Apa saja yang harus disiapkan sebelum kita menulis novel?
Proses membuat novel, mulai dari menulis hingga menerbitkan, membutuhkan fokus, motivasi, dan inspirasi. Tentu saja, dalam sebuah proses, kita akan melalui beberapa titik hambatan. Entah itu writer’s block atau penolakan dari penerbit. Sebuah proses penciptaan karya luar biasa umumnya akan melalui proses melelahkan (dan kadang menyakitkan).
Walau demikian, jika setiap penulis sukses bisa melewati proses itu, kenapa kita tidak? Penulis sukses dan penulis pemula hanya berbeda dalam dua hal; ketekunan dan disiplin dalam menulis. Jadi, kalau kamu ingin menjadi penulis, miliki kedua hal itu.
Selain itu, tentu saja ada hal-hal yang perlu disiapkan agar proses penulisan menjadi menyenangkan. Jika para atlet Asian Games menyiapkan diri sebelum bertanding, demikian juga dengan penulis. Kita perlu menyiapkan beberapa hal sebelum menciptakan sebuah tulisan.
Selalu Sediakan Buku Catatan Dan Bolpen
Tidak perlu beli yang mahal, buku tulis dan bolpen merek apapun jadi. Kalau malas atau lupa bawa buku catatan dan bolpen, pakai fitur note di ponsel (kalau ponsel nggak mungkin lupa atau malas bawa, kan?). Tujuannya adalah untuk mencatat ide-ide yang tiba-tiba mampir di kepala. Kita tahu, ide bisa muncul kapan saja dan dari mana saja. Kesalahan terbesar kita dalah menganggap bahwa kita akan selalu ingat ide tersebut. Faktanya, sebuah gagasan paling cemerlang pun bisa menguap dalam waktu kurang dari lima menit.
Kita bisa mendapat ide ketika tak sengaja mendengar percakapan orang-orang yang sedang antri di bank atau minimarket. Kita juga bisa tiba-tiba mendapat inspirasi dari kisah abang gojek yang sedang mengantar kita, atau ketika melihat foto-foto di instagram, kalimat motivasi di Facebook atau bahkan thread di Twitter. Nah, tuliskan gagasan apapun yang terlintas pada saat itu, dan lakukan segera. Semua “nanti” dalam hal ini, sama saja membiarkan ide tersebut digunakan orang lain.
Sediakan Waktu Untuk Riset
Jangan malas membuat riset. Benar bahwa kita sedang membuat kisah fiksi yang tidak nyata, tapi bahkan tokoh rekaanpun perlu meyakinkan. Misalnya, kalau tokoh utamamu penyuka kopi, risetlah tentang jenis-jenis kopi dan cara penyajiannya. Atau jika kisahmu berlatar belakang negeri ginseng, risetlah mengenai budaya dan kebiasaan orang-orang di negara itu. Bagus kalau kita bisa mewawancari orang yang paham tentang kopi atau sudah pernah tinggal di negara lain. Jika tidak pun, selalu ada Google yang memudahkan hidup kita.
Jauhi Gangguan
Matikan ponsel dan gadget lain, jika perlu matikan juga sambungan internet untuk sementara waktu. Semua ini adalah perusak mood nomor satu. Bayangkan ketika ide-ide sedang lancar-lancarnya mengalir, eh whatsapp dari pacar masuk nanyain “sudah makan belum?” ~ memikirkan untuk meresponsnya saja sudah membuat buyar mood menulis. Lantas bagaimana jika dimarahi pacar atau orangtua karena tidak membalas? Ya, beri tahu mereka baik-baik sebelumnya bahwa kita butuh waktu beberapa jam tanpa gangguan. Mereka pasti mengerti dan mendukungmu, kalau tidak putusin aja. Toh, kamu cuma butuh beberapa jam, bukan beberapa abad.
Gangguan lain bisa berupa dialog-dialog tidak penting. Misalnya, kamu menulis di perpustakaan, kafe atau tempat yang agak ramai. Percakapan dari orang-orang sekitar biasanya bisa mengalihkan pikiran dari tulisan kita. Kamu bisa cari tempat yang sepi, entah di kamar tidur atau tempat lain. Intinya jauhi suasana dengan percakapan.
Bagaimana dengan mendengarkan musik? Buat saya, lirik lagu terbaik pun bisa mengganggu proses menulis. Sebab kata-kata dalam lagu favorit bisa membuat kita baper atau terkenang akan sesuatua. Jika harus mendengarkan musik, coba lagu-lagu instrumental. Sekarang ini, bahkan lagu-lagu Coldplay, Taywlor Swift atau Isyana Saraswati ada versi instrumentalnya.
Paksa Editor di Kepala untuk Tutup Mulut
Saat menulis, pernah dengar suara-suara di kepalamu bilang, “Eh, kayaknya ceritanya tadi kurang bagus deh.” “Memangnya, kalau dialognya begini nggak garing ya novelnya?” atau “Tadi kata yang dipakai buat jelasin suasananya bener nggak ya?” dan ribuan suara lainnya. Belum lagi yang dengan kejam bilang, “Ah, novelmu jelek! Nggak bakal laku, pasti ditolak penerbit.”
Iya, suara-suara itu berasal dari editor dalam kepala kita. Dia memang cerewet dan kejam, makanya paksa dia agar tutup mulut selama proses menulis berlangsung. Kecerewetan dan kekejamannya bisa membuat kita sulit menyelesaikan cerita, dan bahkan bisa membuat kita berhenti menulis sama sekali. Hilang deh impian untuk menjadi penulis.
Yang perlu kamu tahu, penulis terhebatpun tidak bisa melakukan dua hal sekaligus; menulis dan mengedit. Mereka akan melakukannya satu per satu. Mereka menuliskan dulu semua gagasan yang mereka miliki, tak peduli mau bagus atau tidak, ada saltik atau tidak, diksinya tepat atau tidak. Bomat lah, pokoknya tulis dulu.
Endapkan, Baca Ulang, Tulis Ulang
Nah, setelah proses penulisan selesai, endapkan dulu naskahmu beberapa waktu. Saya kadang mengendapkannya hingga 1-2 bulan, tapi beberapa kawan penulis mungkin hanya perlu beberapa hari atau malah beberapa tahun. Setelah mengendap, baca lagi. Biasanya pada titik ini kita akan menemukan hal-hal baru, plot holes, atau bagian-bagian yang harus ditambah/dikurangi. Di sinilah proses editing dan rewriting berlangsung. Jangan khawatir, proses ini kadang memang makan waktu lama, apalagi kalau tipe kerpibadian kita adalah perfeksionis. Kabar baiknya, kita bisa minta sahabat, keluarga, atau jika perlu editor profesional (saya, misalnya ~ kontak aja via email) untuk membantu proses ini.
Publikasikan Karyamu
Jangan malu menunjukkan karyamu kepada orang lain. Kritik itu bagian penting dalam proses penulisan. Tidak perlu khawatir jika naskahmu mendapat komentar tak sesuai harapan. Sebaliknya buat masukan dari mereka sebagai penyempurna karya tulismu.
Terakhir, buang jauh-jauh rada minder dan kirimkan karyamu ke penerbit segera sebelum orang lain menulis novel serupa. Cari tahu tata cara menerbitkan buku di website penerbit yang kamu sasar, dan kirimkan sesuai persyaratan.