Di tengah hiruk pikuk teknologi, pasti kamu pernah dengar pertanyaan ini, “Bisa enggak ya, ChatGPT bikinin buku buat aku?”

Jawabannya singkatnya; BISA.

Faktanya, sudah banyak buku (kebanyakan fiksi) yang beredar di pasaran itu adalah hasil karya AI. Cuma, sebelum kamu copy-paste semua hasil prompt dan langsung cetak, ada baiknya kita bahas kenapa kamu harus mikir dua kali sebelum menyerahkan seluruh proses kepenulisanmu ke robot ini.

 

5 Alasan Kenapa “Buku Karya AI” Belum Tentu Worth It

 

Meskipun ChatGPT jago merangkai kata, ada hal-hal mendasar yang hilang dari karya tulis buatan mesin. Beberapa hal yang bisa kamu pertimbangkan, antara lain:

 

Robot Tidak Punya Pemahaman Mendalam, Hanya Bisa Meniru

ChatGPT dilatih dari data dan teks yang sudah ada. Ia sangat pandai meniru gaya dan menyusun kalimat yang logis. Namun, AI tidak benar-benar mengerti apa itu perkembangan plot yang mendalam, atau bagaimana emosi manusia berubah seiring waktu.

Intinya, AI bisa bikin teks yang lumayan  bagus, tapi sulit menciptakan narasi yang bisa mengikat emosi pembaca dari awal sampai akhir. Ceritanya mungkin terasa “kosong” atau generik.

 

Isu Etika dan Legalitas (Hak Cipta!)

Ini adalah masalah besar, terutama untuk buku non-fiksi.

  • Data Latihan. ChatGPT dilatih menggunakan data dalam jumlah yang sangat besar, termasuk karya-karya berhak cipta. Banyak penulis dunia yang menuntut OpenAI karena merasa karyanya digunakan tanpa izin untuk melatih AI yang kemudian menghasilkan uang.
  • Risiko Hukum. Jika kamu menggunakan AI untuk menulis buku dan ternyata output-nya mengandung unsur plagiasi (meski tidak sengaja), kamu tetap bisa terjerat masalah hukum. Kamu harus sangat berhati-hati dan memastikan keaslian tulisanmu.

 

Sering “Halusinasi” (Mengarang Fakta)

“Halusinasi” adalah istilah keren untuk AI yang mengarang data atau membuat kesalahan faktual. Ini sangat fatal, terutama jika kamu menulis buku non-fiksi yang membutuhkan akurasi. AI bisa saja menciptakan data statistik, mengutip sumber yang tidak ada, atau bahkan mengarang lirik lagu. Karena itu, tanggung jawab untuk memeriksa fakta (fact-checking) sepenuhnya ada di tanganmu!

 

Voice dan Orisinalitas yang Hilang

Setiap penulis punya voice atau suara yang unik. Voice ini berupa gaya bahasa, pilihan kata, dan perspektif pribadinya. Nah, AI cenderung menghasilkan teks yang rata-rata dan umum (generik).

Sebagai penulis, kamu harus selalu ingat bahwa pembaca menghargai manusia. Pembaca membeli bukumu karena ingin mendengar pandangan, kebijaksanaan, dan kepribadian penulisnya. Jika buku terasa seperti ditulis oleh robot, koneksi emosional pembaca akan sulit terjalin.

 

Proses Edit yang Tetap Mahal dan Makan Waktu

Banyak yang menggunakan ChatGPT untuk menghemat biaya editing. Mereka mengira prosesnya instan dan murah. Realitanya, teks yang dihasilkan AI seringkali berbentuk potongan-potongan yang harus disatukan, diedit, dan dipoles agar alurnya mulus. Biaya dan waktu yang dihabiskan untuk mengedit dan memperbaiki naskah AI yang berantakan seringkali sama atau bahkan lebih mahal daripada jika kamu menulisnya sendiri (sebagai manusia) sejak awal.

 

Bagaimana Sebaiknya Menggunakan ChatGPT?

Dengan segala kekurangannya, jangan pernah buang tool canggih ini! Mulai gunakan ChatGPT sebagai asisten super pintar, bukan sebagai penulis utama.

  • Ide dan Brainstorming. Kamu bisa minta saran plot twist, nama karakter, atau ide latar belakang (setting) cerita ke ChatGPT.
  • Mengatasi Writer’s Block. Ketika buntu, minta AI menuliskan paragraf pembuka untuk memecah kebuntuan.
  • Membuat Outline & Kerangka Bab. Kamu bisa menggunakan AI untuk menyusun kerangka bab-bab atau struktur yang jelas.

 

Intinya, masukan kreativitas dan jiwa kamu ke dalamnya. Biarkan AI mengurus tugas-tugas yang repetitif, tapi kamulah yang tetap harus jadi nahkoda ceritanya. Semangat menulis!

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.