Byuh! Dua bulan berlalu tanpa menulis apapun di blog. Rasa bersalah terus mencolek-colek sebab sudah berkomitmen buat rutin menulis di sini. Salahkan kesibukan, itu hal termudah yang bisa saya bilang. Cuma, saya juga bisa bilang dengan bangga bahwa sok sibuknya saya menghasilkan karya. Akhir Februari ini, sebuah novel dongeng lahir. Karya kolaborasi antara saya dan Irvan Kartawiria. Judulnya KIRANA.
Banyak yang sudah tahu siapa Irvan. Yaiyalah ya, wong dia terkenal. Di dunia standup comedy, nama Irvan Karta jadi salah satu yang dianggap unik, sebab dia (mungkin satu-satunya) komika yang selalu ngelucu dengan cara-cara ilmiah. Klik aja namanya di Youtube, video-video-nya saat manggung di acara SUCI Kompas TV Season 6 berderet-deret ke bawah. Kamu akan tahu kenapa ada lagu dangdut judulnya Pacar Lima Langkah dari sudut pandang teknis, atau kenapa kerupuk pada bubur ayam nggak ada fungsinya, atau kenapa sebaiknya nggak bawain martabak buat calon mertua saat malam minggu ke rumah pacar. Epic banget alasan-alasan ilmiahnya! 😀
Biarpun jokes-jokes ilmiahnya bikin perut six pack karena terpaksa ngakak, Irvan sebetulnya lebih senang dikenal sebagai scientist, sebab itu pekerjaan utamanya. dosen kimia dan ilmuwan. Nggak jadi komika aja, dia tetap jadi orang terkenal, setidaknya di hadapan para mahasiswa Swiss German University, Serpong. Cuma bukan dari situ saya kenal Irvan.
Lupa kapan tepatnya saya follow Twitter-nya Irvan. Awalnya saya nggak tahu profesinya, dan beneran cuman suka sama twit-twitnya yang ajaib, kalau nggak mau bilang quick-witted. Saya punya akun Twitter sejak 2010, tapi lebih banyak RT daripada ngetwit. Follower saya juga hanya beberapa, sebab buat saya Twitter cuman buat punya-punya aja. Beda dengan Facebook, teman-teman dunia nyata saya ada di sana semua, jadi saya lebih aktif.
Di Twitter, saya hanya follow orang-orang yang tweet-nya saya suka, entah terkenal atau enggak. Ada dua akun yang paling saya suka karena isinya witty dan meaningful, Henry Manampiring dan Irvan Karta. Dan entah kenapa (mungkin karena kagum aja sih), saya pernah menulis di jurnal saya bahwa saya ingin ketemu mereka suatu hari. Kalau nggak bisa dua-duanya, ya salah satu nggak apa-apa … tapi kalau bisa dua-duanya. Maruk, ya 😀
Saya nggak mau bicara terlalu religius soal takdir atau semacamnya, yang jelas tiba-tiba Irvan follow akun saya aja. Surprise banget! Bayangin, saya ada di antara (hanya) 400an orang yang dia follow. Lebih surprise lagi saat saya nge-twit salah satu buku dongeng saya, Irvan nanyain, lantas ngajak kolaborasi. Duh, Gusti! Saya langsung norak berhari-hari saking takjubnya.
Oh, tentu norak saya berbatas. Saya harus tetap jaim, kan … nggak boleh lah keliatan seneng banget di depan orangnya, ntar malah dianya muntah 😀 Singkat cerita, saya nanggapi serius ajakan kolaborasi, dan Irvan ternyata juga bukan asal ngomong. Jadilah kami menulis bareng sebuah novel.
Kenapa memilih novel dongeng, bukan novel genre romance yang lagi happening? Jujur aja, saya bukan penulis novel drama. Buku-buku saya hampir semuanya non fiksi, sebab saya merasa kemampuan terbaik saya di sana. Pernah coba menulis novel, tapi suksesnya nihil. Tahun 2015, saya pernah kolaborasi menulis novel petualangan, dan sukses. Kisahnya bagus, karakternya kuat, dan saya bisa selesaikan dalam dua bulan. Sayangnya, rekan saya hingga sekarang masih belum menerbitkan novel itu. Dia punya beberapa alasan kuat, dan saya nggak bisa apa-apa selain setuju.
