“Live your life for you not for anyone else. Don’t let the fear of being judged, rejected or disliked stop you from being yourself” ~Sonya Parker
Hanya dua suku kata. Satu kata pendek. Akan tetapi ada banyak yang memilih mengonsumsi dosis baper harian daripada mengucapkan kata itu. Bahkan buat orang yang bisa pun, kata TIDAK ini enggak selalu mudah keluar dari mulutnya.
Budaya kita mengajari ratusan alasan untuk menghindari kata yang satu ini. Selalu ada cara lain daripada menatap mata seseorang dan mengatakan ‘tidak.” Seorang kawan menyebutnya “no-o-phobia” alias ketakutan bahwa mengucapkan dua suku kata itu bakal menuai teror penderitanya selama berabad-abad kemudian. [Lebay, ya? Memang, tapi paham kan maksudnya?]
Baru-baru ini, saya mengajak seseorang untuk bekerja sama Alasannya dia cerdas, disiplin dan kapabel (juga ganteng, hehe.. ) untuk gabung dalam sebuah proyek. Saya ajak dia membahas materi pekerjaan, job desc dan lain-lainnya. Kelihatannya dia tertarik dan bilang akan memikirkan tawaran saya. Namun, setelah dua minggu dia enggak merespon, jadi saya mengajaknya lagi. Kali ini lewat media chatting. Lagi-lagi, tidak ada respons. Ketiga kali saya coba sekali lagi lewat email, dan tak pernah ada balasan sampai sekarang.
Kagum saya padanya jadi luntur seperti warna kain printing murahan. Dengan geram saya curhat sama sahabat saya. “Kenapa sih? Kenapa sih dia nggak kasih jawaban” teriak saya marah sambil bersimpuh, menghadapkan dada ke langit seraya menantang matahari (halah).
Sahabat saya dengan enteng menjawab, ‘Nggak usah lebay deh. Jawabannya sudah jelas kok, it’s a passive no. Bukannya kamu juga begitu dulu?”
Saya tertegun. Benar bahwa saya orangnya asertif, artinya saya berani mengatakan pendapat saya tanpa menyakiti orang lain. Dan saya lupa bahwa saya sampai di titik itu lewat proses panjang.
Mentor saya pernah bilang “Semua tergantung bungkusnya. Isi bisa sama, tapi mau dibungkus kertas kado, daun pisang atau robekan koran, itu yang membedakan.”
Omongan mentor saya ini memang kena banget, terutama dalam mengungkapan opini saya, dan sudah saya praktekan bertahun-tahun hingga menjadi kebiasaan. Tapi kemudian, I take it for granted, dan menganggap semua orang seharusnya bisa mengatakan “tidak” tanpa beban. Nyatanya hal ini sangat tidak mudah bagi banyak orang. Saya hampir selalu menemui orang yang menghindari konflik dengan diam, ketimbang menjelaskan duduk persoalan. Okay, diam itu emas dan orang lain tidak mungkin bisa menerjemahkan diam tersebut dengan tepat, tapi saya kira jauh lebih baik kalau bisa membicarakan hal-hal krusial dan menyelesaikannya dengan cepat. Dengan begitu, kita bisa move on segera.
Lantas, bagaimana cara berhenti bilang “ya” sementara sebenarnya kita ingin bilang “tidak”?
Dulu saya ini payah banget. Kadang ingin sekali bilang tidak tapi yang keluar dari mulut malah kata ya.
Kenapa sih sulit sekali mengucapkannya?
Setelah terjebak bertahun-tahun dengan situasi begini, saya lantas bertanya-tanya jangan-jangan saya memang hanya ingin menghindari konflik, atau berusaha menyenangkan orang lain, hingga sampai ke level stress dan tersiksa lahir bathin.
Saya lantas sadar bahwa saya takut bilang tidak karena kekhawatiran terbesar saya adalah penolakan. Saya takut setiap kali saya bilang tidak, saya akan membuat seseorang kecewa, marah, menyakiti perasaannya atau terkesan sebagai pribadi yang jahat atau kasar. Puncaknya, saya paling takut orang lain berpikir negatif tentang saya, lalu membicarakan di belakang. Pikiran bahwa mereka akan memandang rendah saya, itulah yang mengacaukan dan menjadi alasan kenapa sulit sekali bilang tidak.
Saya menyadari bahwa saya enggak sendirian, ada jutaan orang mengalaminya setiap hari. Saya juga belajar bahwa perasaan harus bilang ya ini juga terbangun oleh kurangnya percaya diri dan self-value.
