Salah satu hal pertama yang ditanyakan ke saya ketika ada yang tahu saya seorang penulis adalah, “Oh, kamu menulis fiksi atau nonfiksi?” Pertanyaan ini agak membingungkan buat saya sebab saya nggak mengerti kenapa saya harus memilih salah satu kategori. Maksud saya, tidak bisakah penulis menulis fiksi dan nonfiksi?

Sepertinya sebagai penulis, saya nggak bakal kekurangan saran dan nasihat soal memilih antara fiksi dan nonfiksi. Saya selalu disarankan untuk memilih salah satu genre dan terus menggunakannya, jika tidak maka risikonya akan mengganggu pembaca kita, dan berpotensi kehilangan mereka.

Baca juga: Beda Fiksi dan Nonfiksi

Saya juga diberitahu bahwa jika saya menulis dalam genre berbeda, saya harus menggunakan nama pena agar tidak membingungkan pembaca. Padahal menurut saya, membangun dan memelihara dua platform menulis itu menghabiskan banyak waktu. Saya juga diberitahu bahwa sebagian besar penulis nonfiksi tidak bisa menulis fiksi yang bagus – dan sebaliknya.

Saya bilang sih, itu omong kosong.

Serius deh. Emang ada yang berani menanyai Stephen King, salah satu penulis fiksi paling produktif hingga saat ini, kenapa dia menerbitkan buku nonfiksi berjudul On Writing? Siapa juga yang berani menyalahkan Pramoedya Ananta Toer ketika beliau menulis puluhan nonfiksi di sela-sela tulisan fiksinya yang mendunia?

Barangkali saya naif, tapi saya kira kita justru meremehkan pembaca  ketika berpikir mereka tidak bisa memilah kontribusi kita pada genre yang berbeda. Belakangan ini, kebanyakan orang memiliki selera bervariasi akan apa yang mereka baca dan tonton di layar lebar atau ponsel. Saya punya teman yang kecanduan Game of Thrones tetapi juga excited saat nonton Frozen-nya Disney.

Baca juga Penulis Cuma Harus Tahu Cara Menulis, Masa Sih?

Jadi, apa iya seseorang nggak boleh baca buku-buku terbaru Andrea Hirata jika biasanya mereka suka membaca buku-buku pengembangan diri atau motivasi bisnis? Saya pribadi membaca fiksi dan nonfiksi, jadi kenapa saya tidak menulis keduanya juga?

Saya telah menulis dengan serius selama enam tahun. Sepanjang waktu itu saya sudah menerbitkan belasan buku nonfiksi (kebanyakan tentang self improvement, motivasi, parenting, dan bisnis), kumpulan cerita pendek, tujuh novel pada platform webnovel Cabaca.id dan Storial.id, dan beberapa lusin artikel di blog saya, mulai dari esai pribadi, pemikiran, kiat-kiat menulis, hingga cerita-cerita pendek.

Saya menyadari bahwa apa yang dipelajari seseorang dari menulis pada satu area dapat memperkuat keterampilan di semua bidang. Berikut adalah enam hal yang saya pelajari dari menulis fiksi dan nonfiksi.

Menulis Nonfiksi Mengajari Saya Nilai Struktur Sederhana

Penulis perlu menyusun materi dengan cara yang logis, dengan cara yang memudahkan pembaca untuk mengikuti alur penulisan.

Dalam penulisan nonfiksi, ini bisa semudah mengikuti langkah-langkah resep masakan. Lakukan ini dulu, lalu lakukan itu, dan seterusnya. Ada urutan, urutan kejadian, perpindahan dari titik A ke titik B.

Ketika pertama kali menulis cerita pendek, saya menyadari ide struktur sederhana yang sama dapat diterapkan pada fiksi. Bagaimanapun, kita sedang menceritakan sebuah kisah, dan banyak hal terjadi dalam urutan tertentu. Contohnya:

Dulu ada seorang perempuan tua. Setiap hari dia __________. Namun, suatu hari __________ terjadi. Karena itu dia __________, maka dia ____________. Kemudian, dia ___________. Sampai, akhirnya, suatu hari dia ___________, dan sejak saat itu dia _____________.

Menulis nonfiksi mengajari saya bahwa struktur tidak harus rumit, dan itu adalah pelajaran yang sekarang saya terapkan pada penulisan fiksi saya juga.

Baca juga Menemukan Inspirasi dalam Menulis

Menulis Nonfiksi Mengajari Saya Menggunakan Bahasa yang Sederhana

Penulis menyukai kata-kata. Kata adalah alat dan cara penulis menyampaikan gagasan. Namun, kadang-kadang, kita terlalu terpikat dengan kata-kata itu sendiri dan membiarkannya menghalangi informasi yang ingin kita sajikan.

Menulis nonfiksi mengajari saya untuk ringkas dan to the point dengan kata-kata . Saya tidak ingin pembaca saya berhenti dan bertanya-tanya apa yang saya maksud ketika saya menggambarkan tentang Revolusi Industri 4.0; Saya ingin mereka dapat memahami Revolusi Industri 4.0, tanpa harus membuka kamus.

Efisiensi dan keterusterangan ekspresi ini juga membantu saya dalam penulisan fiksi . Lagipula, karya-karya fiksi saya mengandung tema dan ide yang saya ingin pembaca mengerti dengan mudah sehingga mereka tidak berhenti dan kehilangan minat pada cerita.

