Dulu, saya kira menulis novel dan skenario film itu sama saja. Toh dua-duanya sama-sama fiksi, sama-sama bercerita, sama-sama butuh imajinasi, dan sama-sama mengandalkan karakter, konflik, dan plot. Namun begitu saya benar-benar masuk ke prosesnya, ternyata menulis novel dan skenario film adalah dua dunia yang berbeda.
Perbedaan paling kuat adalah dari pendekatan, gaya penulisan, hingga tujuannya.
Novel mengandalkan kekuatan kata untuk membawa pembaca masuk ke dunia batin tokoh. Sementara skenario film mengandalkan instruksi visual dan audio yang akan diterjemahkan oleh tim produksi menjadi tontonan.
Dalam tulisan kali ini, kita akan membahas perbedaan utama novel dan skenario, dilengkapi contoh perbandingan adegan, serta tips praktis bagi penulis novel yang ingin mencoba menulis skenario.
Novel: Ruang Imajinasi yang Tak Terbatas
Novel adalah bentuk penulisan fiksi yang paling “merdeka”. Penulis novel bisa masuk ke dalam pikiran tokoh, menulis detail sekecil apa pun, bahkan menyinggung hal-hal yang sebenarnya tidak muncul dalam tindakan nyata tokoh.
Misalnya, kalau tokoh sedang duduk di kafe, penulis novel bisa menuliskan aroma kopi, perasaan gugup yang dirasakan tokoh, atau bahkan kenangan masa lalu yang tiba-tiba terlintas. Semua itu tidak membutuhkan pertimbangan visual atau teknis.
Karakteristik novel:
-
- Bebas bercerita. Kamu bisa menulis kalimat panjang, penuh deskripsi, bahkan filosofis.
- Bahasa sebagai kekuatan utama. Gaya bahasa, metafora, dan narasi internal sangat berpengaruh.
- Panjang cerita fleksibel. Bisa tipis, bisa tebal, bahkan sampai ratusan halaman.
- Sumber imajinasi. Tugas utama penulis adalah membuat pembaca melihat cerita lewat kata-kata.
Dengan kata lain, novel adalah dunia di mana kata-kata adalah segalanya.
Skenario Film: Cetak Biru untuk Visual
Berbeda dengan novel, skenario film bukanlah karya jadi untuk dinikmati langsung oleh audiens awam. Skenario adalah blueprint alias cetak biru, panduan untuk sutradara, produser, aktor, dan kru film lainnya.
Di skenario, penulis tidak bisa menuliskan se cara panjang lebar isi hati tokoh secara detail. Kalau tokoh sedih, maka penulis skenario harus menunjukkannya lewat aksi atau dialog, bukan lewat narasi panjang.
Misalnya begini. Di novel, kita bisa menulis seperti ini:
“Rio merasa sepi, seolah seluruh dunia meninggalkannya. Ingatannya kembali pada malam ketika ayahnya pergi tanpa pamit.”
Namun, di skenario kita harus menulis seperti ini:
INT. KAMAR RIO – MALAM
Rio duduk di tepi ranjang. Tangannya menggenggam ujung selimut. Ia menatap foto ayahnya di meja, lalu menarik napas panjang.
Karakteristik skenario film:
-
- Ringkas dan to the point. Tidak ada ruang untuk narasi panjang.
- Berbasis visual dan audio. Yang ditulis hanyalah yang bisa dilihat dan didengar penonton.
- Format baku. Ada aturan format (INT/EXT, aksi, dialog, transisi – kapan-kapan saya tulis tentang ini).
- Tujuan produksi. Skenario adalah dokumen kerja untuk diadaptasi jadi film.
Sekali lagi, novel bisa menguraikan isi hati tokoh dengan panjang lebar. Kamu bisa tahu kenangan, trauma, atau pikiran liar karakter hanya lewat paragraf deskriptif. Sementara skenario tidak bisa menuliskan isi kepala tokoh secara gamblang. Semua harus diwujudkan dalam bentuk aksi, dialog, atau detail visual.
Singkatnya, novel bercerita lewat kata, skenario bercerita lewat apa yang bisa dilihat dan didengar penonton.
Kedalaman Batin vs Efisiensi Aksi
Novel memberi ruang untuk masuk ke batin tokoh secara intim. Kita bisa membaca monolog batin, keraguan, bahkan rasa sakit hati yang sulit ditunjukkan. Sebaliknya, skenario menuntut efisiensi. Tidak ada ruang untuk kalimat panjang berlapis metafora. Setiap baris harus bisa “terlihat” di layar. Itulah mengapa novel sering terasa lebih reflektif, sementara skenario lebih ringkas dan padat.