Saya terjebak dengan keyakinan bahwa bilang tidak itu berarti saya jahat, kasar, egois atau menyebalkan. Keyakinan tak berguna ini membuat saya semakin sulit mengatakan tidak. Lalu, dari mana awalnya sehingga saya punya keyakinan begini? Waktu kecil, saya diajari bahwa menolak permintaan orang lain itu adalah sikap yang buruk dan tidak sopan. Kalau kamu bilang tidak ke ibu, ayah, kakek, guru, paman, bibi, tetangga… kamu pasti dianggap anak kurang ajar dan akan didudukkan lalu dinasehati berjam-jam untuk tidak melakukannya.
Padahal ada banyak cara untuk mengatakan tidak dengan sopan dan menyenangkan. Sayangnya saya enggak pernah diajari.
Setelah dewasa dan mampu membuat keputusan sendiri, ditambah dengan pengetahuan tentang perbedaan antara yang benar dan yang salah, kata tidak buat saya bukan lagi sesuatu yang membatasi, melainkan sesuatu yang saya putuskan sendiri, berdasarkan penilaian pribadi.
Berhenti meyakini apa yang pernah ditanamkan pada saya semasa kecil membuat saya tidak lagi menanggap penolakan sebagai sesuatu yang bersifat buruk, tidak akan disukai, egois, dan jahat. Saya berhenti khawatir dipermalukan, merasa bersalah, merasa punya aib, atau takut diasingkan dalam kehidupan sosial.
Cara lain yang membuat saya kemudian lebih berani menolak sesuatu jika tak menyukainya adalah dengan menghormati pendapat sendiri. Saya belajar untuk tidak melakukan sesuatu karena orang lain senang atau tidak senang, sebab itu tidak membuat saya bahagia. Lagipula dengan menunggu orang lain menyetujui tindakan kita, sama saja artinya dengan bilang, “Pendapat mereka lebih penting dari pendapat saya”
Saya ingat pernah ada di situasi dimana saya bilang ya dan kemudian merasa gak nyaman lalu akhirnya harus berbohong agar bisa keluar dari situasi itu, lantas saya merasa lebih nyesal lagi karena sudah berbohong.
Atasan saya pernah minta apa saya bisa kerja haru Sabtu, dan seperti biasa, karena enggak enak saya dengan cepat bilang dengan sopan ‘Oh, tentu. Gak masalah.’ Padahal sebenarnya saya sudah ada rencana hari itu. Kemudian saya merasa kesal sekali karena telanjur bilang ya. Berkali-kali saya mengeluh “Coba tadi saya berani bilang enggak dari awal.”
Membayangkan bahwa kerja di hari Sabtu bakal bikin saya emosi, saya lalu menelpon atasan dan bilang bahwa saya lupa kalau hari itu adalah ultah ibu saya dan sudah ada rencana keluarga (iya, memang alasan yang benar-benar gak masuk akal). Setelah berbohong, kemudian selama berhari-hari saya dihantui rasa bersalah. Duh!
Melihat ke belakang, saya sadar bahwa benar-benar nggak ada gunanya bilang ya jika kita sebenarnya enggak mau. Saya punya hak bilang tidak dan enggak harus khawatir orang lain jadi nggak suka lantas ogah berteman lagi. (Kalau dipikir-pikir, jika dia nggak mau berteman lagi sebenarnya malah enak, to? Mengurangi teman-teman yang nggak berguna. Sebab men-delete teman dari kehidupan nyata itu nggak semudah memblokir facebook atau whatsapp-nya bukan?)
Sekarang saya suka pakai cara-cara ini buat bilang tidak:
- Bilang langsung. “Nggak, saya enggak bisa” atau “Nggak, saya enggak mau” (tapi jangan pakai nada sengak, ya)
- Nggak usah pakai maaf – wong kamu nggak salah apa-apa kok
- Jangan bohong. Kebohongan bakal memicu rasa bersalah, dan ingat perasaan inilah yang sedang berusaha kamu hindari
- Bersikap sopan misalnya dengan bilang “Thanks for asking.”
Berlatih bilang enggak. Bayangkan beberapa skenario di mana kamu harus menolak hal-hal yang membuatmu nggak nyaman. Berlatih kayak gini akan membuat perasaanmu lebih nyaman saat situasi sebenarnya terjadi.
Jangan pernah bilang ‘aku pikirin dulu ya” kalau kamu enggak sungguh-sungguh. Selain ini buat orang lain ngearsa di-PHP, kamu juga bakal lebih stress karena ditanyai terus
Hidup itu udah susah. Jangan dibuat lebih susah dengan perasaan terjebak, perasaan bersalah dan baper terus-menerus. Mengatasi rasa takut akan penolakan memang pelu usaha, tapi hasilnya buat kamu merasa lebih bebas mengatur hidupmu.