Wuuiiih, sudah Desember aja!
Saya ingat banget, pada Desember 2017, saya menulis wish-list untuk tahun 2018. Salah satunya adalah menulis novel. Saya janji sama diri sendiri untuk menulis sebuah novel sepanjang tahun 2018. Nyatanya?
Saya menulis EMPAT NOVEL!
Yes, empat novel. Satu novel dongeng berjudul KIRANA yang terbit secara self publish. Satu novel dari genre thriller berjudul PESAN terbit secara digital di platform Cabaca.id dan dua novel lagi di platform Storial.co (dua-duanya belum tamat )
Di luar semua itu, saya bangga bisa menulis empat novel (tepuk-tepuk pundak sendiri, haha … ). Nggak nyangka aja, sebab menulis fiksi termasuk hal baru buat saya.
Beda dengan menulis non-fiksi. Saya sudah menerbitkan sekitar 15 buku non fiksi dalam rentang waktu lima tahun. Sebagian besar masih terpajang di rak toko-toko buku di Indonesia, dan beberapa masuk kategori best seller dalam genre-nya. Penulisan non fiksi masih terus berjalan sampai hari ini, terutama karena setiap kali saya ‘dicolek’ penerbit buat meluncurkan non fiksi berikutnya.
Meski begitu, nggak tau kenapa, menulis novel cukup menakutkan buat saya. Iya, nggak pede. Padahal saya sudah ikut banyak kelas menulis novel, berguru pada beberapa novelis senior, dan hampir nggak pernah kehabisan ide cerita. Barangkali ini juga yang membuat semesta lama-lama jengkel, dan kemudian memecut saya buat mencapai impian menerbitkan novel.
Pecutan pertama datang dari kenalan di Twitter, Irvan Kartawiria. Dia seorang dosen yang mengisi waktu luangnya dengan menjadi stand up comedian. Pada saat proses penulisan novel dengannya berjalan, kenalan lain mengajak saya bergabung dengan platform yang diinisiasinya; Cabaca.
Ini saya anggap pecutan kedua. Menulis di platform digital awalnya sama sekali nggak terbayang walau saya sudah sering dengar tentang Wattpad. Tadinya saya kurang tertarik, tapi kenalan saya, Fatima Azzahra, berhasil meyakinkan saya bahwa platform yang dia kelola beda dengan Wattpad, salah satunya adalah sistem kurasi dan royalti.
Saya segera dong mencari tahu tentang keuntungan menulis novel digital, dan lumayan terperanjat sebab AROMA KARSA, novel epic karya ibu suri Dee Lestari juga diawali dengan penerbitan digital. Wah, saya langsung semangat untuk mengiyakan tawaran Fatima. Hanya saja, masih ada satu tantangan. Dia meminta saya menulis di genre thriller, misteri, atau horor, sebab genre itu masih minim penulis, beda dengan genre romance.
Tantangan itu saya terima. Setelah riset lewat bacaan dan film dari genre sama, saya mulai membuat sinopsis dan lantas cerita utuhnya. Novel terbit dalam 15 bab yang tayang setiap minggu. Dalam 5 bulan (karena terpotong libur lebaran) novel PESAN selesai, dan mendapat respons baik, serta rating 4 dari 5 bintang. Not bad buat karya digital pertama
Di tengah-tengah proses penulisan novel PESAN, saya lantas mulai berani menantang diri untuk menulis kisah romance, dan akhirnya tertuang di novel KIANDRA dan THE GHOSTWRITER’S LOVE. Lucunya, saya kemudian tahu menulis kisah petualangan berbumbu thriller ternyata tidak serumit menulis kisah cinta Buktinya novel-novel saya yang bertema cinta menggantung terus tanpa pernah di-update. Maaf ya yang sudah follow. Janji deh, tahun depan pasti selesai.
Gimanapun juga, saya senang banget karena bisa mencentang salah satu point wish list saya tahun lalu. Saya berhasil membuktikan ke diri sendiri bahwa saya bisa menulis novel, dan menerbitkannya. Nggak cuma omdo.
