Cinta dan seks itu dekat, kan?
Jadi saya mau masukkan pembahasan tentang seks dalam tantangan #28harimenulistentangcinta. Oh, tentu tidak mesum. Saya ogah terkena pasal UU ITE, amit-amit! (ketok-ketok meja) š
Tapi begitulah. Kata seks selalu lekat dengan mesum. Seks tak dianggap indah lagi sejak foto-foto dan video telanjang mudah diakses oleh siapa saja dan dari media mana saja. Urusan seks selalu menarik dibahas diam-diam. Entah lewat lelucon sok patriarkis di antara kaum lelaki di tempat ngopi, atau bisik-bisik Ā antara kaum perempuan di sela-sela arisan ibu-ibu. Kadang juga dibicarakan secara terbuka tapi terbatas, seperti di ruang rapatĀ atau grup Whatsapp.
Padahal seks sebuah pengetahuan sakral. Ia bukan saja menyoal ketelanjangan, dan kerap diapresiasi dalam karya-karya sastra kuno. Barangkali orang lebih mengenal Kama Sutra dari India, padahal leluhur kita juga punya Serat Centhini. Sebuah karya sastra Jawa kuno gubahan para pujangga hebat dari keraton Surakarta yang dirilis di awal abad ke-19.
Informasi seks dan seksualitas di dalamnya jauh lebih lengkap dan āmenantang,ā Terdiri dari ratusan tembang (lagu) bersyair bahasa Jawa yang hampir seluruhnya berbicara mengenai seks dan seksualitas. Begitu mengagumkannya karya sastra ini sehingga diterjemahkan dalam bahasa Perancis oleh Elizabeth D. Inandiak dengan judul Les Chants de lāile a dormir debout le Livre de Centhini pada 2002. Setelah itu, baru muncul terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Seks dan seksualitas, dalam pengertian sempit maupun luas, merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri instingtif yang paling dasar. Tak heran kalau banyak upaya dilakukan untuk mempelajari, menganalisis, menyusun manual, atau mengungkapkannya lewat media apapun, termasuk karya sastra kuno tadi.
Buat leluhur kita, seks adalah sesuatu yang natural. Ada banyak suku yang bebas mempraktekan seks, bahkan tak menganggap seks pra-martial sebagai kesalahan.
Seks, seksualitas dan sensualitas juga banyak terdapat dalam cerita rakyat. Dari tanah Priangan, misalnya, ada kisah si Kabayan yang memuat penggambaran hubungan suami istri. Oh, tentu dalam kisah aslinya, bukan kisah humor yang kerap ditampilkan dalam film atau sinetron.
Lantas ada Serat Babad Diponegoro yg ditulis oleh pangeran Diponegoro saat berada di pengasingan. Salah satu tembang menceritakan bahwa sang Pangeran pernah ādikalahkanā oleh seorang perempuan semalam sebelum pertempuran. Tentu dikalahkan di sini maksudnya adalah sang pangeran berhubungan badan dengannya.
Lalu, barangkali kamu juga pernah membaca novel sastra terkenal dari Linus Suryadi berjudul āPengakuan Pariyemā atau āRonggeng Dukuh Parukā buatan Ahmad Tohari. Penggambaran tentang seks dan seksualitas pd kedua karya sastra itu benar-benar dahsyat, namun tidak cabul.
Edukasi seks yang tak tersampaikan dengan benar sudah disepakati oleh kita dan para ahli sebagai perusak akhlak, moral dan masa depan. Undang-undang pornografi pun harus diterbitkanĀ agar persoalan bisa dilokaslisir. Ā Ini yang tak terjadi di masa lalu
Dan ini juga salah satu hal yang membedakan para leluhur dan generasi kita. Mereka mengagungkan seks, kita mencemoohnya, meletakkan persetubuhan sebagai kenistaan dan membuat hubungan cinta menjadi tabu yang tak patut dibicarakan, bahkan pada level suami istri sekalipun.
Sayang ya, padahal seks itu indah dan menyenangkan lho!