Struktur Cerita
Novel relatif bebas dalam strukturnya. Penulis bisa lompat-lompat waktu, memperpanjang prolog, atau memasukkan banyak subplot. Sementara skenario biasanya mengikuti struktur 3 babak (awal, tengah, akhir) dengan durasi tertentu.
Ada aturan praktis, yaitu 1 halaman skenario setara ±1 menit film, jadi jika kamu menulis 120 halaman, filmnya akan berdurasi 2 jam.
Kebebasan vs Keterbatasan
Perbedaan mencolok lainnya ada pada ruang gerak penulis.
Novel memberikan kebebasan hampir tanpa batas. Mau latar cerita di galaksi lain? Mau karakter punya monolog sepanjang tiga halaman? Sah-sah saja. Selama pembaca bisa menikmatinya, novel bisa menjelajah ke mana saja.
Skenario film justru menuntut efisiensi. Durasi film biasanya 90–120 menit, artinya satu halaman skenario kurang lebih setara dengan satu menit film. Kalau kamu menulis 150 halaman, berarti filmnya harus tiga jam lebih. Selain itu, keterbatasan produksi (budget, lokasi, aktor) juga bisa memengaruhi cerita.
Dengan kata lain, novel adalah dunia “tak terbatas”, sementara skenario adalah seni menciptakan cerita dalam keterbatasan.
Peran Pembaca vs Penonton
Ketika menulis novel, audiens utamanya adalah pembaca. Pembaca rela duduk berjam-jam menikmati halaman demi halaman. Mereka punya ruang untuk membayangkan sendiri seperti apa wajah tokoh, bagaimana suasana, bahkan bagaimana intonasi percakapan.
Sedangkan dalam skenario film, audiens akhirnya adalah penonton. Penonton tidak membaca skenario, mereka menonton hasilnya di layar. Artinya, penulis skenario harus mampu membayangkan bagaimana tulisannya akan diterjemahkan menjadi gambar bergerak, suara, musik, dan akting.
Novel menantang imajinasi pembaca. Skenario menantang imajinasi tim produksi.
Proses Kreatif yang Berbeda
Menulis novel biasanya proses yang sangat personal. Penulis bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun, menulis ulang berkali-kali, dan akhirnya menghasilkan karya yang sesuai dengan visi pribadinya.
Menulis skenario lebih kolaboratif. Penulis harus siap berdiskusi dengan sutradara, produser, bahkan aktor. Kadang-kadang adegan diubah demi alasan teknis atau dramaturgi. Jadi, penulis skenario harus terbuka terhadap kompromi.
Kalau novel adalah “suara hati penulis”, maka skenario adalah “suara tim”.
Hasil Akhir: Buku vs Film
Perbedaan yang jelas adalah bentuk hasil akhirnya.
- Novel: hasil akhirnya adalah buku yang bisa dibaca berkali-kali, dengan gaya bahasa penulis sebagai identitas.
- Skenario film: hasil akhirnya adalah film. Skenario sendiri jarang dibaca publik (hanya oleh kalangan tertentu), tetapi menjadi dasar untuk karya audio-visual yang ditonton jutaan orang.
Itulah sebabnya banyak novel yang kemudian diadaptasi menjadi film, tapi proses adaptasi itu sering membuat pembaca berkata, “Ah, versi bukunya lebih lengkap.” Wajar saja, karena novel punya keleluasaan yang tak bisa diterjemahkan semuanya ke dalam bahasa film.
Contoh Perbandingan Adegan: Novel vs Skenario Film
- Situasi: Seorang remaja bernama Dira baru saja gagal dalam ujian penting. Ia pulang ke rumah dengan perasaan hancur.
Versi Novel
Dira melempar tasnya ke sofa. Kepalanya penuh dengan suara-suara ejekan dari teman-teman sekelas yang terasa nyata. Matanya panas, air mata mengalir deras meski ia mencoba menahannya. Ia teringat janji ayahnya seminggu lalu, “Ayah percaya kamu bisa, Nak.” Kata-kata itu kini berubah menjadi beban yang menghantam dadanya. Dunia seakan runtuh, dan Dira merasa dirinya tidak berharga.
