Beberapa tahun lalu, seseorang berkebangsaan Australia tinggal di homestay yang saya kelola. Pada pagi di tanggal tujuh belas Agustus, ia dengan tulus mengucapkan selamat hari kemerdekaan pada saya. Entah kenapa ucapannya terasa aneh, namun saya tetap berterima kasih.
Saya lantas berpikir, rasanya memang belum pernah ada orang sebangsa yang menyelamati saya seperti itu, demikian juga saya, tak pernah memberi ucapan selamat kemerdekaan pada teman-teman secara langsung. Ucapan begitu biasanya hanya tertera di spanduk, baliho, dan media tulis umum lainnya.
Saya bahkan belum pernah menemukan kartu ucapan selamat hari kemerdekaan dijual di toko-toko buku. Kalau memang hari kemerdekaan punya makna, harusnya kartunya gak kalah dengan kartu Valentine atau tahun baru. Di sini, media sosial mungkin lebih peduli karena menyediakan fitur ucapan selamat hari kemerdekaan, meski saya prejudis bahwa kepedulian itu semata-mata buat menarik lebih banyak pengguna.
Tapi kalau ada yang tanya saya apa makna hari kemerdekaan, dengan jiwa nasionalis saya akan menjawab bahwa hari kemerdekaan adalah hari dimana kita mengenang jasa-jasa para pahlawan bangsa yang telah gugur di medan perang demi membela bangsa dan negara kita.
Tapi, duh… rasanya superficial banget! Sebab saya gak tau rasanya berjuang dan gak kenal satupun para pahlawan bangsa kita selain dari buku sejarah. Nostalgia saya tentang hari kemerdekaan tidak lepas dari serangkaian kerja bakti pada beberapa hari Minggu. Dan itu artinya tidak bisa bangun terlalu siang dan hanya bisa istirahat sesudah azan Dzuhur (bayangin, hari Minggu lho!)
Ingatan tentang hari kemerdekaan juga hanya mengenai serangkaian pertandingan olahraga pada beberapa sore, dimana para bapak bertanding dan para ibu menyiapkan konsumsi, atau dimana para ibu bertanding dan ibu-ibu lain menyiapkan konsumsi.
Pada tanggal 17 pagi, nasionalisme dan penghargaan pada para pejuang ditunjukkan lewat upacara bendera formal selama sejam, lalu serangkaian perlombaan khas rutin (yang sekarang ini kalau harus mengikutinya rasanya kok terlalu konyol untuk orang seumuran saya*1) seperi panjat pinang, makan kerupuk, lomba kelereng sampai sepak bola pakai rok atau kebaya (yang terakhir menurut saya sama sekali gak lucu sebab diskriminatif)
Kemudian, sejumlah kerja bakti dan sejumlah pertandingan itu ditutup dengan sejumlah pidato mulai dari pak RT sampai pak Camat, sejumlah nyanyi-tari anak-anak, pembagian hadiah*2 dan acara potong tumpeng.
Lantas kapan mengenang jasa-jasa pahlawannya? Mungkin hanya pada waktu mengheningkan cipta dalam upacara bendera — yang durasinya sekitar 30 detik saja. Gak tau deh!
Tapi ngomongin tentang upacara bendera, saya punya kenangan khusus waktu SMP. Cowok yang saya taksir adalah salah satu anggota paskibra. Waktu itu kalau bisa jadi anggota paskibra rasaya keren sekali. Dan saya bisa puas ngelitain dia kalau lagi latihan di sekolah,*3 hehe…. 🙂
Sayangnya dia nggak naksir saya – bahkan nggak tau kalau saya eksis! (sigh!)
———
*1 >> Itu artinya adalah mereka yang punya nostalgia ketika mendengar lagu-lagunya Queen, Toto, Tommy Page, Kla Project atau Denny Malik!
*2 >> Saya paling suka yg ini, sebab saya pernah dapat hadiah yaitu buku tulis. Saya masih ingat buku tulisnya cap kera duduk bersampul ungu tua dengan label nama yang harus ditempelkan sendiri. Juara 1 dapat tiga buku, juara 2 dapat dua buku, juara 3 dapat 1 buku. Saya sudah merasa bangga banget meskpun cuma dapat satu buku.
*3 >> Ah, gebetan SMP. Where are you now?