dengan kondisi waktu itu, saya lalu lebih banyak baca artikel dan berbagi pemikiran dengan beberapa mentor menulis. Saya kemudian mempelajari strategi lain yaitu Creative Restrain. Strategi ini mengajari saya bahwa dalam hal apapun, keseimbangan itu penting. Keseimbangan bukanlah pilihan dalam hidup, tapi sebuah keharusan.
Ketika saya sedang sangat produktif dan dapat mengatur waktu saya dengan baik, saya bisa menulis sekitar 1-3 jam sehari. Setelah itu, agar seimbang, saya tetap harus menyelesaikan semua kewajiban lain dalam hidup, seperti olahraga, mandi, memasak, mengurus keluarga dan menjaga kontak dengan orang lain.
Creative Restrain menjaga saya agar tetap kreatif tanpa membiarkannya mengambil alih hidup. Nah, agar dapat menjalankan strategi ini, saya harus kreatif dengan waktu. Misalnya saya menulis postingan ini pada pukul 12.15 pagi tadi sebab tiba-tiba saya bangun tengah malah dengan sebuah ide, dan tak bisa tidur lagi. Maka jadilah saya kreatif pada tengah malam.
Tapi saya enggak melakukan Creative Mayhem. Saya kembali tidur, dan ketika bangun pagi ini, saya kembali ke kegiatan biasa. Membangunkan anak-anak, main dan ngobrol sebentar sama mereka di kasur dan kemudian menyiapkan bekal untuk mereka dan suami. Setelah rumah sepi, saya membagi waktu antara pekerjaan harian, membalas email, dan menulis target naskah hari itu. Saat itulah saya menutup diri dari prioritas lain, tidak memikirkan apapun selain target saya. Creative Mayhem hanya saya jalankan pada waktu ini.
Oya, untuk mencapai keseimbangan, saya juga merasa harus tetap terlibat dengan orang lain. Kebanyakan penulis yang saya kenal adalah orang-orang yang solitary. Mereka penyendiri, introvert, dan beberapa narsistiknya tinggi (saya banget ini sih, hehe…)
Sebenarnya bagus kalau kita bisa mendedikasi hidup untuk hal yang kita sukai. Namun, jika kita terus mengisi waktu dengan menulis tanpa menawarkan kreatifitas kita pada orang lain, sudah pasti tak ada yang peduli pada kita.
Antidot dari kondisi ini adalah dengan memberi waktu kita pada orang lain. Terjemahan hal ini bisa dilakukan lewat berbagai cara, misalnya kerja sosial, bagi-bagi nasi kotak ke fakir miskin, kunjungan ke panti asuhan atau menjadi relawan. Apapun itu, yang jelas harus sesuatu yang bisa menyeimbangkan hidup.
Buat saya, memberi waktu pada orang lain adalah dengan blogging, menulis postingan berguna atau menghibur teman-teman lewat jokes-jokes saya di fesbuk. Elizabeth Gilbert menulis status-status yang memberi dorongan dan semangat bagi follower fesbuknya. Ada yang suka dan ada yang tak suka, dan itu tak masalah sebab selalu ada orang yang butuh apa yang kita berikan.
Hidup bukan tentang menemukan jati diri. Hidup adalah tentang menciptakan siapa diri kita. Seperti Liz Gilbert, saya menciptakan diri dengan menulis serta melakukan hal-hal yang memberi saya kebahagiaan. Itu saja. Dan ketika bicara tentang manajemen waktu, saya percaya itu bukan melulu tentang menyelesaikan pekerjaan, tapi lebih memprioritaskan apa yang terpenting.
One Reply to “Working Without Seeing The Clock”