Dan, Irvan? Dia punya mimpi melahirkan sebuah novel dongeng. Mimpi itu lahir dari concern-nya mengenai dongeng-dongeng negeri sendiri yang rasanya “kurang kena” – bukan karena ceritanya nggak bagus, tapi karena begitu banyak korupsi cerita sehingga makna di balik kisah-kisah dongeng itu akhirnya blur, bahkan tak dipahami. Orangtua menceritakan kisah dongeng tradisional dengan pemahaman dan pesan moral yang salah.
Contohnya, Bawang Putih dan Bawang Merah. Ceritanya bagus, tapi generasi saya dan sesudahnya malah menganalisis lalu menyimpulkan bahwa kisah tersebut semata-ata perseteruan antar saudara yang dibumbui ketamakan menindas penderitaan. Perselisihan antara si jahat dan si baik. Sudah itu saja.
Belum lagi banyak kawan perempuan yang mengeluh bahwa dongeng-dongeng tradisional kita lebih cenderung mengisahkan raja yang sudah punya permaisuri lantas tetap memiliki selir, yang lebih cantik dan baik. Permaisuri cemburu dan cari cara supaya si selir mati, tapi si selir justru menang. Dongeng-dongeng semacam ini membuat banyak kawan perempuan saya khawatir jika menceritakan kisah-kisah demikian pada anak-anak mereka dapat memicu pemikiran poligami dan bullying itu sesuatu yang bisa diterima siapa saja.
Dalam konteks-konteks di atas, Irvan dan saya setuju bahwa kita mungkin bisa mengubah persepsi generasi berikutnya mengenai dongeng tradisional. Berkaca pada Disney yang kerap mengetengahkan dongeng lama menjadi versi yang benar-benar baru. Rapunzel yang dalam veri aslinya cuma duduk-duduk di menara menunggu pangeran menyelamatkan dirinya, diubah menjadi gadis yang penuh rasa ingin tahu terhadap dunia, dan pada akirnya berbalik menyelamatkan sang pria (yang bukan pangeran sama sekali). Atau dalam kisah Frozen yang diangkat dari dongeng the Snow Queen, diubah oleh Disney menjadi kisah petualangan penuh cinta kasih antara kakak dan adik.
Favorit saya adalah Tarzan versi Disney, dongeng ini fokus kisahnya adalah bahwa kita harus bisa menerima dan tetap mencintai anggota keluarga yang memiliki perbedaan, dalam hal pemikiran maupun fisik. Ibu gorila mencintai Tarzan sepenuh jiwa walau secara fisik mereka berbeda. Adegan saat sang ibu gorila menceritakan siapa Tarzan sebenarnya, lalu mengikhlaskan dia pergi meraih mimpinya, bikin saya baper dan mewek berjam-jam setelah film usai. Ini satu-satunya film Disney yang nggak pernah bikin saya bosan.
Dan, iya. Saya juga jadi berpikir, kenapa ya dongeng-dongeng tradisional kita nggak ada yang memodifikasi sehingga mampu mengikuti perubahan zaman dan disukai generasi sekarang? Kurang seru? Kurang keren? Nggak juga.
Inilah yang Irvan dan saya bahas berjam-jam dalam memutuskan bagaimana kami akan menulis novel bareng. Berdasarkan pemahaman yang sama, kami sepakat pada satu gagasan, yakni membuat generasi masa depan lebih mencintai dongeng-dongeng sendiri, tak terlena pada kisah-kisah Disney dan semacamnya. Selain itu, kami berusaha memasukan pesan-pesan moral yang lebih positif daripada versi aslinya. Kirana, menjadi karya pertama Irvan dan saya mewujudkan gagasan itu.
Irvan dulu pernah bilang, 90% gagasan yang lahir dari kedai kopi biasanya menguap setelah keluar dari kedai. Untungnya, kami masuk ke yang 10%.
Btw, sudah punya novel Kirana? Pesan aja lewat sini supaya bisa segera bertualang dalam kisah dongeng yang seru. 🙂
One Reply to “Pengalaman Kedua Menulis Buku Dongeng; Kolaborasi Dengan Irvan Kartawiria”