Oya, saya juga kemudian tahu style setiap orang dalam menulis fiksi itu unik. Style saya begini:
Saya Penulis Pantser, Bukan Plotter
Dulu, saya kira saya ini penulis yang memulai tulisannya dengan membuat plot. Setelah plot cerita jadi, baru saya bisa menulis novel utuh. Saya berpikir begitu sebab setiap kali menulis non fiksi, saya patuh pada outline. Ternyata, setelah beberapa novel, saya baru menyadari kalau saya ini seorang Pantser, artinya saya menulis kisah tanpa merasa perlu plot yang rapi. Saya bisa duduk di depan komputer, menulis setiap kali dan mengejutkan diri sendiri dengan kisah yang saya tulis. Sungguh ini hal baru.
Benar, ada sinopsis yang awalnya saya tulis, sekadar mengingatkan ke mana kisah tersebut mau dibawa. Namun, ketika memulai penulisan, saya cukup duduk, berkhayal dan menuangkan kata per kata begitu saja. Saya membiarkan tokoh-tokoh dalam novel menghipnotis jari jemari agar mengikuti kemauan mereka. Barangkali terdengar gila, tapi begitulah yang terjadi dalam penulisan novel KIRANA dan novel PESAN.
Saya Gampang Jatuh Cinta
Saya suka baper, dan jatuh cinta pada tokoh utama dalam novel saya. Entah tokoh utama itu cowok atau cewek, saya merasa punya ikatan batin dengan mereka. Padahal mereka tokoh fiksi, artinya nggak nyata dan nggak ada. Cuma, saya tetap jatuh cinta. Saya memikirkan mereka, bagaimana nasibnya, bagaimana perasaannya, apa yang dia lakukan ketika saya sedang nggak menulis, bahkan saya suka dengar mereka “ngobrol” di dalam tidur. Yes, it sounds crazy once again
Sulitnya, ketika novel hampir tamat, saya selalu merasa kehilangan mereka. Kayak nggak sanggup berpisah dan masih ingin bersama dalam kisahnya. Pada novel pertama yang saya tulis tahun 2015 (dan nggak pernah terbit), saya bahkan perlu berminggu-minggu buat melupakan tokoh Ranu, sebab di akhir cerita, saya membuatnya patah hati. Kayak ada perasaan bersalah meninggalkan dia sendirian dalam keadaan begitu.
Padahal, dalam dunia nyata, saya nggak gitu-gitu amat. Kalau saya mau putus sama pacar, ya putus aja. No looking back. No regret.
Saya Terlalu Pakai Logika
Makanya tadi saya bilang, menulis novel romance jauh lebih rumit dibandingkan menulis novel petualangan atau thriller. Dalam kisah petualangan, adegan per adegan harus logis. Begitu juga dalam kisah thriller, setiap bab harus make sense. Kalau nggak ceritanya bisa kacau. Dalam genre semacam itu, nggak perlu pembahasan mendalam soal perasaan cinta yang rumit. Barangkali dasarnya saya nggak romantis, jadi membayangkan perasaan seperti apa yang berkecamuk dalam diri dua orang yang sedang jatuh cinta itu sulit buat saya.
Oh, tapi saya nggak menyerah. Saya akan coba teruskan kisah cinta dalam dua novel saya di Storial.co – meski kemudian tetap memasukkan unsur misteri dan sedikit thriller sebagai kompromi.
Writing a novel is like driving a car at night. You can only see as far as your headlights, but you can make the whole trip that way. ~ E.L. Doctorow
Dan, saya akan terus belajar menulis fiksi. Saat ini sih, saya semangat terus menulis genre yang saya mahir terlebih dulu. Apalagi, setelah V. Lestari, rasanya belum ada penulis novel yang tekun dalam genre sejenis. Wish list saya buat tahun 2019 adalah menulis dan menerbitkan dua novel yang lantas menjadi best seller. Diawali dengan novel KEMATIAN SUNYI yang sedang saya selesaikan tiga bab awalnya.
Wish me luck ya