Tentu saja, saya tidak mengatakan agar kita main-main saja dalam menulis, tetapi jika kita mengetengahkan hal-hal yang terlalu tumpul atau klise, kita  berisiko kehilangan pembaca sebab mereka bingung atau frustrasi saat membaca tulisan kita.

Menulis Fiksi Mengajari Saya Cara “Terhubung” dengan Pembaca

Jika penulis tidak mampu menarik perhatian pembaca fiksi pada bab satu, maka dia akan kehilangan mereka. Dan, mengingat kenyataan bahwa sebagian besar platform digital menawarkan satu atau dua bab sampel gratis kepada pembaca potensial, maka – jika kita tidak memiliki “pengait” yang menarik – kita tidak akan punya pembaca. Apalagi, mereka selalu punya pilihan karya lain untuk mereka baca. Kita harus memberi pembaca  alasan agar bersedia menginvestasikan waktu dan uangnya dalam cerita kita.

Baca juga 5 Cara Penulis Berinteraksi dengan Pembaca

Konsep “mengaitkan” pembaca biasanya muncul dalam genre fiksi, hanya saja saya yakin itu juga berlaku pada nonfiksi. Saya ingin awal buku nonfiksi, saya bisa menarik perhatian pembaca, memberi tahu mereka apa yang bisa mereka harapkan dari buku saya, apa untungnya bagi mereka, dan mengapa mereka harus peduli.

Saat ini, dengan semua persaingan untuk menarik perhatian pembaca, penulis tidak memiliki hak istimewa untuk membuat pembaca bertahan hanya karena kita pikir kita telah menulis karya sastra Indonesia terbaik. Itu tidak cukup. Kita harus “terhubung” dengan pembaca, terlepas dari genre apa yang digunakan.

Menulis Fiksi Membebaskan Imajinasi Saya

Salah satu pelajaran terbaik yang saya pelajari melalui menulis fiksi adalah terus-menerus mengajukan pertanyaan, “Bagaimana kalau?” Ini adalah pertanyaan lezat yang dapat menuntun kita menyusuri jalan penemuan karakter novel kita. Saya sering menanyakan pertanyaan tersebut pada diri sendiri ketika merasa mandek atau ketika karakter saya menjadi terlalu mudah ditebak.

Bisakah pertanyaan “bagaimana jika” membantu penulis nonfiksi? Tentu saja! Saya percaya bahwa setiap kali seorang penulis merasa tulisannya kurang ‘berisi’, dia bisa bertanya pada diri sendiri “bagaimana kalau?” untuk memunculkan inspirasi baru dan membuat tulisan mengalir lagi.

Pikirkan “bagaimana kalau?” sebagai vaksin kita terhadap penulisan yang kaku dan writer’s block yang selalu jadi monster bagi setiap penulis, tidak peduli apa pun genrenya.

Menulis Fiksi dan Nonfiksi Memperluas Audiens di Media Sosial

Menulis fiksi dan nonfiksi bisa melipatgandakan peluang bagi penulis untuk mendapat pengikut di media sosial. Penulis yang berbagi karya dalam genre fiksi, bisa juga berbagi artikel serta tips yang berkaitan dengan subjek nonfiksi .

Dengan pembaca dan pengikut media sosial, saya berbagi  kutipan yang berkaitan dengan semangat membaca dan menulis, serta fakta-fakta menarik tentang penulisan, atau buku-buku yang mempengaruhi cara berpikir saya. Saya juga memberikan beberapa tips menulis dan pengalaman selama menjalani profesi penulis. Banyak orang yang benar-benar ingin tahu tentang proses penulisan, jadi jangan lupa untuk memberi mereka gambaran tentang dunia literasi kita!

Menulis Fiksi dan Nonfiksi Memperluas Kemampuan Saya untuk Terhubung dan Belajar dari Penulis Lain

Penulis adalah penulis. Penulis non-fiksi dan fiksi memilih dan menggunakan kata-kata yang sama. Seperti halnya musisi klasik dan musisi rock, mereka bekerja dengan serangkaian nada yang sama – walaupun hasilnya sangat berbeda!

Hanya karena saya tidak menulis romansa atau erotika bukan berarti saya tidak boleh belajar dari penulis-penulis dalam genre-genre tersebut. Contohnya, EL James mengajari kita beberapa hal tentang bisnis penulisan ketika dia merilis novel 50 Shades of Grey. Di sisi lain, Hugh Howey terus mengguncang dunia penerbitan karena menolak untuk dimasukkan ke dalam genre atau model penerbitan apa pun.

Saya suka komunitas penulis yang saya ikuti secara online. Kami adalah orang-orang yang kebetulan menulis dalam setiap genre dan sub-genre yang ada, tetapi kami memahami nilai-nilai keterhubungan, saling mempromosikan karya, dan saling berbagi pengetahuan. Koneksi-koneksi dari dunia nonfiksi dan fiksi ini sangat berharga dan layak untuk dipelihara.

Menulis nonfiksi meningkatkan peluang saya untuk berbagi informasi mengenai topik-topik tertentu, sementara menulis fiksi menjaga imajinasi saya tetap menyala dan siap akan  peluang serta cara-cara baru. Kombinasi yang bagus, bukan?

Nah, apakah kamu lebih suka menulis fiksi, nonfiksi atau keduanya?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.