Versi Skenario Film
INT. RUANG TAMU – SORE
Dira masuk, wajahnya pucat. Ia melempar tas ke sofa.
Air mata jatuh di pipinya.
Tangannya meremas kertas ujian dengan nilai merah mencolok.
CLOSE UP – Foto ayah di meja.
Dira menatap foto itu lama, lalu menunduk.
Perbedaan yang terlihat:
- Novel bisa langsung menuliskan perasaan Dira secara mendetail, bahkan suara-suara dalam kepalanya.
- Skenario hanya menunjukkan aksi yang bisa dilihat atau didengar oleh penonton (tas dilempar, air mata, kertas ujian, foto ayah). Perasaan tokoh harus ditunjukkan lewat ekspresi dan tindakan.
2. Situasi: Seorang mahasiswa kos, Rani, sendirian di kamar tengah malam. Ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya.
Versi Novel
Rani memejamkan mata, berusaha fokus pada layar laptop di depannya. Tapi bulu kuduknya berdiri, seolah ada sepasang mata menembus punggungnya. Ia mencoba menepis pikiran itu dengan tertawa kecil, tapi tawa itu terdengar asing bahkan di telinganya sendiri. Angin malam menerobos celah jendela, membuat tirai bergoyang perlahan. Dalam hati, ia tahu: ia tidak sendirian.
Versi Skenario Film
INT. KAMAR KOS RANI – MALAM
Rani mengetik di laptop.
Ia berhenti.
BULU KUDUKNYA BERDIRI.
ANGLE – TIRAI JENDELA bergoyang tertiup angin.
Rani menoleh. Ruangan sunyi.
Rani mencoba tertawa kecil, canggung.
CLOSE UP – Mata Rani.
Ia menatap layar, lalu perlahan menoleh lagi ke arah tirai.
Perbedaan yang terlihat:
- Novel bisa langsung menuliskan perasaan batin (“seolah ada sepasang mata menembus punggungnya”, “tahu ia tidak sendirian”).
- Skenario hanya menuliskan hal-hal yang bisa terlihat atau terdengar: bulu kuduk berdiri, tirai bergoyang, tawa kecil. Perasaan harus diterjemahkan menjadi aksi visual.
Jadi, Mana yang Lebih Susah?
Pertanyaan klasik ini sering muncul. Jawabannya: keduanya sama-sama menantang, tapi dengan cara yang berbeda.
Menulis novel menantang karena harus menjaga konsistensi cerita, karakter, dan bahasa dalam ratusan halaman.
Menulis skenario menantang karena harus meramu cerita yang kuat dalam batasan durasi, format, dan tuntutan visual.
Kalau kamu suka menyelam ke dalam pikiran tokoh dan membiarkan kata-kata mengalir, novel mungkin cocok. Kalau kamu suka berpikir dalam gambar, dialog, dan aksi, skenario bisa jadi pilihan.
Tips Buat Penulis Novel yang Mau Menulis Skenario
- Belajar Melihat, Bukan Menulis. Tanyakan pada diri sendiri, “Bagaimana penonton tahu tokoh merasakan ini?” Berlatih untuk menggunakan ekspresi dan tindakan dalam narasi.
- Pertimbangkan Durasi. Ingat: 1 halaman = 1 menit film.
- Ikuti Format Standar. Gunakan software seperti Final Draft, Celtx, atau WriterDuet.
- Latihan Adaptasi Adegan. Ambil 1 bab novelmu, lalu cobalah ubah jadi adegan skenario.
- Belajar dari Film. Analisis bagaimana visual menyampaikan hal-hal yang di novel butuh paragraf panjang.
- Siap Kolaborasi. Skenario adalah pintu masuk kerja tim. Fleksibilitas sangat penting.
Menulis novel dan menulis skenario film memang sama-sama bercerita, tapi jalannya berbeda. Novel memberi kebebasan penuh mengeksplorasi kata dan batin tokoh. Skenario menuntut ringkas, visual, dan kolaboratif. Novel bekerja dengan kata-kata untuk membangun dunia batin, sementara skenario bekerja dengan gambar dan suara untuk membangun pengalaman visual-audio.
Bagi penulis yang terbiasa menulis novel, mencoba skenario bisa jadi tantangan sekaligus pengalaman menyenangkan. Karena pada akhirnya, cerita yang sama bisa terasa sangat berbeda ketika dibaca di halaman novel atau ditonton di layar lebar.