Siapa bilang jadi pemimpin itu harus muncul dari tengah-tengah drama kolosal? Dulu, kita mungkin membayangkan para leader muncul dari kancah sejarah yang heboh, seperti yang pernah terjadi pada tahun 1965 atau tahun 1998 di Indonesia. Penuh gejolak, krisis, dan upheaval yang bikin jantung deg-degan.
Cuma, coba lihat deh sekarang. Banyak banget pemimpin sepanjang akhir abad ke-21 yang naik jabatannya bukan karena ada revolusi, kudeta, atau drama air mata. Mereka terpilih di saat situasi lagi normal-normal aja, bahkan cenderung bland alias biasa banget. Tanpa gembar-gembor, tanpa harus jadi “pahlawan” dadakan.
Kenapa Kita Capek Sama “Pahlawan Hebat”?
Ada pepatah Tiongkok kuno yang bunyinya agak nyelekit menurut saya;
“Great men are a great disaster for public”
Orang-orang hebat adalah bencana besar bagi publik.
Savage, ya?
Tapi, coba deh kita telaah. Kenapa quote se-sinis itu bisa muncul?
Kemungkinan besar, pepatah ini lahir dari pengalaman pahit. Kita sering dengar (atau lihat sendiri) pemimpin yang awalnya dipuja-puja, menang karena “membabat” lawan atau bahkan menunjukkan kekuasaan dengan menginjak-injak orang lain. Ujung-ujungnya? Sosok yang tadinya dianggap juru selamat malah mengkhianati harapan, bahkan jadi problem baru. It’s a tale as old as time.
Celakanya, para “pahlawan” semacam itu, entah dari masa lalu atau di masa sekarang, tak selalu naik lewat jalur kekerasan. Banyak juga yang terpilih melalui jalan kotor dan manipulatif di tengah proses demokrasi yang terkesan “normal.”
Misalnya, mereka mengandalkan politik uang (sering disebut money politics), menyebar hoaks dan fitnah untuk menjatuhkan lawan, hingga memanfaatkan celah hukum demi keuntungan pribadi. Meskipun secara prosedur mereka “sah” terpilih, cara-cara culas ini tetap meninggalkan luka dan keraguan di mata publik, merusak fondasi kepercayaan pada sistem itu sendiri, dan membuat hasil akhir tidak lagi jernih.
Maka dari itu, mungkin kita nggak perlu terlalu baper dan menyesali kenapa nggak ada lagi “Pahlawan Super” yang lahir. Kelahiran sosok besar dalam sejarah itu sejatinya cuma percikan peluang yang acak, nggak bisa diprediksi.
Butuh Stabilitas, Bukan Kejutan
Di zaman yang nggak lagi kasih panggung buat aksi heroik, pemimpin nggak harus jadi “orang hebat” yang larger than life. Justru ”kehebatan” yang sekarang kita butuhin adalah stabilitas.
Kenapa? Karena dengan begitu, seorang pemimpin bisa masuk tanpa fanfare berlebihan dan keluar tanpa meninggalkan kecemasan di belakangnya. Nggak ada tuh drama “siapa yang bisa menggantikan dia?” sebab dia dianggap satu-satunya.
Inilah poin krusialnya. Demokrasi yang keren itu butuh sistem yang established dan nggak gampang goyah. Sistem ini harusnya rendah hati (sadar sejarah) agar nggak gampang bergantung sama satu orang aja.
Kalau ada yang terpilih, ya karena dia sudah memenuhi kriteria yang disepakati bersama. Bukan malah kriteria yang dibikin-bikin agar sesuai dengan si calon. Kalau besok dia diganti orang lain? No big deal, selama yang baru juga lolos kriteria. Kalau nggak begitu? Semua bakal gantung di ketidakpastian.
Masa Depan Ada di Pemimpin Normal
Sebelum lanjut, saya bahas dulu apa yang saya maksud dengan “pemimpin normal” di sini.
Pemimpin Normal adalah sosok pemimpin yang muncul sebagai produk dari sistem dan proses yang stabil, terstruktur, dan disepakati bersama, bukan sebagai individu ‘penyelamat’ yang lahir dari krisis atau kekacauan sejarah.
Mereka adalah antitesis dari “Orang Hebat” atau “Pahlawan” yang karismatik, yang sering kali malah membawa drama, ketidakpastian, dan potensi bahaya.
Seorang Pemimpin Normal dalam konteks ini memiliki beberapa karakteristik, antara lain:
- Muncul lewat Rutinitas. Proses terpilihnya (pemilu) bersifat rutin, terprediksi, dan berjalan di tengah situasi yang normal (bukan melalui revolusi, kudeta, atau gejolak). Sementara, pahlawan muncul dari gejolak atau bencana.
- Mengandalkan Sistem. Kekuatannya berasal dari pemenuhan kriteria dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh sistem demokrasi, bukan dari kekuatan atau karisma personalnya. Di sisi lain, pahlawan sering kali lebih besar dari sistem dan cenderung membentuk aturan baru agar sesuai dengan dirinya.
- Menjamin Stabilitas. Tujuannya adalah menjaga stabilitas dan keberlanjutan sistem, memastikan pergantian kekuasaan berjalan mulus, dan mengurangi ketergantungan publik pada satu individu. Sedangkan, pahlawan sering kali membawa perubahan drastis yang meskipun baik di awal, dapat menimbulkan kekosongan dan kecemasan saat ia pergi.
- Bisa Digantikan. Mereka tidak meninggalkan kecemasan saat lengser karena sistem menjamin siapa pun yang memenuhi kriteria dapat menggantikannya tanpa drama. Sebaliknya, pahlawan sering dianggap tak tergantikan, membuat publik cemas tentang suksesi.
Jadi, kayaknya ke depan, pemimpin-pemimpin hebat akan muncul cuma lewat proses seleksi yang rutin. Karenany, kita butuh mekanisme yang terstruktur, rutin, dan no-darah-darah.
Dengan kata lain, kita cuma butuh seorang pemimpin, dan dia tidak harus selalu seorang pahlawan.
Sebab, jujur aja, orang hebat sekelas pahlawan itu nggak lahir setiap tahun, kan? Mending fokus bikin sistem yang kuat daripada nunggu keajaiban!